Pendidikan Vokasi Menjadikan Batik sebagai Produk Budaya dan Ekonomi

:


Oleh G. Suranto, Jumat, 8 Oktober 2021 | 09:23 WIB - Redaktur: Untung S - 103


Jakarta, InfoPublik - Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi (BBPPMPV) Seni dan Budaya Kemendikbudristek menggelar webinar untuk memperingati Hari Batik Nasional 2021. Webinar tersebut mengangkat tema “Batik Menguatkan Profil Pelajar Pancasila dan Budaya Kerja”.

Dalam webinar dibahas tentang upaya-upaya pelestarian batik sebagai warisan budaya hingga sebagai produk budaya yang memiliki manfaat eknonomi. Narasumber yang hadir yaitu Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Kemitraan Penyelarasan DUDI, Saryadi, Afif Syakur dari Paguyuban Sekar Jagad, Pimpinan Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, Octo Lampito, dan Project Director of Arief Rachman and Associate, Arief Rachman.

Kepala BBPPMPV Seni dan Budaya, Sarjilah, mengatakan BBPPMPV Seni dan Budaya turut menyuarakan dan mengampanyekan produk batik, baik dari hasil karya di lingkungan BBPPMPV maupun batik-batik dari satuan pendidikan vokasi, seperti SMK, lembaga kursus dan pelatihan, dan politeknik.

Selain batik, BBPPMPV Seni dan Budaya juga mempromosikan wastra-wastra hasil budaya dari seluruh penjuru Tanah Air.

“Kemendikbudristek memberikan perhatian khusus terhadap pengembangan budaya. Kami baru saja mendapat kabar dari Ditjen Kebudayaan, bahwa ada program khusus terkait wastra, yaitu hasil karya dari kain-kain produk budaya bangsa Indonesia. Kalau batik memang lebih terkesan dari Pulau Jawa. Namun secara nasional, kami mengampanyekan wastra melalui Gerakan Bangga Buatan Indonesia,” ujar Kepala BBPPMPV Seni dan Budaya, Sarjilah, seperti dikutip dalam rilis Kemendikbudristek di Jakarta, Kamis (7/10/2021).

Terkait Gerakan Bangga Buatan Indonesia, ada perbedaan gerakan Bangga Buatan Indonesia yang diampu Kemendikbudristek dengan kementerian/lembaga lain. Kementerian/lembaga lain berfokus pada UMKM, sedangkan Kemendikbudristek selain memberikan perhatian khusus pada UMKM, juga mengampanyekan produk-produk hasil satuan pendidikan vokasi ataupun satuan pendidikan yang lain.

Pelaksana Tugas (plt.) Direktur Kemitraan Penyelarasan DUDI, Saryadi, mengatakan pemanfaatan batik di lingkungan pendidikan vokasi bisa dikaitkan dengan program taut suai  (link and match).

Saryadi menjelaskan, program taut suai memiliki dari 2.300 perguruan tinggi penyelenggaran pada.vokasi, labih dari 14.000 SMK, dan lebih dari 17.000 lembaga kursus dan pelatihan. Satuan pendidikan vokasi tersebut memiliki konektivitas kompetisi yang erat dengan pengembangan budaya dan batik Indonesia.

“Melalui satuan pendidikan vokasi, kita berharap batik-batik hasil kreasi siswa, guru, maupun tenaga kependidikan di satuan pendidikan vokasi dapat berkembang lebih lanjut dan akan menguatkan batik Indonesa yang merupakan warisan budaya Indonesia,” ujar Saryadi.

Ia juga berharap berbagai pemangku kepentingan di bidang pendidikan vokasi dapat terus mendukung perkembangan pendidikan vokasi, khususnya perkembangan budaya dan industri batik.

Dua sisi batik sebagai komoditas budaya dan komoditas ekonomi kemudian dibahas oleh Afif Syakur dari Paguyuban Sekar Jagad dalam webinar. Ia mengatakan, batik sebagai komoditas budaya menjadi seni adi luhung bangsa dan menjadi bagian dari filosofis hidup dan karakter bangsa. Sementara batik sebagai komoditas ekonomi diperdagangkan dan dibuat secara profesional, komersial, berkonsep, berkembang, dan kreatif dengan mengikuti perkembangan teknologi dan tren.

Menurut Afif, perlu dilakukan riset yang berkesinambungan untuk membuat batik menjadi  produk ekonomi yang diminati. Kreativitas dan imajinasi yang dimiliki siswa di satuan pendidikan vokasi bisa menjadi sumber daya untuk pemanfaatan batik secara ekonomi dengan tidak meninggalkan unsur budaya atau etnik.

“Indonesia ini adalah pintu gerbang etnik dunia. Kita ingin ini dibuka sedemikian rupa sehingga bisa disukai siapa pun. Perlu riset untuk membuat produk yang favorit dan risetnya harus dilakukan sejak dini, yaitu pada saat mereka di sekolah dengan kreativitas dan imajinasi siswa sesuai dengan perkembangan zaman,” tuturnya.

Dalam webinar yang digelar Senin (4/10)  tersebut, hadir Pimpinan Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat, Octo Lampito yang membahas bentuk dukungan media terhadap perkembangan batik. Menurutnya, media bisa memberikan edukasi dan informasi mengenai berbagai hal tentang batik dan perkembangannya.

“Jadi media massa baik mainstream maupun media baru, bisa memberikan informasi yang detail. Misalnya informasi tentang pameran batik, fashion show virtual, dan seterusnya,” ujar Octo.

Ia menambahkan, media juga bisa membangun opini publik, termasuk pada saat saat peringatan Hari Batik Nasional. Menurutnya, hampir seluruh media meliput banyak komunitas yang mengadakan acara yang mendorong perkembangan batik. “Jadi bagaimana supaya batik itu terdengar di mana-mana. Ini juga membangun opini bahwa ternyata batik memang luar biasa,” katanya.

Popularitas batik juga diakui oleh Project Director of Arief Rachman and Associate, Arief Rachman. Ia menuturkan, batik tidak hanya terdapat di Indonesia, melainkan juga di Malaysia, Brunei, dan banyak negara lain yang ingin mengakui batik sebagai budayanya.

Tetapi pada 2009, para rajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah, mendapat penghargaan dari UNESCO internasional mengenai pendidikan dan pelatihan yang melatih siswa melakukan pembatikan sebagai warisan dunia tak benda untuk siswa jenjang SD, SMP, SMA, SMK, politeknik, hingga universitas.

Arief kemudian mengingatkan, agar bangsa Indonesia bisa  menjaga batik dan menjadikan lambang kekuatan dan kebudayaan Indonesia serta menjadi jati diri bangsa. “Peringatan hari batik ini adalah dalam rangka menjaga, agar batik tidak sampai menjadi suatu barang untuk berdagang, tetapi memiliki filosofi yang kuat,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa bangsa Indonesia harus memiliki upaya-upaya untuk menjaga batik sebagai warisan budaya karena batik telah dinobatkan sebagai warisan budaya tak beda oleh UNESCO pada 2009, termasuk di dalamnya proses pengerjaan batik. Menurutnya, perlu adanya peran pendidikan dalam upaya pelindungan dan pelestarian batik, salah satunya dengan memasukkan batik ke dalam kurikulum. “Kalau perlu membatik itu menjadi wajib seperti di Pekalongan dan Yogyakarta. Ini merupakan upaya untuk memperkenalkan batik ke generasi muda. Selanjutnya bisa dengan menambahkan ke dalam ekstrakurikuler, jadi mendorong partisipasi aktif siswa, guru, dan yang lainnya,” tutur Arief.

Sebagai penutup, ia menyampaikan pentingnya pelindungan dan pelestarian batik. “Karena UNESCO menganggap kebudayaan itu pengemudi dan unsur yang bisa memungkinkan adanya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Culture is the driver and the enabler of sustainable development,” katanya.

(Foto: Kemendikbudristek)

 Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber InfoPublik.id.