: Tursino alias Kang Gepeng, petani tangguh di tepi Suaka Margasatwa Nantu. (Foto: istimewa)
Oleh MC PROV GORONTALO, Sabtu, 27 April 2024 | 14:47 WIB - Redaktur: Bonny Dwifriansyah - 111
Boalemo, InfoPublik - Nama aslinya Tursino, tapi ia lebih familiar dipanggil Kang Gepeng oleh teman-teman dan tetangganya. Ia adalah petani tangguh asal Jawa yang memutuskan untuk menetap di Gorontalo bersama keluarganya.
Kang Gepeng lahir di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, pada tahun 1980. Tahun 2005 ia ditinggalkan bapaknya untuk ikut program transmigrasi dengan penempatan di Desa Saritani, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.
Tidak banyak yang diketahui kegiatan orang tuanya di Boalemo. Selain komunikasinya sulit, ia juga sibuk bertahan hidup bersama keluarganya dengan membuat gula merah di Ciamis. Ia setiap hari naik dari pohon kelapa ke pohon kelapa untuk menampung air nira. Kegiatan itu ia lakoni bersama istri dan anaknya.
“Waktu di Jawa saya membuat gula merah dari air nira kelapa, tidak banyak penghasilan dari pekerjaan ini, hanya Rp500 ribu sampai Rp600 ribu per bulan,” kata Kang Gepeng mengenang masa lalunya saat tinggal di Ciamis, Sabtu (27/4/2024).
Pendapatan pembuat gula merah tak selalu mencukupi dalam mengongkosi rumah tangganya, lebih banyak tekornya. Produknya tak selalu mampu bersaing dengan produk serupa, bahkan banyak produk gula pasir yang menggusur keberadaan gula merah.
Kegetiran petani kecil membuat Kang Gepeng berpikir apakah ia akan terus begini bersama keluarga dalam kegetiran hidup. Di saat-saat seperti itu, ia acap teringat bapaknya yang jauh di Boalemo.
Sebagai anak yang punya ikatan batin dengan bapaknya, Kang Gepeng sering kepikiran dengan kondisi sang bapak yang hidup sendiri di daerah Satuan Permukiman (SP) 1 Saritani. Apalagi ia sering mendengar kabar bahwa bapaknya sering sakit-sakitan di negeri seberang.
Kang Gepeng pun mengumpulkan uang dari penjualan gula merah sedikit demi sedikit untuk bisa membeli tiket kapal laut agar bisa sampai di Boalemo. Enam tahun setelah kepergian bapaknya ikut transmigrasi, Kang Gepeng berhasil membeli tiket dan memberanikan diri menengok bapaknya ke daerah yang ia belum kenal.
“Bapak ikut transmigrasi pada 25 Desember 2005, selama tidak bertemu, saya kepikiran dengan kesehatannya. Bagaimana jauhnya untuk ditempuh, saya harus berjuang agar bertemu bapak,” ungkap Kang Gepeng.
Pada 15 Juni 2006, Kang Gepeng berangkat menemui bapaknya di Boalemo. Tidak mudah untuk sampai di tempat itu. Tidak ada transportasi yang memadai seperti di kota besar, bahkan hingga saat ini.
Setelah tinggal di kawasan Tamilo Dusun V Desa Saritani, Kang Gepeng melihat kondisi lahan yang masih luas. Bahkan tidak jauh dari rumahnya terdapat hutan yang sangat lebat dengan pohon yang besar-besar serta batang rotan yang mengular dari pohon ke pohon.
Hidup berdekatan dengan bapaknya, Kang Gepeng mulai berpikir untuk ikut mengolah ladang daripada hidup berdesak-desakan di Pulau Jawa dalam kondisi yang belum sejahtera. “Ada rasa ingin mencoba hidup di daerah transmigrasi bersama keluarga,” tutur Kang Gepeng.
Usai menemani bapaknya dan melepas rindu, Kang Gepeng pun balik pulang ke Ciamis. Bayangan tentang lahan yang luas di daerah transmigrasi menggodanya terus. Kebun yang terhampar menyediakan diri untuk diolah oleh tangan kreatif.
Pikiran ini terus membayangi hingga Kang Gepeng memberanikan diri untuk bermusyawarah dengan keluarganya. Ia memutuskan akan pindah ke Boalemo secara bertahap.
Awalnya Kang Gepeng pindah hanya dengan membawa satu anak. Setelah semua dirasakan aman dan keluarganya mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru, hingga pada Oktober 2010 semua anggota keluarganya pun diboyong ke Tamilo.
Kang Gepeng bersama keluarganya membabat alang-alang di kebun yang sudah lama tidak digarap. Lahan itu ia tanami cokelat, jagung, dan tanaman hortikultura lainnya.
“Cokelat ini tanaman tahunan, panennya masih jauh. Tapi kami sudah menyiapkan dari sekarang sebagai tabungan masa depan,” ungkap Kang Gepeng.
Ia mengambil bibit cokelat dari petani di Desa Dimito yang punya sejarah sukses membudidayakan tanaman cokelat, sebanyak 250 bibit ditanam pada waktu itu. Semangat untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik memacu produktivtas Kang Gepeng dan keluarga.
Ternyata jumlah bibit cokelat tersebut masih kurang. Ia pun menambah jumlahnya hingga mencapai 800 pohon untuk mengisi ladang seluas 1 ha.
Setelah menanti empat tahun, tanaman cokelat mulai belajar berbuah. Pelan-pelan Kang Gepeng merasakan manfaat buah cokelat. Dari tanaman tersebut, Kang Gepeng mampu menghidupi anak-istrinya. Buah cokelat dijual kepada tengkulak yang rutin datang setiap hari Selasa malam.
Pelan-pelan ekonomi keluarga Kang Gepeng membaik. Sebagian hasil panennya disimpan. Kelebihan pendapatannya itu ada yang dibelikan sebidang sawah seluas satu pantango (seperempat hektare) di kawasan Tangga Dua yang masih wilayah Desa Saritani.
“Saat panen padi kami merasa bangga, dapat makan dari hasil tanaman sendiri. Biasanya hasil dari jagung dan cokelat dibelikan beras. Alhamdulillah,” tutur Kang Gepeng.
Kang Gepeng menjaga ladang jagung setiap hari, siang dan malam. Di kebun jagungnya, satwa liar tak pernah berhenti singgah. Jika malam, babi hutan yang datang. Saat pagi hingga sore, gerombolan monyet yang datang.
Kang Gepeng sadar dulunya kebun ini adalah hutan yang telah dibabat untuk dijadikan lahan transmigrasi. Sebelum orang-orang menghuni lahan tersebut, monyet dan satwa lain telah lama hidupndi sana.
Dari pengalaman itu, Kang Gepeng mulai berpikir untuk meninggalkan kebiasaan menanam jagung. Ia pun lebih fokus ke tanaman padi dan cokelat. Dua tanaman andalan itulah yang kemudian mengangkat derajat ekonominya.
“Sumber pangan sudah cukup, ada sisa ditabung. Akhirnya saya mampu membeli satu ekor sapi, sekarang berkembang menjadi tujuh ekor,” tutur Kang Gepeng.
Sebagai petani, Kang Gepeng bertekad meningkatkan keterampilannya dalam membudidayakan tanaman cokelat. Ia tidak mau bergantung pada pemberian pemerintah atau orang lain. Untuk itu, ia juga belajar sambung samping cokelat. Dengan teknik itu, cokelat berbuah lebih rendah, lebih mudah dipetik.
“Setelah program sambung samping ini, dalam 1-3 tahun kami mendapatkan hasil dari 200 kg/ha/bulan menjadi 250 kg/ha/bulan. Waktu itu cokelat dari Desa Saritani terkenal,” ungkap Kang Gepeng.
Sayangnya, nasib baik tidak selalu menyertai Kang Gepeng dan para petani cokelat lainnya di Gorontalo. Sekitar 2-3 tahun setelah berhasil mengembangkan teknik sambung samping, datang virus yang memporak-porandakan tanamannya di tahun 2016.
Para petani yang dibantu petugas pertanian tidak mampu mengatasi serbuan virus itu. Upaya maksimal sudah dilakukan, tapi tetap saja tidak berhasil. Petugas penyuluh lapangan (PPL) yang sering datang ke desa bahkan menganjurkan macam-macam cara untuk melawan virus, tapi tidak ada hasilnya.
“Akhirnya cokelat kami telantarkan. Sebagian ditebang diganti dengan kelapa,” tutur Kang Gepeng.
Masalah yang dihadapi para petani tidak berhenti sampai di situ. Kebun yang bersebelahan dengan hutan juga harus dijaga agar tidak dobrak-abrik monyet atau satwa liar lainnya. Banyak pohon dirusak babi dan yaki. Pendapatan pun turun, kemudian para petani hanya mengandalkan padi.
Ternyata menanam padi pun setali tiga uang dengan cokelat. Bukan hanya hama yang menyerang. Program pemerintah yang memberi ruang masuknya perkebunan sawit pun membuat sumber air habis. Sawah tidak bisa ditanami padi lagi.
Menurut Kang Gepeng, dari 60 ha sawah di Saritani, 40 ha sudah mengering tidak kebagian air. Pasalnya, mata air yang berasal dari gunung sudah tidak mengalir hingga ke sawah. Karena gunung-gunung sudah ditanami sawit.
“Untungnya datang program Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia. Kami diajak bicara, membentuk kelompok tani. Para perempuan juga dirangkul, ini penyemangat bertani,” ungkap Kang Gepeng.
Dengan didampingi petani yang sudah lebih dulu menerapkan pertanian berkelanjutan, Kang Gepeng dan petani lainnya membentuk kelompok Tani Hutan Nantu Lestari, sementara kaum wanitanya membentuk Kelompok Melati.
“Program awal kami membangkitkan kembali tanaman cokelat. Ada 10 pohon sisa masa kejayaan di belakang rumah. Kami yakin mampu mengatasi serangan virus dari eksperimen 10 pohon yang tersisa,” kata Kang Gepeng.
Bersama 14 orang petani lainnya, kelompok Tani Hutan Nantu Lestari menggarap 10 ha lahan dengan tanaman cokelat. Biji cokelat kiriman dari petani Dusun Tumba Tamaila Utara Kabupaten Gorontalo disemai di pondok pembibitan di belakang rumah Kang Sapin, sang tetangga.
Dengan suguhan kopi dan pisang goreng, mereka membangun pondok pembibitan dengan pendampingan Bunaeri, salah seorang petani asal Jawa Tengah, dan Catur Mardi Raharjo, seorang pendamping penguatan kelompok tani.
“Petani Nantu Lestari harus disemangati untuk membuat bibit secara mandiri, agar tidak bergantung pada bibit dari luar. Kalau bisa, mereka mampu memproduksi bibit yang berkualitas dan bisa menjadi mitra pemerintah,” tutur Catur Mardi.
Bibit cokelat kiriman petani Tumba itu nantinya akan ditanam di kebun anggota kelompok. Setelah berumur 4-7 tahun, tanaman akan dilakukan sambung samping seperti yang pernah dilakukan Kang Gepeng.
“Sebagai petani, kami berharap dapat memakmurkan bumi ini, menerapkan pertanian yang ramah lingkungan. Kami menggunakan pupuk kandang,” ucap Kang Gepeng.
Kang Gepeng tetaplah Kang Gepeng. Sejak kecil sudah jatuh bangun dalam kegetiran hidup. Bahkan ia sudah tidak bisa merasakan bagaimana hidup susah lantaran sudah biasa dengan kehidupan yang pahit.
Saat menikmati kopi sajian Surtiyah, istri kesayangannya, di depan dapur. Tatapan matanya menyeruak ke dalam belantara hutan suaka marsatwa Nantu yang ada di hadapannya. Ia berharap hutan ini tetap lestari untuk mengalirkan air bersih sepanjang masa dan menjadi rumah harmoni bagi satwa liar.
Sesekali ia mengarahkan pandangannya ke belakang dapur. Ia tersenyum puas mampu menghijaukan area itu dengan tanaman tahunan. Padahal awal kedatangannya di Tamilo, ladang itu dipenuhi alang-alang. Tanaman tahunan yang menghijau itu beragam jenis, mulai dari pisang (Musa), petai (Parkia speciosa), cokelat (Theobroma cacao), kelapa (Cocos nucifera), kluwih (Artocarpus camansi), dan jenis kayu hutan.
“Kalau banyak tanaman, udara jadi segar menyehatkan petani, seperti kalau kita duduk di dego-dego (pondok) Mang Ros di bawah pohon mangga. Apalagi kalau hutannya seluas gunung, berarti menyehatkan banyak orang,” kata Kang Gepeng sambil tertawa.
Dalam harapnya, Kang Gepeng ingin kedua anaknya, Bima Ajisaputra (24) dan Bambang Abimanyu (12), dapat hidup lebih baik, memuliakan pertanian dan alam untuk kesejahteraan bersama. (mcgorontaloprov)