Kajian KPK: Potensi Korupsi Tinggi, 65 Persen Pengguna Layanan Pertanahan Gunakan Jasa Kuasa

:


Oleh Pasha Yudha Ernowo, Rabu, 4 Januari 2023 | 19:02 WIB - Redaktur: Untung S - 1K


Jakarta, InfoPublik - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapati fakta bahwa pelayanan pertanahan bagi masyarakat umum masih terkesan sulit, sehingga sebagian besar memilih menggunakan kuasa. Hal ini didapati setelah KPK melalui Direktorat Monitoring melakukan kajian ‘Pemetaan Layanan Pertanahan Tahun 2022’.

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menjelaskan kajian itu mencatat sebanyak 65 persen pengguna dari semua jenis layanan menggunakan kuasa, baik dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau mitra.

Data itu keluar setelah tim monitoring melakukan analisis terhadap 1.023 berkas layanan pertanahan tahun 2022 pada 12 kantor pertanahan (Kantah) se-Jabodetabek.

“Hal itu adalah potret yang dirasakan masyarakat dan menunjukan ada gejala dan fenomena rentan potensi korupsi,” kata Ghufron dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Rabu (4/1/2023).

Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyebutkan tujuh dari 12 Kantah di Jabodetabek, sebesar 90 persen layanan peralihan hak menggunakan kuasa. Bahkan seluruh Kantah di Jakarta Utara dan Jakarta Barat 100 persen layanan peralihan menggunakan kuasa.

Masifnya penggunaan kuasa pada saat proses layanan pertanahan disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, jenis layanan pertanahan belum dipahami masyarakat secara jelas, kedua, sebagian besar layanan pertanahan belum online.

Ketiga, layanan pertanahan yang dapat diakses secara online (cek sertifikat, hak tanggungan, surat keterangan pendaftaran tanah, informasi zona nilai tanah) hanya dapat diakses oleh akun PPAT/mitra. Keempat, layanan pertanahan melalui PPAT/mitra lebih cepat selesai, kelima, layanan peralihan hak mayoritas di-bundling oleh PPAT.

“Akibatnya layanan melalui kuasa membuat biaya layanan menjadi lebih mahal dari tarif resmi. Juga membuka peluang terjadinya gratifikasi dari tarif resmi,” kata Pahala.

Permasalahan selanjutnya ialah waktu layanan melebihi Service Level Agreement (SLA) dan terjadi diskriminasi pelayanan. Ditemukan sebesar 74 persen berkas melebihi SLA/SOP—dimana Kantah dengan ketidakpastian paling tinggi ialah Kota Depok 91,14 persen; Kabupaten Bekasi 87,5 persen; dan Kabupaten Bogor 86,9 persen.

Ketidaktepatan SLA terjadi pada tiga jenis layanan yaitu peralihan hak jual beli 90,3 persen; perubahan hak atas tanah 73,4 persen; dan roya sebesar 73,3 persen. Setelah dilakukan monitoring, penyebabnya ialah tidak ada reward dan punishment untuk pelanggaran SOP, dugaan adanya dukungan dana dari PPAT/mitra, dan ketepatan waktu tidak menjadi target kerja Kantah.

Di sisi lain akibat penggunaan kuasa, maka terjadi masalah pengenaan biaya tambahan di luar PNBP yang cukup tinggi. Penyebabnya ialah sulitnya pengaturan terkait besaran biaya jasa pengurusan layanan pertanahan oleh kuasa dimana biaya ditentukan berdasarkan negosiasi karena pertimbangan ketidakpastian layanan.

“Terjadi tindak pidana korupsi berupa pungli, suap, dan gratifikasi sebagai alasan mempercepat/akselerasi layanan,” ujarnya.

KPK turut menemukan permasalahan adanya berkas yang telah selesai namun belum diserahkan. Setidaknya terdapat 12.142 berkas 2021 di 13 Kantah Jabodetabek pada Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP) berstatus selesai namun belum diserahkan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pemberitahuan kepada pemohon bagi yang belum menginstall 'Aplikasi Sentuh Tanahku.'

Di sisi lain, lemahnya pengawasan kesesuaian status berkas fisik dengan berkas digital di aplikasi dan penerima kuasa tidak mengambil berkas yang sudah selesai. Jika dibiarkan hal ini akan menimbulkan kerawanan berupa berkas hilang.

Dari semua penjelasan di atas, dapat diambil benang merahnya bahwa pengawasan terhadap layanan pertanahan di Indonesia masih sangat lemah. Dimana Kementerian ATR/BPN masih kurang melakukan pembinaan dan pengenaan sanksi kepada PPAT yang melanggar aturan juga SOP.

Sehingga hal itu akan berdampak kepada pelayanan yang masyarakat dapatkan. Mulai dari tingginya biaya, terjadi gratifikasi dalam proses pengukuran tanah, dan ketidakpastian layanan dan potensi terjadi penyimpangan.

Foto: Dok KPK