Jurus Indonesia Bebas dari Middle Income Trap

:


Oleh DT Waluyo, Rabu, 7 April 2021 | 05:11 WIB - Redaktur: Ahmed Kurnia - 2K


Jakarta, InfoPublik – Jebakan pendapatan menengah atau middle income trap adalah suatu situasi ketika suatu negara yang telah berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, namun stuck dan tertahan untuk berkembang menjadi negara berpenghasilan tinggi. Hal ini bisa terjadi, secara statistik karena negara tersebut tidak mampu naik peringkat selama kurang lebih 14 tahun (Felipe, Abdon, dan Kumar, 2012).

Dalam sejumlah analisis, beberapa ahli berpendapat ada beberapa faktor yang menjadi sebab middle income trap. Antara lain,  pada level tertentu negara berpendapatan menengah menjadi tidak kompetitif pada sektor industri bernilai tambah (value added industries), seperti manufaktur. Industri padat karya juga akan mulai berpindah ke negara dengan upah rendah sehingga pertumbuhan ekonomi pada negara Middle Income Country (MIC) akan cenderung stagnan atau bahkan menurun.

Negara dengan penghasilan menengah (MIC) tidak hanya mengalami kesulitan untuk bersaing dengan Low-Wage Countries, tapi juga kesulitan untuk bersaing dengan High-Technology Countries. Middle trap income ini banyak dialami negara-negara berkembang, baik di Asia, Oseania, Afrika, dan Amerika Latin.

Kemampuan negara mengatasi persoalan tersebut, akan menentukan mampu tidaknya suatu negara terlepas dari jebakan pendapatan menengah. Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia adalah satu dari sejumlah negara yang menghadapi masalah middle income trap tersebut. Demikian disampaikan Menkeu Sri Mulyani saat Webinar Nasional daring bertajuk Akselerasi Indonesia Maju melalui Penanaman Modal dan Insentif Fiskal di Jakarta, Kamis (31/3/2021).

Posisi Indonesia sendiri, sebagaimana klasifikasi negara yang dibuat Bank Dunia (World Bank), per 1 Juli 2020 statusnya meningkat dari Lower Middle Income Country menjadi Upper Middle Income Country. Dalam kategori ini pendapatan rata-rata penduduknya per tahun dari angka USD4.046 hingga 12.535 (Rp56.800.000 hingga 176.100.000). Selain Indonesia, pada posisi ini juga ada: Cina, Malaysia, dan Thailand.

Untuk meningkat menjadi  negara High Income Country (HIC), masih dalam kriteria World Bank, negara MIC harus memiliki Pendapatan Nasional atau Gross National Income (GNI) di atas USD12.055 per kapita. Sebagai Informasi GNI USD 3.896-12.055 per kapita disebut Upper Middle Income, untuk USD 996 - 3.895 per kapita adalah Lower Middle Income, dan < USD996 per kapita adalah Low Income Country.

Indonesia sendiri sejak 2019 memiliki GNI USD4.050 per kapita, angka ini meningkat dari tahun 2018 USD3.840. Meski mengalami peningkatan dan naik level di pertengahan tahun 2020, nampaknya perekonomian Indonesia masih butuh peningkatan tiga kali lipat untuk beranjak dari status Upper Middle Income ke High Income, atau bahkan berjuang mempertahankan status Upper Middle Income Country di tengah goyahnya perekonomian global akibat pandemi COVID-19.

Kerusakan ekonomi akibat wabah COVID-19 membutuhkan kewaspadaan dan kehati-hatian dalam penetapan kebijakan serta pengelolaan keuangan negara. Kebijakan extraordinary  dilakukan Pemerintah. Antara lain melalui penerbitan peraturan mengenai insentif fiskal, penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh), relaksasi penundaan pembayaran cukai akibat tersendatnya logistik di lapangan karena COVID-19.

Berbagai langkah yang ditempuh Pemerintah diharapkan dapat membantu arus kas perusahaan sehingga perusahaan dapat terus menjalankan usahanya. Karena keberlangsungan industri sangatlah penting untuk mengatasi terhambatnya penyediaan logistik dan penyerapan tenaga kerja agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Selain itu pemerintah juga telah mengantisipasi keadaan ini dengan berbagai kebijakan yang relevan seperti relaksasi aturan impor untuk bahan baku pembuatan alat kesehatan.

Syarat Lepas dari Jebakan

Apakah Indonesia bisa lepas dari middle income trap? Jawabannya tentu bisa. Hanya saja, Indonesia butuh sejumlah langkah terobosan. Dalam analisis, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa), Indonesia dapat terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle income trap) hingga puluhan tahun jika perekonomian hanya tumbuh di kisaran 5 persen

Pasalnya, pertumbuhan ekonomi 5 persen tidak mampu mengembalikan pengangguran ke tingkat awal sebelum krisis akibat pandemi covid-19. "Jangka panjang kalau kita tergerus dan tingkat pertumbuhan ekonomi kita cuma 5 persen maka untuk lepas middle income trap itu jauh sekali. Bahkan 2045 pun kita belum bisa," ungkapnya dalam konferensi pers di kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (9/2/2021).

Agar Indonesia lepas dari middle income trap, butuh pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 6 persen. Hal itu diperkirakan terjadi pada 2045, sebagai negara dengan berpendapat tinggi atau high income country, di mana pendapatan perkapita mencapai US$12.534. Sementara, jika pertumbuhan ekonomi bisa mencapai rata-rata 7 persen tiap tahunnya, Indonesia bisa mencapai negara berpendapatan tinggi pada 2040.

Untuk mencapai pertumbuhan 5 persen di tahun 2021, kata Suharso, Indoensia  membutuhkan total investasi sekitar Rp5.817,3 triliun -Rp5.912,7 triliun. Sebab, realisasi investasi di 2020 hanya Rp4.897,78 triliun karena ekonomi terkontraksi. "Dengan demikian, pada 2021, dibutuhkan tambahan investasi sebesar Rp919,52-1.014,32 triliun dari 2020 agar ekonomi dapat tumbuh di kisaran 4,5-5,5 persen," pungkasnya.

Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dimaksimalkan Indonesia agar bisa segera menjadi high income nation. Pertama, pengelolaan tenaga kerja yang masih terhitung “murah”. Sebagaimana diketahui, salah satu daya tarik investasi di Indonesia adalah karena upah tenaga kerja di Indonesia masih terhitung murah.

Kedua, perbaikan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah.  Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia memiliki banyak sekali sumber daya alam yang melimpah, namun kegagalan pengelolaan sumber daya alam (SDA) ini malahan bisa menjadi penyebab terjebaknya suatu negara dalam middle income trap.

Ketiga, memaksimalkan peluang-peluang perdagangan internasional. Indonesia berada di posisi perdagangan dunia yang sangat strategis. Oleh karenanya, sudah sepatutnya Indonesia mampu memiliki peran penting dan vital pada lalu-lintas perdagangan dunia.

Keempat, adalah memanfaatkan Foreign Direct Investment (FDI) secara bijak sehingga memberi kebermanfaatan yang luas kepada perekonomian rakyat Indonesia. Indonesia harus mampu memilah dan memilih dengan baik FDI yang akan diaplikasikan di Indonesia.

 

Resep Pertumbuhan ala Menkeu

Dalam pandangan Menkeu Sri Mulyani, Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi >6% per tahun agar terlepas dari predikat middle income trap. Pada saat yang sama juga, ada tiga tantangan fundamental yang harus diselesaikan Indonesia dalam mewujudkan visi Indonesia Maju, dan tidak terjebak dalam  middle   income trap . "Kalau kita mempunyai tekad untuk mencapai Indonesia Maju, maka dibutuhkan strategi, disiplin, kerja keras kita semua untuk bisa melewati kemungkinan terjadinya  middle income trap  karena  trap  itu  real ," tegas Menkeu Sri Mulyani.

Tiga tantangan fundamental yang dimaksud Menkeu Sri Mulyani adalah, pertama pada rendahnya produktivitas, kedua terkait ketersediaan infrastruktur (rendahnya daya saing), dan ketiga masalah sumber daya manusia (SDM). Ketiga masalah tersebut tidak terjadi serta merta, tidak pula sebagai suatu hal yang tidak bisa diperbaiki.

Rendahnya produktivitas tercermin dari gap infrastruktur, kualitas sumber daya manusia (SDM), dan rendahnya tingkat adopsi teknologi. Untuk memperbaiki hal tersebut, maka diperlukan perbaikan pada tiga sumber pertumbuhan yakni kapital, tenaga kerja, dan  total factory productivity  untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi potensial. "Kita lebih banyak tumbuh dengan menggunakan otot dan keringat, yaitu banyak modal dan tenaga kerja tetapi tidak menciptakan nilai tambah berdasarkan inovasi," ujar Menkeu.

Faktor kedua, yakni kurangnya infrastruktur menyebabkan biaya logistik Indonesia menjadi lebih mahal dan berdampak pada daya saing Indonesia. Meski memiliki daya saing tinggi di besaran ekonomi dan stabilitas makro, namun Indonesia sangat tertinggal di kapasitas inovasi dan adaptasi teknologi.

Rendahnya daya saing perekonomian Indonesia, kata Menteri Sri Mulyani, tercermin dari sisi performance index dan global competitiveness index . "Arus barang mulai dari impor, ekspor, maupun infrastruktur ke tempat market itu masih menunjukkan ketiadaan kompetisi yang cukup tinggi. Ada faktor infrastruktur kita yang masih perlu dibangun," jelas Menkeu.

Tantangan ketiga, yakni pada aspek SDM ketenagakerjaan yang menghambat produktivitas.

Isu-isu rendahnya produktivitas, rendahnya daya siang, rentannya penggantian tenaga kerja dengan otomatisasi, permasalahan dan penciptaan lapangan kerja baru,  link and match  dalam pendidikan, serta karakter demografi dan industri 4.0 yang membutuhkan reformasi di bidang pendidikan.

Pemerintah menargetkan di usia 100 tahun pasca kemerdekaan (2045), Indonesia akan menjadi negara maju dengan ekonomi ke lima terbesar di dunia dengan pendapatan per kapita mencapai USD23.199. (*)

Keterangan Grafik: klasifikasi negara berdasarkan pendapatan oleh World Bank. Sumber: World Bank, World Bank Country and Lending Groups. Angka di dalam tanda kurung menunjukkan perubahan dari tahun sebelumnya.