Per 1 Januari 2022, Cukai Hasil Tembakau Naik 12 Persen

:


Oleh DT Waluyo, Rabu, 15 Desember 2021 | 11:30 WIB - Redaktur: Untung S - 708


Jakarta, InfoPublik –  Tarif atau cukai hasil tembakau (CHT) dipastikan meningkat rata-rata 12 persen. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memutuskan CHT itu berlaku mulai 1 Januari 2022.

Kebijakan CHT ini, demikian keterangan resmi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani), merupakan salah satu instrumen peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi agenda krusial dalam upaya peningkatan produktivitas nasional.

Sebagaimana data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), hampir setiap tahun, CHT mengalami kenaikan. Pada 2014-2020, cukai rokok telah naik sebanyak lima kali dengan kenaikan tertinggi terdapat pada 2020. 

Pada 2013 cukai rokok naik sebesar 8,5 persen kemudian pada 2015 sebesar 8,72 persen, dan 2016 sebesar 11,19 persen. Adapun kenaikan cukai rokok pada 2017 sebesar 10,54 perseb dan 2018 sebesar 10,04 persen. Selanjutnya di 2019, cukai rokok tidak naik.

Pada 2020, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, rata-rata kenaikan tarif CHT tahun 2020 sebesar 21,55 persen. 

Sedangkan 2021, Pemerintah menetapkan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok adalah sebesar 12,5 persen. Pemerintah juga telah menetapkan untuk tidak menaikkan tarif cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT), berdasarkan pertimbangan situasi pandemi dan serapan tenaga kerja oleh Industri Hasil Tembakau (IHT).

Secara rinci, kenaikan tarif cukai SKM di 2021 adalah 16,9 persen untuk golongan I, 13,8 persen untuk golongan II A, dan 15,4 persen untuk golongan II B. Sementara jenis SPM adalah 18,4 persen untuk golongan I, 16,5 persen untuk golongan II A, dan 18,1 persen untuk golongan II B.

Alasan Kenaikan CHT 2022

Kenaikan CHT 2022 itu sendiri, diputuskan pada Senin (13/12/2021. Dalam temu pers secara daring, Menkeu Sri Mulyani menyampaikan Presiden Joko Widodo telah menyetujui kenaikan tersebut. "Bapak Presiden telah menyetujui dan sesudah dilakukan rapat koordinasi di bawah Bapak Menko Perekonomian, kenaikan cukai rata-rata rokok adalah 12 persen. Tapi untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), Presiden meminta kenaikan 5 persen, jadi kita menetapkan 4,5 persen maksimum,” ujar Sri Mulyani. 

Dalam paparannya, Menkeu menjelaskan pengenaan cukai ditujukan sebagai upaya pengendalian konsumsi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Cukai. Kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.

“Kenaikan itu pun bukan hanya mempertimbangkan isu kesehatan, tetapi juga memperhatikan perlindungan buruh, petani, dan industri rokok,” kata Menkeu.

Menkeu menyebut rokok menjadi pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan. Angka tersebut lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein, seperti daging, telur, tempe, serta ikan.

"Sehingga rokok menjadikan masyarakat miskin. Harga sebungkus memang dibuat semakin tidak terjangkau bagi masyarakat miskin,” ujar Menkeu.

Dari sisi kesehatan, rokok memicu risiko stunting pada anak dan bisa memperparah dampak kesehatan akibat COVID-19 atau 14 kali berisiko terkena COVID-19 dibandingkan dengan bukan perokok. Di samping menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan.

"Ini membebani karena sebagian pasien COVID-19 ditanggung negara,” kata Menkeu.

Kebijakan CHT juga bertujuan untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok di masyarakat, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal menjadi 8,7 persen di tahun 2024.

"Kita mencoba menurunkan kembali prevalensi berdasarkan RPJMN untuk mencapai 8,7 turun dari 9,1 persen dari 2018," ujar Menkeu.

Adapun kenaikan tarif CHT turut mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Hal ini diundangkan dalam UU APBN 2022 sebesar Rp193 triliun. Selain itu, kebijakan CHT juga penting sebagai mitigasi atas dampak kebijakan yang berpotensi mendorong rokok ilegal.

Tren Produksi Meningkat

Data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu, mencatat dari waktu ke waktu, terjadi kenaikan penerimaan cukai. Pada tahun 2021, hingga Juli 2021 tercatat sebesar Rp104,42 triliun.

Perolehan cukai tersebut setara dengan 57,85 persen dari target 2021 sebesar Rp180 triliun. Dilihat dari tren produksi hasil tembakau, secara tahunan meningkat 2,8 persen. Dari total produksi 172,92 miliar batang di Juli 2020, di Juli 2021 sudah mencapai 177,66 miliar batang.

Adapun, jika dilihat berdasarkan jenisnya, kenaikan tertinggi terjadi pada rokok sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 10,6 persen secara tahunan. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan tarif SKT yang tidak naik pada 2020.

Sementara itu, jenis rokok sigaret kretek mesin (SKM) tercatat tumbuh tipis 0,6 persen secara tahunan pada Juli 2021. Di sisi lain, rokok jenis sigaret putih mesin (SPM) mengalami penurunan sebesar 5,1 persen.

Berdasarkan golongan, produksi rokok golongan I mengalami penurunan sebesar 2,8 persen, sedangkan golongan II dan III masing-masing tercatat tumbuh 16,2 persen dan 13,5 persen secara tahunan.

Dari tren tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dalam melindungi golongan II dan III atau IKM dan UKM telah berhasil. Terbukti, ada pertumbuhan di golongan II dan III. Hanya saja, pengendalian tetap harus berjalan secara ketat, mengingat kontribusi golongan I hampir 85 persen untuk penerimaan cukainya.(*)

Ilustrasi, aktivitas petani tembakau (Dok. antaranews)