PPATK Mendesak Penetapan RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana

:


Oleh Ahmed Kurnia, Kamis, 29 April 2021 | 23:19 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 300


Jakarta, InfoPublik – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kembali menyelenggarakan Legal Forum kali ini dengan tajuk “RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana, Pantaskah Masuk Prioritas?” di Jakarta, Kamis, 29 April 2021.

Pembahasan mengenai RUU Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana menurut Kepala PPATK Dian Ediana Rae sudah sangat mendesak karena mengingat semakin meningkatnya tindak pidana dengan motif ekonomi, termasuk korupsi, narkotika, dan tindak pidana pencucian uang. “Hal ini menuntut Pemerintah untuk melakukan upaya progresif baik dalam rangka pencegahan maupun pemberantasannya,’’ katanya.

Acara Legal forum ini juga menghadirkan pembicara Menteri Hukum dan HAM Yasonna H.Laoly, Jaksa Agung ST. Burhanuddin, Ketua Badan Legislatif DPR RI Supratman Andi Agtas, Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry dan Kepala PPATK Periode 2002-2011 Yunus Husein. Acara ini di buka oleh Menteri Kordinator  Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI Mahfud MD dan Kepala PPATK Dian Ediana Rae.

Lebih jauh, Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan Berdasarkan hasil pemantauan PPATK, diperoleh informasi, bahwa upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal, khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.

Permasalahan tersebut di atas dapat diselesaikan dengan penetapan RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana. ‘’Pemberantasan tindak pidana dengan motif ekonomi belum optimal karena Indonesia belum memiliki instrumen hukum memadai yang dapat memberikan efek jera atau deterrence effect kepada para pelaku kejahatan. Sehingga upaya memiskinkan koruptor baru sebatas wacana dan belum dapat terealisasi dikarenakan pelaku kejahatan memanfaatkan keterbatasan regulasi mengenai penyelamatan aset (asset recovery) hasil tindak pidana (proceed of crimes)”, ujar Dian.

Kini ini pemerintah tengah menggaungkan upaya pemberantasan yang berasal dari inisiasi PPATK denganh membangun sistem perampasan aset terkait tindak pidana atau yang dikenal dengan non-conviction based (NCB) yang diadopsi dari ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Dian menjelaskan perampasan aset terkait tindak pidana dalam RUU adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.

RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana memuat 3 (tiga) substansi utama, yaitu unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset. Salah satu upaya progresif dalam optimalisasi penyelematan negara tesebut adalah ketentuan mengenai unexplained wealth dimana Pemerintah dapat melakukan perampasan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana.

‘’Dengan ditetapkannya RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana dapat membantu pengembalian kerugian negara baik yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang,’’ jelas sosok yang memperoleh gelar doktor Bidang Hukum Ekonomi Universitas Indonesia itu.