- Oleh Eko Budiono
- Kamis, 17 April 2025 | 11:24 WIB
: Sejumlah pekerja memikul karung berisi beras di Gudang Bulog Pulo Brayan, Kota Medan, Sumatera Utara, Jumat (21/3/2025). Berdasarkan data dari Perum Bulog Kantor Wilayah Sumatera Utara, stok beras di wilayah tersebut saat ini tercatat sekitar 58.000 ton sehingga mencukupi untuk kebutuhan bulan puasa hingga Hari Raya Idul Fitri 2025. ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/foc.
Oleh Eko Budiono, Jumat, 11 April 2025 | 14:17 WIB - Redaktur: Untung S - 322
Jakarta, InfoPublik - Rencana penghapusan sistem kuota impor pangan harus dimaknai sebagai momentum untuk menemukan instrumen alternatif yang lebih efektif, dalam melindungi produsen domestik.
Pengamat pertanian, Khudori, menegaskan bahwa kebijakan itu bukan berarti membuka keran impor secara bebas, melainkan upaya memperbaiki sistem yang selama ini dinilai menyuburkan praktik korupsi.
Khudori menjelaskan bahwa rezim kuota impor telah menjadi biang masalah di sektor pangan. Berbagai kasus korupsi seperti impor bawang putih, daging sapi, dan gula mayoritas terjadi karena mekanisme kuota yang tidak transparan.
"Sistem ini membuka ruang bagi persekongkolan antara pemberi dan penerima kuota, biasanya melibatkan politisi sebagai perantara," ujarnya dalam keterangan resminya, Jumat (11/4/2025).
Mekanisme kuota melalui Surat Persetujuan Impor (SPI) sering dijadikan sebagai komoditas dagang terselubung. Khudori mencontohkan kasus impor bawang putih dimana fee kuota diduga mencapai Rp7.000-Rp8.000 per kilogram. Praktik semacam itu tidak hanya merugikan negara tetapi juga bertentangan dengan prinsip persaingan usaha sehat.
Namun di sisi lain, Khudori mengingatkan bahwa penghapusan kuota tanpa instrumen pengganti yang tepat akan membahayakan produsen lokal. Harga pangan global yang seringkali lebih murah karena subsidi dari negara produsen bisa membanjiri pasar dalam negeri dan mematikan usaha petani lokal.
Sebagai solusi, Khudori mengusulkan penerapan tarif impor yang sesuai dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mekanisme ini dinilai lebih transparan sekaligus bisa menjadi sumber pendapatan negara yang dapat dialokasikan untuk insentif bagi produsen lokal. "Dengan tarif yang tepat, kita bisa melindungi petani tanpa membuka celah korupsi seperti pada sistem kuota," jelasnya.
Kebijakan itu sejalan dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus kuota impor komoditas vital. Namun Khudori menekankan pentingnya desain mekanisme baru yang transparan, disertai pengawasan ketat untuk mencegah penyelundupan dan dukungan bagi peningkatan daya saing produk lokal.
"Penghapusan kuota adalah langkah berani menuju sistem yang lebih adil. Tantangannya sekarang adalah merancang instrumen pengganti yang efektif melindungi petani tanpa menimbulkan celah korupsi baru," pungkas Khudori.