:
Oleh MC KAB PESISIR SELATAN, Selasa, 1 Oktober 2019 | 12:38 WIB - Redaktur: Noor Yanto - 291
Painan, InfoPublik - Minimnya simulasi kesiapsiagaan terhadap masyarakat dalam menghadapi bencana gempa yang berpotensi tsunami sebagai mana diprediksi para ahli, membuat sebagian besar masyarakat tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hal itu juga diakui beberapa masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel) yang berada di zona merah tsunami, ketika di tanya penulis Senin (30/9) terkait sepuluh tahun bencana gempa 30 September 2009 berlalu.
Mardiana 52, salah seorang ibu rumah tangga di Pantai Salido Kecamatan IV Jurai ketika ditanya penulis pesisirselatan.go.id Senin (30/9) mengatakan, gempa yang diprediksi berpotensi tsunami memang sesuatu yang sangat menakutkan baginya.
"Karena tinggal di pesisir pantai, sehingga perasaan takut bila terjadi gempa memang saya akui. Saya katakan demikian, sebab yang diwaspadai bukan saja akan tertimpa bangunan, tapi juga ancaman terhadap susulan tsunami," ungkapnya.
Hal itu dikatakanya karena minimnya sosialisasi dan simulasi gempa dan tsunami di daerah itu.
"Kalaupun ada pengetahuan yang saya dapatkan terkait gempa dan tsunami, itu hanyalah melalui media sosial (Medsos) yang memang mudah di dapatkan. Namun bagi saya itu sudah dianggap cukup," akunya.
Walau baginya itu dianggap cukup, tapi tidak semua warga yang aktif ber media sosial. Terutama sekali bagi orang tua yang tidak membutuhkan medsos sebagai sarana informasi.
"Karena juga banyak masyarakat yang tidak peduli dan aktif ber medsos. Sehingga simulasi kesipsiagaan dalam menghadapi gempa yang diprediksi tsunami ini, perlu dilakukan. Terutama sekali pada pemukiman warga yang masuk pada zona merah," ucapnya.
Sebab berdasarkan informasi yang diterimanya, dari 182 nagari yang ada di Pessel, sebanyak 41 nagari berbatasan langsung dengan pesisir pantai.
"Agar pemerataan informasi dan pengetahuan terhadap gempa yang diprediksi tsunami bisa sampai kepada semua masyarakat, maka warga yang tinggal di 41 nagari itu perlu ditingkatkan pengetahuan terhadap gempa dan tsunami. Tujuannya adalah untuk meminimalisir dampak korban besar bila bencana yang ditakutkan itu terjadi," harapnya.
Kepala BPBD Pessel, Herman Budiarto melalui kepala bidang (Kabid) Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Yef Indra ketika dihubungi menjelaskan keterbatasan keuangan menjadi salah satu penyebab pihaknya tidak mampu melakukan simulasi kesiapsiagaan kapada masyarakat secama maksimal.
"Hal itu saya katakan, sebab selama tahun 2018 dan tahun 2019 ini, kita memang tidak ada melakukan simulasi gempa dan tsunami untuk meningkatkan pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat," katanya.
Kalaupun ada digelar simulasi gempa dan tsunami pada tiga nagari dan sekolah, BPBD Pessel hanya sebagai yang memfasilitasi.
"Saya katakan demikian, sebab simulasi gempa dan tsunami itu diselenggarakan oleh NGO asal Jerman, dan juga oleh pihak sekolah. Sedangkan BPBD hanya sebagai fasilitasi terhadap kegiatan itu," ungkapnya.
Beranjak dari kondisi itu dia berharap agar penganggaran terhadap instansinya bisa lebih ditingkatkan.
"Sebab dengan hanya memiliki anggaran sebesar Rp1,9 miliar per tahun, sangatlah sulit BPBD Pessel bisa membangun infrastuktur yang menunjang kesiapsiagaan masyarakat, termasuk juga melakunan simulasi-simulasi. Sebab anggaran sebesar itu hanya memadai untuk kebutuhan rutin sekretarit," jelasnya.
Dengan kondisi keterbatasan itu, sehingga dia memberikan apresiasi kepada MTsN Salido, dan NGO asal Jerman yang telah melakukan simulasi di daerah itu selama tahun 2019 ini.
"Saya harap upaya itu juga dilakukan oleh berbagai lembaga lainya yang ada di daerah, agar pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi gempa yang disertai tsunami semakin tinggi di Pessel," tutupnya.