Produktif di Lahan Sempit Dengan "Tajalamkar"

:


Oleh MC Kab Aceh Tengah, Minggu, 25 April 2021 | 16:00 WIB - Redaktur: Kusnadi - 1K


Catatan : Fathan Muhammad Taufiq *)

Masyarakat di daerah perkotaan yang tidak memiliki lahan pekarangan yang cukup luas, sudah lama mengenal budidaya tanaman dalam pot atau polybag besar. Dengan menggunakan pot atau polybag, lahan pekarangan yang sempit pun bisa dimanfaatkan untuk budidaya berbagai tanaman yang bermanfaat, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Sistem Tabulampot (Tanam Buah Dalam Pot), bukanlah sesuatu hal yang baru, bahkan sudah merata dilakukan orang hampir di semua lingkungan perkotaan. Dengan teknik pemupukan berimbang, tanaman buah seperti jambu, mangga, durian, jeruk dan sebagainya dapat berbuah meski hanya ditanam dalam pot. Bukan cuma bermanfaat dari hasil buahnya, tanaman buah dalam pot juga bisa menjadi hiasan cantik yang dapat memperindah pekarangan atau halaman rumah.

Begitu juga dengan budidaya sayuran dengan media hidroponik atau aquaponik dengan media pipa paralon, atau budidaya sayuran secara vertikultur dengan memanfaatkan rak-rak bertingkat yang terbuat dari bambu atau kayu, kini semakin populer. Sistem budidaya pada lahan sempit di perkotaan dengan berbagai media ini, sekarang dikenal dengan pola  urban farming atau pertanian perkotaan.

Wilayah Kabupaten Aceh Tengah sebenarnya tidak termasuk wilayah perkotaan, karena sebagian besar wilayahnya masih berupa kawasan perdesaan dengan lahan yang masih cukup luas. Namun pertumbuhan penduduk yang termasuk cepat di daerah ini, juga telah menyebabkan lahan untuk pemukiman menjadi semakin padat. Tidak semua rumah penduduk memiliki halaman atau pekarangan yang luas, sehingga agak sulit untuk memanfaatkan lahan pekarangan sebagai areal budidaya tanaman. Di sebagian besar pemukiman, khususnya yang ada di wilayah perdesaan, rata-rata memang meiliki halaman dan pekarangan yang cukup luas. Namun kebanyakan lahan pekarangan itu telah dimanfaatkan untuk budidaya kopi arabika, sehingga hanya sedikit lahan pekarangan yang tersisa untuk budidaya tanaman lainnya.

Kabuaten Aceh Tengah memang dikenal sebagai daerah penghasil kopi arabika terbesar di Aceh, bahkan di Indonesia, sehingga wajar jika sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan kebun kopi dengan bunga yang memutih bak hamparan salju, atau  sekali waktu terlihat hijau memerah seiring dengan mulai masaknya buah kopi.

Kenalkan Sistem Tajalamkar

Kalau di wilayah perkotaan, orang sudah lama mengenal system budidaya Tabulampot, di daerah berhawa sejuk ini ternyata juga ada kreativitasyang hampir sama dari  ibu-ibu yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT). Hanya bedanya, kalau Tabulampot adalah budidaya tanaman buah dengan media pot, yang dilakukan oleh para perempuan dari Kampung Pegasing, Aceh Tengah ini rada unik. Mereka tidak menggunakan pot sebagai media tanam, tapi menggunakan karung-karung bekas yang diisi tanah untuk budidaya tanaman. Uniknya, karung-karung bekas kemasan beras yang sudah diisi campuran dan tanah itu disusun berbanjar di sela-sela tanaman kopi yang ada di sekitar perumahan warga. Meski demikian keberadaan karung-karung itu sama sekali tidak mengganggu pertumbuhan tanaman kopi, karena sengaja dibuat agak berjarak dari batang kopi.

Yang dibudidayakan ibu-ibu KWT itu juga bukan tanaman buah, tapi tanaman Jahe Emprir (Jahe lokal). Mereka sengaja memilih komoditi ini karena harga jual jahe di daerah ini lumayan tinggi, satu kilogramnya bisa mencapai 20 – 30 ribu rupiah, tergantung kualitasnya.  Itulah yang membuat para perempuan itu tertarik untuk membudidayakan jehe meskipun hanya menggunakan media karung bekas. Jahe juga merupakan jenis rempah yang banyak digunakan sebagai bumbu masak atau bahan pembuat minuman penghangat tubuh, memang banyak digunakan oleh ibu-ibu disini, bahkan sudah menjadi salah satu kebutuhan penting rumah tangga.

Kenapa tidak menggunakan pot?, mungkin begitu pertanyaannya. Dan jawabannya juga cukup sederhana, harga pot terlalu mahal dan perawatan tanaman dalam pot juga agak sedikit rumit. Menggunakan karung bekas sebagai wadah tanam, tentu jauh lebih mudah dan murah, dan perawatannyapun jauh lebih sederhana. Karung bekas sangat mudah didapat, karena di setiap rumah pasti ada tersimpan dan kalaupun harus dibeli, harganya jauh lebih murah ketimbang pot. Untuk budidaya tanaman berumbi seperti jahe, media karung bekas juga lebih efektif, karena karung memiliki lubang pori-pori yang cukup, air tidak menngenang ketika disiram, sehingga kelembaban tanah bisa diatur.

Jadilah kreativitas yang dilakukan ibu-ibu kelompok tani wanita ini disebut Tajalamkar alias tanam jahe dalam karung. Masih terdengar asing memang, tapi kreativitas para perempuan di Dataran Tinggi Gayo ini ternyata sangat menguntungkan dari segi ekonomi. Pada setiap karung ditanam 2 sampai tiga rumpun jahe dan pada saat panen, ternyata setiap karungnya mampu menghasilkan 2 sampai 3 kilogram jehe. Bayangkan, jika ada seratus karung saja, setiap kali panen, mereka akan menghasilkan 200 – 300 kilogram jahe, kalau mereka jual dengan harga 20 ribu saja per kilogramnya, mereka bisa meraup hasil 4 sampai 6 juta rupiah. Budidaya jahe juga punya prospek ekonomi yang sangat baik, karena permintaan pasar akan produk ini terus mengalami peningkatan, dan selama ini sebagian besar dipenuhi dengan produk dari luar daerah, khususnya dari daerah Sumatera Utara.

Padahal untuk menanam jahe pada seratus karung tersebut, tidak butuh lahan luas, cukup dengan lahan 50 meter persegi saja.  Tanah humus yang subur serta pupuk kandang yang sangat mudah didapatkan di daerah ini, juga sangat membantu budidaya tajalamkar ini, sementara untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman juga tidak terlalu sulit, karena tanaman jahe nyaris jarang terserang hama atau penyakit tanaman, asal tetap terjaga kelembaban tanahnya. Dengan menggunakan media karung bekas ini, menyiangi tanaman atau membersihkan gulam pengganggu juga lebih mudah.

Cukup sederhana mungkin, tapi kreativitas yang sudah dilakukan oleh para perempuan di desa Pegasing ini seolah sudah mampu membuka mata kita, bahwa budidaya pertanian itu nggak butuh peralatan atau cara tanam yang rumit serta lahan yang luas. Buktinya, hanya dengan memanfaatkan karung-karung bekas dan lahan sempit di sela-sela tanaman kopi saja, mereka sudah mampu melakukan budidaya jahe dengan hasil yang sangat baik. Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan, begitu kira-kira prnsip mereka, dan mereka sudah membuktikannya sendiri. Dengan kreativitas sederhana itu, mereka ternyata mampu meraup rupiah yang tentunya akan sangat membantu perekonomian keluarga mereka. Wajar jika seorang penyuluh pertanian, Masna Manurung yang aktif mendampingi kelompok tani wanita tersebut mengungkapkan, kalau tajalamkar ini merupakan salah satu cara untuk mendongkrak kesejahteraan keluarga.

Sebuah kretaivitas yang bisa menjadi inspirasi untuk dicontoh atau dipraktekkan oleh perempuan-perempuan lain yang tinggal di wilayah perkotaan, bahwa budidaya jahe atau tanaman lainnya ternyata dapat dilakukan dengan sederhana, tanpa perlakuan rumit dan tidak butuh lahan yang luas, dan yang jelas kreativitas seperti ini sangat menguntungkan dari segi ekonomi.

*) Kasie Layanan Informasi dan Media Komunikasi Publik pada Dinas Kominfo Kabupaten Aceh Tengah, Peminat bidang Pertanian dan Kaetahanan Pangan.