Pakar Hukum Imbau Masyarakat Dukung Pengesahan RUU KUHP

:


Oleh Eko Budiono, Rabu, 5 Oktober 2022 | 11:58 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 508


Sorong, InfoPublik - Pakar hukum dari Universitas Semarang, Prof. DR. H. R. Benny Riyanto, SH., M.HUM., C.N, berharap seluruh elemen bangsa termasuk masyarakat mendukung dan mendorong secepatnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di 2022.

Upaya ini akan meninggalkan produk Kolonial Belanda, dan kemudian membawa hukum pidana di Indonesia menuju hukum yang lebih modern serta mencerminkan nilai asli bangsa.

"Pengesahan RUU KUHP ini akan sangat penting sebagai legacy atau warisan untuk bangsa. Ini penting," kata Prof. Benny saat acara Dialog Publik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), Kota Sorong, Papua Barat, Rabu (5/10/2022).

Dikatakan Prof. Benny pada kegiatan yang digagas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tersebut, salah satu hal krusial dan penting dari pengesahaan RUU KUHP adalah perubahan paradigma hukum. Perubahan yang bersifat rehabilitatif dan restoratif.

"Pengesahahan RUU KUHP juga amanat konstitusi," tegasnya.

Alasan lain adalah bahwa KUHP yang berlaku saat ini memang produk lama yang sudah tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.

Sedikit memberi gambaran, Prof. Benny pun mengungkapkan jika KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini berasal dari Belanda dengan nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS). KUHP ini kemudian diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Upaya pembaruannya sesungguhnya terus dilakukan. Dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Kemudian pada 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP baru yang prosesnya masih berlangsung hingga  saat ini.

RUU KUHP, kata  Prof. Benny, pernah dikirimkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2012, dan dikirimkan kembali oleh Presiden Joko Widodo pada 2015 ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Prof Benny menyebutkan, draft RUU KUHP terdiri dari 628 pasal dan dua buku, yakni buku kesatu tentang aturan umum berlakunya hukum pidana, dan buku kedua tentang tindak pidana. Sejak 1964 hingga 2019 sudah terdapat 24 draft RUU KUHP.

"Sosialisasi aktif antara lain melalui dialog publik dan seminar  dengan menggandeng perguruan tinggi," kata Prof. Benny seraya menambahkan jika pemerintah telah menjalankan amanat Mahkhamah Konstitusi (MK) terkait partisipasi  publik yang bermakna atau meaningfull participation.

Secara umum ada empat argumentasi diungkapkan Prof. Benny yang menuntut KUHP zaman Belanda ini agar segera diganti. Pertama perubahan paradigma hukum dari paradigma retributif atau balas dendam dengan penghukuman badan, menjadi keadilan korektif (bagi pelaku), keadilan restoratif (bagi korban), serta keadilan rehabilitatif (bagi pelaku dan korban).

Kedua, RUU KUHP merupakan Amanah dari TAP MPR II/MPR/1993 tentang GBHN dan Undang-Undang 17 Tahun 2007 tentang RPJPN. Keduanya mengamanatkan mengganti peraturan perundang-undangan produk kolonial menjadi produk nasional.

“Ada Asas Hukum “Het Recht Hinkt Achter De Feiten Aan”, Hukum tertulis itu
 sering tertinggal dari fakta peristiwanya. KUHP ini usianya sudah lebih 107 tahun,” ujarnya.

Ketiga, secara politik hukum, KUHP (WvS), tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Indonesia, yaitu Pancasila. Serta keempat adalah RUUKUHP merupakan perwujudan reformasi system hukum pidana nasional yang menyeluruh berdasarkan nilai-nilai Pancasila, budaya bangsa dan HAM secara universal.

 

Keterangan Foto: Dialog Publik RUU KUHP di Hotel Rylich Panorama, Kota Sorong, Papua Barat, Rabu  (5/10/2022).InfoPublik/ Agus Siswanto.