:
Oleh H. A. Azwar, Selasa, 31 Mei 2016 | 23:15 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 680
Jakarta, InfoPublik - Filosofi Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebagai tabungan bagi pekerja saat memasuki usia pensiun, sangat penting demi kesejahteraan pekerja di masa tuanya.
Direktur Perluasan Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan E Ilyas Lubis dalam acara focus group discussion dengan tema “Program Jaminan Hari Tua: Untuk hari tua yang lebih layak bagi pekerja” di Jakarta, Selasa (31/5) mengungkapkan, tren pencairan dana JHT yang dilakukan pekerja pasca perubahan regulasi didukung pula oleh tren pemutusan hubungan kerja yang meningkat tajam.
Perluasan regulasi terhadap PP Nomor 46 tahun 2015 yang berlaku pada 1 Juli 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua memungkinkan pekerja untuk mencairkan dana JHT yang mereka miliki tanpa melihat masa kepesertaan peserta yang sebelumnya diatur selama 5 tahun 1 bulan.
Berlakunya PP No 60 tahun 2015 tentang perubahan atas PP No 46 tahun 2015 dengan turunannya melalui Permenaker No 19 tahun 2015 merupakan faktor utama meningkatnya permintaan klaim JHT dihampir seluruh Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan, ungkap Ilyas.
Menurut Ilyas, berdasarkan data yang dimiliki BPJS Ketenagakerjaan, tercatat hingga 7.500 permintaan klaim per hari sejak bulan November 2015 hingga Maret 2016 dengan jumlah Rp50 sampai 55 Miliar per hari pada periode Januari-Maret 2016.
“Kasus pencairan JHT tersebut meningkat 266 persen dari sebelum Permenaker No 19 diberlakukan,” ujarnya.
Dijelaskannya, fakta yang terjadi saat ini, sebanyak 5 persen dari para pekerja yang mengundurkan diri dan melakukan pencairan JHT, kembali bekerja.
Dari 42.041 peserta yang bekerja kembali setelah mencairkan JHT, ternyata sebanyak 6.003 kembali bekerja di perusahaan yang sama, sementara sisanya bekerja di perusahaan lain, sehingga tabungan masa depan mereka dihabiskan, padahal tabungan itu sangat berguna bagi mereka di masa pensiun, jelas Ilyas.
Pencairan JHT didominasi oleh peserta dengan masa kepesertaan 1-5 tahun dan 5-10 tahun, dimana peserta tersebut berada dalam usia produktif mereke untuk bekerja.
Sementara di sisi lain, saldo JHT para pekerja berbanding lurus dengan masa kepesertaan yang mana akan dirasakan signifikan saat masa kepesertaan mencapai minimal 20 tahun. Dilihat dari kelompok kerja, rata-rata peserta non aktif memiliki saldo yang relatif kecil dibanding kelompok kerja lainnya. Kesimpulannya adalah tenaga kerja non aktif berasal dari golongan yang memiliki upah rendah.
Hal ini berdampak pula pada profil maturitas kewajiban Dana Jaminan Sosial (DJS) yang sebelumnya dilakukan dengan jangka menengah-panjang menjadi menengah-pendek. Meski demikian, tingkat kesehatan keuangan DJS masih dalam batas aman yaitu 99,39 persen.
Masyarakat pekerja yang ada saat ini mungkin belum merasakan dampak jangka panjang yang nantinya sangat mungkin dihadapi. Seperti diketahui, Indonesia sedang menikmati bonus demografi, dimana mayoritas penduduk merupakan masyarakat dengan usia produktif.
Pada tahun 2050, penduduk dengan usia lebih dari 65 tahun akan meningkat sebanyak 338,6 persen.
Dengan tidak adanya persiapan hari tua yang baik, bukan tidak mungkin bonus demografi yang saat ini dinikmati bisa menjadi bencana di masa yang akan datang.
“Hari tua yang sejahtera harus dipersiapkan dengan matang, salah satunya dengan mengembalikan fungsi JHT sesuai dengan filosofinya,” tukas Ilyas.
FGD ini dibuka oleh Dirjen PHIJSK Kemnaker Haiyani Rumondang, dihadiri oleh Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional TB Rachmat Sentika, Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Wahyu Widodo, Said Iqbal dan Yoris Riweyai selaku Presiden KSPI dan Ketua Umum KSPSI.