:
Oleh MC GEREJA PROTESTAN MALUKU, Sabtu, 8 Januari 2022 | 04:45 WIB - Redaktur: Tobari - 3K
Ambon, InfoPublik - Buku yang ditulis Pendeta R. A. Rikumahu Ketua Klasis Pulau Ambon, dengan judul “Moto dan Logo GPM” Mengulik Sejarah dan Teologinya dilaunching di gedung aula kantor Klasis Pulau Ambon, Jumat (7/1/2022).
Acara ini dihadiri oleh MPH Sinode GPM, Rektor UKIM, Rektor IAKN, Dekan Fakultas Teologi UKIM, pimpinan Klasis Kota Ambon, Pulau Ambon Timur, Pulau Ambon Utara, Seram Utara dan Banda.
Dalam penyampaian deskripsi buku, Pendeta Rikumahu menjelaskan bahwa buku ini merupakan pengembangan dari tesis saat melanjutkan program study pasca sarjana di UKIM.
Tujuannya supaya karya ini tidak hanya terkurung dalam perpustakaan tetapi bisa menjadi pengetahuan jemaat dan para pelayan di GPM.
Moto dan logo GPM menjadi inti penulisan ini karena sebagai pendeta yang pernah mengalami di jemaat maupun di klasis setiap kali kami mengucapkan perumusan moot gpm seringkali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan pendek.
"Misalnya mengapa diantara begitu banyak teks alkitab perjanjian lama maupung perjanjian baru teks 1 korintus 3:6 itu dipilih sebagai moto GPM,” Ungkapnya.
Selanjutnya, ada 3 metode yang digunakan diantaranya; tafsir sejarah, tafsir biblika dan tafsir simbol. Ia menjelaskan tafsir simbol digunakan karena logo GPM adalah visualisasi dari teks moto.
Dibagian akhirnya ditemukan beberapa kesimpulan yang juga merupakan upaya kontekstualisasi, diantaranya warna yang terdapat dalam logo, cara pandang hamba-hamba Tuhan terhadap moto, dan bagaimana pendeta GPM bekerja dibalik spirit dan moto itu.
Ia berharap, buku ini bisa menjadi milik bersama terutama dapat membantu mengatakan perspektif dalam berteologi di GPM dan juga dikemudian hari bisa berkontribusi untuk penyusunan dokumen eklesiologi GPM.
Terkait hal ini, Pendeta Steve Gaspersz – Wakil Rektor 4 UKIM, mengungkapkan bahwa sudah lama orang bertanya apa arti moto dan logo GPM.
Sejalan dengan itu, banyak pula spekulasi tentang arti dan maknanya. Buku ini bantu menjawab dengan mengkonstruksi eklesiologis GPM yang dibangun dalam pemaknaan terhadap moto dan logo yang digunakan.
Menurutnya, Apa yang dilakukan Pendeta Riko merupakan akumulasi dari refleksi di dalam study-study yang serius.
Ia menjelaskan bahwa secara metedologi seorang peneliti yang datang dari luar masyarakat biasanya menghabiskan waktu 2 tahun untuk hidup bersama-sama dengan lingkungan tempat pelaksanaan penelitian itu.
Baginya, teman-teman pendeta yang bergelut dengan jemaat lebih dari 2 tahun sebenarnya menyimpan mutiara yang sangat luar biasa.
"Data-data etnografi yang sangat kaya. karena Pendeta bukan outsider (orang luar) atau observer“pengamat dari luar” jemaat tapi justru orang yang terlibat langsung dalam kehidupan jemaat, tau persoalan rumah tangga, tau cerita jemaat,” imbuhnya.
Sehingga cerita-cerita dan pengalaman-pengalaman di jemaat tidak dibuang begitu saja, tidak hanya dari mulut ke mulut tapi menjadi monumen hidup yang termuat dalam suatu dokumen yang penting bagi eklesiologi GPM.
Kekayaan gereja bukan terletak di tanah lapang kecil, tapi justru di tanah lapang besar dan yang berteologi para Pendeta dan Jemaat. Yang artinya kekayaan semacam ini tidak boleh dibiarkan.
Tugas Pendeta di jemaat adalah artikulasikan pengalaman iman itu menjadi sebuah dokumen eklesiologi gereja yang kemudian akan di rampung oleh dosen.
“Momen semacam ini penting tidak hanya dari segi bukunya tapi bagaimana kita meruntuhkan mitos antara kampung dan kampus. Seorang pendeta bisa menulis buku tanpa harus menjadi dosen,” tuturnya.
Pendeta E T Maspaitella – Ketua MPH Sinode GPM, mengawali arahannya dengan mengutip dari buku Pendeta Riko, “Moto, logo, dan cap GPM memiliki jejak sejarahnya.
Bukan semacam wahyu yang jatuh dari tempat tersembunyi yang membatasi penerimanya menguji asal usul, makna, implikasi dan kepentingan di baliknya.
Moto dan logo GPM mewujudkan tindakan sadar gereja untuk mengkonstruksikan visinya ditengah konteks gunung. Oleh karena itu moto dan dan logo gpm merupakan simbol yang menerapkan apa itu GPM, untuk apa GPM hadir, dan bagaimana cara menyatakan kehadirannya.
Moto dan logo GPM mengacu pada sesuatu yang sama tak terpahami atau tersembunyi, sedangkan GPM adalah sesuatu yang nyata, terpahami dan kelihatan. “Saya sudah membaca buku ini 2 kali sampai selesai," imbuhnya.
Pendeta Maspaitella tergugah dengan pernyataan Pendeta Riko bahwa buku ini patut direnungi oleh jemaat dan pelayan. Guna untuk melihat bahwa dimensi sejarah yang termuat dalam buku ini sudah mengulik aspek penghayatan diri kita sebagai gereja.
“Bagi saya, ketika Joseph Kam tertarik dengan Ambon, sebenarnya itu adalah momentum dia mengadaptasi konteks kekristenan laut pulau. Suatu konteks baru baginya yang lahir dan bertumbuh dalam lingkungan kontinutal,” tuturnya.
Baginya, buku ini juga menyajikan sebuah Hermeneutika biblika yang menarik. Sebab teks 1. Korintus 3:6 telah didekati dengan hemeneutik sosial yang mengulas dinamika sosial Korintus dengan melihat sisi-sisi batu yang ada punya relevan dengan pemaknaan konteks berGPM selama ini.
Yaitu mengapa kita harus menjadi gereja yang bersatu dan mengapa karunia itu harus dikelola untuk bersatu dan menjadi satu gereja dalam keluarga Allah.
“Beta GPM sebagai slogan kini sudah bisa dijelaskan hakekat maknanya,” imbuhnya.
Buku ini juga menyajikan deskripsi konteks dalam simbol/logo. Simbol telah dijadikan sebagai representasi dari diri kita. Sedangkan moto adalah suatu pengakuan atau penghayatan iman sebagai bentuk pengakuan individu dan komunitas yang adalah GPM.
Sebab itu moto dan logo adalah 2 aspek yang inheren dalam pembangunan tubuh GPM. Itulah sebabnya eklesiologi merupakan fondasi teologi.
Buku ini telah telah merekonstruksi eklesiologi GPM dari dasar terdalamnya. MPH Sinode GPM berterima kasih kepada Pendeta Riko Rikumahu atas karya ini. (GPM?toeb)