Hujan di Juli dan Potensi Inflasi Tinggi

:


Oleh DT Waluyo, Selasa, 5 Juli 2022 | 11:33 WIB - Redaktur: Untung S - 2K


Jakarta, InfoPublik – Pada Juli - September 2022, demikian laporan prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika atau BMKG adalah musim kemarau atau musim kering. Dengan puncaknya ada di Agustus (https://www.bmkg.go.id/iklim/prakiraan-musim.bmkg).

Sebelum masuk periode musim kering itu, pada April – Juni, merupakan masa awal kemarau.

Pada periode tahunan (musim kemarau) itu, ditandai dengan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami penurunan. Selain itu, tingkat kelembaban udara juga menurun. Kondisi itu sering memicu kekeringan di beberapa wilayah di Indonesia.

Kondisi kekeringan itu akan berbuntut pada berkurangnya ketersediaan air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Dampak buruk lainnya adalah gagal panen sebagai akibat kurangnya pasokan air untuk irigasi ladang pertanian. Sedangkan di hutan atau padang rumput, musim kemarau bisa memicu terjadinya kebakaran padang rumput yang meluas dan mengancam ekosistem yang ada.

Meski musim kemarau, menurut catatan BMKG selama 30 tahun terakhir (1991-2020) tidak menutup kemungkinan turun hujan di beberapa wilayah RI. Terlebih di periode awal musim kemarau (April – Juni) atau disebut sebagai masa peralihan ke musim kemarau itu.

Sebagai informasi, BMKG membagi Indonesia menjadi 342 Zona Musim (ZOM). Masing-masing ZOM tersebut, memiliki karakteristik iklim atau cuaca masing-masing. Hal ini disebabkan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan memiliki banyak pegunungan.

Hujan deras yang mengguyur sebagian wilayah tanah air hingga Juni 2022 itu, saat ini ditengarai menjadi sebab kegagalan panen beberapa komoditas. Ujungnya adalah meningkatnya laju inflasi pada Juni mencapai 0,61 persen (month on month/MoM), melesat dibandingkan yang tercatat pada Mei yakni 0,4 persen.

Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi pada Juni juga menembus 4,35 persen. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017 atau dalam lima tahun terakhir di mana pada saat itu inflasi tercatat 4,37 persen.

Sepanjang Januari-Juni (year to date), inflasi menyentuh 3,19 persen. Posisi tersebut adalah yang tertinggi sejak Januari-Juni 2013 atau dalam sembilan tahun terakhir. Pada periode tersebut inflasi year to date mencapai 3,35 persen.

Inflasi Indonesia pada Juni itu, jauh di atas konsensus pasar ataupun proyeksi Bank Indonesia (BI). Konsensus dari 14 institusi memperkirakan inflasi Juni hanya menyentuh 0,44 persen (month to month/mtm) dan 4,15 (yoy). Berdasarkan Survei Pemantauan Harga BI pada minggu IV Juni 2022, inflasi Juni hanya diperkirakan mencapai 0,50 persen (mtm).

Penyebab Inflasi Tinggi

Adalah kepala BPS Margo Yuwono yang “menuduh” hujan deras sebagai penyebab inflasi tinggi. Alasannya? Margo, dalam keterangan kepada awak media, Jumat (1/7/2022), menjelaskan bahwa pengungkit utama inflasi, datang dari kelompok volatile atau harga bergejolak.

Pada Juni itu, inflasi kelompok volatile bahkan menembus 2,51 persen (mtm) dan 10,07 persen (yoy). Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Desember 2014 atau 7,5 tahun terakhir. Pada periode tersebut inflasi volatile item mencapai 3,53 persen (mtm) dan 10,88 persen (yoy).

Level inflasi kelompok harga bergejolak juga jauh di atas target Bank Indonesia (BI) dan pemerintah yakni di kisaran 4-5 persen. Sementara itu, inflasi inti pada Juni menyentuh 0,19 persen (mtm) dan 2,63 persen (yoy) sementara inflasi harga diatur pemerintah mencapai 0,27 persen (mtm) dan 5,33 persen (yoy).

Akibat hujan deras yang masih berlangsung hingga Juni, sejumlah komoditas, seperti sayur-sayuran, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, tomat, kangkung, kol putih/kubis, cabai hijau, dan sawi putih/pecay/pitsai, gagal panen. Kelompok tersebut tercatat sebagai penyumbang inflasi.

Cabai merah misalnya, menyumbang inflasi sebesar 0,24 persen sementara cabai rawit sebesar 0,10 persen. Sumbangan inflasi bawang merah mencapai 0,08 persen, telur ayam ras sebesar 0,04 persen, dan tomat sebesar 0,03 persen. Merujuk data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga cabai rawit melonjak 53 persen dari Rp62.450/kg per 31 Mei menjadi Rp95.300/kg pada Kamis (30/6/2022).

Di sebagian besar wilayah Indonesia bagian timur, harga cabai rawit bahkan menembus Rp130.000 per kg. Harga cabai rawit termahal tercatat di Provinsi Kalimantan Timur yakni Rp138.000 per kg.

Demikian halnya harga telur ayam, juga meningkat menjadi Rp29.100 per kg pada akhir Juni dari Rp28.650 per kg akhir Mei. Harga bawang merah naik 40 persen dari Rp42.900 per kg pada akhir Mei menjadi Rp60.250 per kg pada akhir Juni. "Kenaikan cabai karena ada supply shock. Lebih karena faktor cuaca," tutur Margo.

Kabar baiknya, harga minyak goreng melandai sehingga menyumbang deflasi pada Juni. Margo juga mengatakan dampak lonjakan harga komoditas pangan belum banyak ditransmisikan kepada bahan makanan lokal. Bahan makanan yang sebagian besar diimpor seperti gula, kedelai, dan gandum belum menyumbang inflasi secara signifikan.

"Harga global terus merangkak tapi belum terdampak ke dalam negeri. Harga tepung terigu dan gula tapi andil inflasinya masih tegolong rendah," ujar Margo.

Tekanan Global

Inflasi Indonesia diperkirakan belum akan mereda pada paruh kedua tahun ini. Pemulihan ekonomi dalam negeri akan mendorong sisi permintaan sehingga tekanan inflasi, terutama inflasi inti akan meningkat.

Margo mengingatkan pemerintah juga akan menaikkan tarif dasar listrik untuk kalangan menengah ke atas mulai Juli sehingga inflasi pada kelompok harga diatur pemerintah bisa merangkak naik. Indonesia juga akan mengawali musim ajaran baru pada Juli-Agustus yang bisa mendongkrak inflasi.

Data BPS juga menunjukan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) untuk komoditas impor dan berbahan baku impor mengalami peningkatan yang persisten. Termasuk didalamnya adalah tepung terigu dan bubuk urea. IHPB industri mencapai 0,37 persen (mtm) dan 5,39 (yoy), IHPB pada pertanian 1,96 persen (mtm) dan 2,95 persen (yoy).

"Dampak dari pembatasan ekspor (sejumlah negara) sudah mulai sampai ke kita tetapi masih pada level perdagangan besar. Belum sampai ke konsumen," tutur Margo.

Margo mengatakan laju inflasi ke depan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah di bidang energi. "Sepanjang 2022, penyebabnya adalah kelompok harga bergejolak. Kalau cuaca normal maka tidak memberi dorongan inflasi. Apakah inflasi mengkhawatirkan? Ini akan sangat tergantung terkait kebijakan energi. Inflasi masih relatif aman tetapi perlu waspada," tuturnya.

Pernyataan Kepala BPS diamini sejumlah analis. Tekanan inflasi diprediksi akan meningkat hingga akhir  2022. Selain karena pemulihan ekonomi paska pandemi COVID-19, tekanan inflasi juga akan datang dari kelompok bahan pangan. Hal ini berpangkal dari isu keamanan pangan di tingkat global. Sehingga mendorong cost push inflation.

Dari berbagai indikator yang ada inflasi di tanah air, pada 2022 ini akan di atas batas 4 persen yang menjadi target pemerintah. Selain kondisi perekonomian dunia yang saat ini dipengaruhi dari sisi disrupsi supply yang berasal dari perang dan ketegangan geopolitik, kemudian perubahan iklim, juga tekanan di dalam negeri seiring dengan kebijakan kenaikan harga (tarif listrik, bbm) serta komponen biaya pendidikan di bulan Juli. Di sisi lain, sejumlah produsen masih sangat hati-hati dalam mentransmisikan harga kepada konsumen.

Awan tebal yang berujung hujan, sebagaimana prakiraan BMKG, masih mungkin berlanjut di puncak musim kemarau di Juli hingga September 2022. (*)

Ilustrasi, cabe merah (Dok. https://kominfo.jatimprov.go.id/)