- Oleh Dian Thenniarti
- Jumat, 14 Februari 2025 | 14:02 WIB
: Ilustrasi ChatGPT
Oleh Tri Antoro, Kamis, 16 Januari 2025 | 21:41 WIB - Redaktur: Untung S - 182
Jakarta, InfoPublik – Pemerintah Indonesia berhasil membuktikan diskriminasi Uni Eropa (UE) dalam sengketa dagang terkait kelapa sawit di Badan Penyelesaian Sengketa WTO (Dispute Settlement Body WTO).
Kemenangan ini tertuang dalam Laporan Hasil Putusan Panel WTO (panel report) yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025.
Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso (Busan), menyampaikan bahwa putusan ini menjadi dasar penting untuk memastikan kebijakan Uni Eropa terhadap sawit Indonesia lebih adil.
“Pemerintah Indonesia menyambut baik putusan WTO ini sebagai pengingat agar Uni Eropa tidak sewenang-wenang memberlakukan kebijakan diskriminatif dengan dalih isu perubahan iklim. Kami berharap negara mitra dagang lainnya tidak mengikuti langkah serupa yang berpotensi menghambat perdagangan global,” ujar Mendag Busan melalui keterangan pers, Rabu (16/1/2025).
Secara garis besar, Panel WTO menyatakan UE bersalah atas kebijakan diskriminatif yang merugikan Indonesia. Temuan penting dari laporan ini meliputi Pertama, diskriminasi terhadap produk biofuel sawit yaitu UE memberikan perlakuan kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan produk sejenis berbasis rapeseed, bunga matahari, atau kedelai yang berasal dari UE atau negara lain.
Kedua, Kesalahan dalam Data dan Proses Penentuan Risiko ILUC yaitu UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menetapkan biofuel sawit sebagai berisiko alih fungsi lahan tinggi (high ILUC-risk). Proses penyusunan kriteria dan prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II dianggap tidak transparan dan melanggar aturan WTO.
Terakhir, Kewajiban Memperbaiki Kebijakan yaitu UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan dalam Delegated Regulation yang dianggap bertentangan dengan aturan WTO.
“Indonesia melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk proteksionisme yang menggunakan isu kelestarian lingkungan sebagai alasan,” tambah Mendag Busan.
Indonesia pertama kali mengajukan gugatan kepada WTO pada Desember 2019 dengan nomor kasus DS593: European Union – Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels. Gugatan ini mencakup beberapa kebijakan UE, seperti:
Putusan Panel WTO ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut bersifat diskriminatif dan melanggar prinsip perdagangan bebas.
Berdasarkan aturan WTO, laporan Panel akan diadopsi dalam waktu 20—60 hari, kecuali ada keberatan dari pihak yang bersengketa. Setelah itu, UE wajib mematuhi putusan dan melakukan perubahan kebijakan sesuai rekomendasi WTO.
Mendag Busan menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia akan memonitor setiap perubahan regulasi UE untuk memastikan kepatuhan. Jika ditemukan pelanggaran, Indonesia dapat mengajukan compliance panel untuk menilai kesesuaian tindakan UE.
Selain itu, Indonesia akan terus memperjuangkan akses pasar kelapa sawit melalui berbagai forum perundingan internasional.
“Kemenangan ini adalah hasil kerja keras bersama, melibatkan kementerian, pelaku industri, asosiasi kelapa sawit, tim ahli, dan kuasa hukum pemerintah,” kata Mendag Busan.