: Pasar Ambuwa rutin digelar setiap akhir pekan. Kehadirannya selalu dinanti warga, terutama kaum muda, karena menyajikan pentas musik dan berbagai kesenian lainnya. (Foto: istimewa)
Oleh MC PROV GORONTALO, Sabtu, 27 April 2024 | 15:25 WIB - Redaktur: Bonny Dwifriansyah - 105
Bone Bolango, InfoPublik - Sejak sore menjelang senja, sejumlah pedagang makanan menempati wombohe (pondok) yang terbuat dari bambu, berderet rapi di sebuah tanah luas di tepi jalan dengan selokan yang mengalirklan air jernih di kedua sisi jalan.
Para pedagang itu adalah warga lokal dari Desa Huntu Selatan, Kecamatan Bulango Selatan, Kabupaten Bone Bolango. Mereka menggelar menu makanan khas Gorontalo, ilabulo, nasi kuning, binte biluhuta atau milu siram, tiliaya, bubur sada, apang colo, popolulu, kalakala, hingga sabongi.
Semua kue itu dibuat sendiri oleh warga, termasuk bahan bakunya berasal dari daerah sendiri. Umumnya, bahan-bahan itu dibeli di pasar setempat atau bahkan didapat dari kebun sendiri.
Ini adalah Pasar Ambuwa yang rutin digelar pada akhir pekan atas inisiasi sejumlah seniman dan aktivis Gorontalo. Setiap penyelenggaraannya selalu dinanti warga, terutama kaum muda. Di setiap penyelengaraan, ada pentas musik oleh komunitas seni. Ada kalanya diisi dengan diskusi atau donor darah.
“Tidak ada sampah plastik di Pasar Ambuwa ini, kami suka datang,” ujar Sheptiani Rusmaningtyas salah satu warga Kelurahan Leato Kota Gorontalo, Sabtu (27/4/2024).
Shepti, sapaan akrab Sheptiani Rusmaningtyas, mengaku selalu berusaha menyempatkan hadir di Pasar Ambuwa jika ada jadwalnya. Tidak hanya rindu pada panganan lokal semata, tapi juga lokasi itu telah menjadi penghubung kaum muda Gorontalo. Di sana ia bisa bertegur sapa dengan para pegiat seni atau lainnya.
Sebelum masuk arena Pasar Ambuwa, pengunjung disuguhi peringatan dalam bentuk karikatur yang lucu untuk tidak membawa kemasan plastik sekali pakai, sedotan plastik, wadah styrofoam, dan alumunium foil.
Di depan gerbang bambu bahkan tergantung tulisan yang berbunyi "Sejak masuk lokasi, semua adalah rakyat." Tulisan itu menegaskan sikap egaliter yang dianut penyelenggara dan pengunjung Pasar Ambuwa. Semua manusia setara.
Pengunjung yang menikmati makanan dapat menggunakan tikar anyaman pandan untuk lesehan di halaman yang dipenuhi rumput hijau, sambil menikmati sejumlah musisi dan penyanyi di panggung Bantayo Pomata yang menjadi sentra pertunjukan.
Semua makanan disajikan dalam piring anyaman lidi, dibungkus menggunakan daun pisang. Di pasar ini, tidak ada pembungkus plastik atau bahan lain yang susah diurai. Pengelola pasar secara tegas memberi pelajaran untuk tidak menambah penderitaan Bumi dengan sampah yang butuh ribuan tahun untuk diurai.
“Kami menyediakan air minum gratis, pengunjung hanya perlu membawa tumbler saja,” ujar Julianur Husain, salah seorang pengelola Pasar Ambuwa.
Julianur menjelaskan, di bulan Ramadan ini Pasar Ambuwa menawarkan paket buka puasa bersama. Paket untuk tiga orang seharga Rp75 ribu untuk menu apang colo, bubur ayam, tahu isi, kopi susu dingin, nasi kuning, nasi ayam kampung, balapis, popolulu dan kue cantik manis.
Ada juga paket yang lebih besar. Paket menu buka puasa ini paling suka dipesan kaum muda atau keluarga yang ingin menikmati suasana pedesaan di Pasar Ambuwa.
Julianur mengatakan, memasuki bulan Ramadan tingkat konsumsi masyarakat justru meningkat. Artinya, sampah yang dihasilkan juga meningkat. Ia pun mengajak warga untuk memikirkan sampah-sampah itu agar tidak menjadi masalah bersama.
Di Pasar Ambuwa, menurut Julianur, untuk menghilangkan sampah plastik, warga harus bisa membiasakan diri tidak menggunakan kemasan plastik.
Salah satu daya pikat Pasar Ambuwa adalah suguhan musiknya. Musisi muda hadir sebagai oase di tengah keringnya pertunjukan seni berkualitas di Gorontalo.
Wahyudin Rajak, seorang musisi dari kelompok Posuara Creartivespace, sering manggung di pasar ini. “Kalau main di Pasar Ambuwa, kami dibayar dengan keping tempurung untuk belanja di situ,” ujar Wahyudin.
Wahyudin mengaku ikut mentas bukan untuk mengejar uang semata, tapi lebih kepada kebutuhan berjejaring sesama seniman.
Di arena itu, Wahyudin menawarkan beragam warna musik, tapi ia mengaku pertunjukan musiknya juga bergantung pada kemampuan dan kondisi musisi lainnya. “Kadang serius, kadang ala kadarnya juga,” katanya sambil tersenyum.
Wahyudin menjelaskan, keping tempurung yang ia terima adalah alat tukar di Pasar Ambuwa. Semua pengunjung yang ingin berbelanja harus menukarkan uang dengan keping tempurung yang nantinya jadi alat transaksi dengan para penjual. Satu keping tempurung ditukar dengan uang Rp6 ribu. Dalam transaksi ini, pedagang hanya menyediakan satu atau dua keping tempurung.
Usai main musik, Wahyudin dan seniman lainnya akan menggunakan keping tempurung untuk berbelanja di wombohe sesuai pilihan menu. Baginya, berburu makanan dengan keping tempurung merupakan pengalaman yang berkesan. Begitu juga bagi pengunjung lainnya.
Tidak hanya seniman lokal yang pentas di sini. Panggung Bantayo Pomata juga menjadi arena pertunjukan seniman lainnya. Bahkan Ami Yokoyama, violinis dari Negeri Sakura Jepang, juga pernah menyajikan atraksi gesekan violinnya di sana.
Tidak hanya musik, tempat ini juga menjadi etalase karya seni rupa yang memikat. Bahkan, di bagian lain, terpampang karya seni Lukis yang menampilkan tiga sosok tokoh Indonesia terkemuka, yakni K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Gur, Ahmad Syafii Maarif, dan Pramudya Ananta Toer. Di bagian dalam rumah yang menjadi studio seni rupa, tak terhitung karya seni yang terpajang, bahkan di bagian gudang juga menumpuk sejumlah lukisan.
Sejarah Pasar Ambuwa dimulai pada tahun 2018 yang saat itu bernama Parade Kuliner Tradisional bersamaan dengan gelaran Pesta Seni Panen Padi Ma Ledungga yang berlangsung setiap 10-12 Mei.
Setahun kemudian, Parade Kuliner Tradisional berganti nama menjadi Pasar Seni Rakyat (PSR) yang digelar setiap pekan bulan Desember, saat berlangsungnya pesta seni panen padi di lokasi tersebut.
Tahun 2020 hingga 2021, Covid-19 mewabah. PSR berubah menjadi Pasar Seni Warga (PSW) karena sebagian besar penjual di pasar ini adalah para wanita warga Desa Huntu Selatan. PSW berlangsung setiap Minggu pagi di bulan September dan Desember 2020, dan pada Januari, Februari, Maret 2021.
“Setelah jeda panjang karena PSBB yang diterapkan pemerintah, pada 26-28 November 2021, PSW digelar dengan nama Pekan Studio Pangan Warga. Berlanjut di Januari-April 2022 yang digelar dua kali setiap bulan di hari Sabtu,” tutur Julianur.
Sejak Mei 2022 hingga September 2023, para pengelola menyepakati penggunaan nama Pasar Ambuwa. Ambuwa dalam Bahasa Gorontalo berarti 'berkumpul' atau 'bersama'. Kata 'ambuwa' juga adalah potongan kata 'buwa' yang berarti 'perempuan'. Hal itu sejalan dengan fenomena bahwa semua penjual di pasar tersebut sejak tahun 2018 hingga sekarang adalah para perempuan dan ibu-ibu warga Desa Huntu Selatan.
Pelaksana pasar ini adalah Huntu Art Distrik (Hartdisk), komunitas lintas bidang yang bergerak di seni rupa, pertunjukan, sastra, lingkungan, budaya, dan pangan lokal.
Guyubnya penyelenggara Pasar Ambuwa bukan berarti tidak menemukan kendala. Julianur mengungkapkan masih ada pengunjung yang belum paham aturan selama kegiatan, yaitu tidak membawa kantong plastik sekali pakai, atau wadah makan yang dapat menimbulkan sampah, misalnya styrofoam, mika, sedotan, dan lain-lain.
“Konsep Pasar Ambuwa ini adalah berkumpul dan bersama-sama. Ada interaksi, ada beberapa pembeli yang memesan lewat aplikasi online. Ini yang belum kami setujui karena penyediaan wadah atau kantong plastik menjadi keharusan bagi ojol,” ungkap Julianur.
Ia menegaskan bahwa Pasar Ambuwa digerakkan dengan semangat relawan yang setiap tiga hingga enam bulan berganti dan dievaluasi. Hal itu menjadi tantangan tersendiri untuk mengajak para relawan sekaligus memberikan edukasi tentang lingkungan. (mcgorontaloprov)