172 Tahun, Burung Pelanduk Kalimantan Kembali Ditemukan

:


Oleh Wahyu Sudoyo, Selasa, 2 Maret 2021 | 22:00 WIB - Redaktur: Untung S - 470


Jakarta, InfoPublik - Diduga mengalami kepunahan sejak 1848 atau 172 tahun yang lalu, satwa endemik Burung Pelanduk Kalimantan (Malacocincla Perspicillata) kembali ditemukan oleh masyarakat.

Burung ini kembali dijumpai di Pulau Kalimantan tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada para citizen science, yaitu masyarakat yang bukan peneliti namun sukarela mengumpulkan dan menganalisa data ilmiah.

"Satwa liar akan sejahtera sepenuhnya apabila hidup di alam habitatnya, hal ini juga menegaskan bahwa pihaknya sangat memerangi perburuan ilegal satwa liar yang dilindungi," ujar Wiratno dalam Media Briefing virtual di Jakarta, Selasa (2/3/2021) 
 
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, pada Direktorat Jenderal KSDAE Indra Eksploitasia juga menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat di lapangan yang telah menemukan Burung Pelanduk Kalimantan dan telah memasukkannya ke jurnal ilmiah.

Tindakan masyarakat ini dinilai telah mengharumkan nama Bangsa Indonesia dalam ranah ilmu pengetahuan hewan.

Indra menjelaskan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Kebijakan Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, apabila ingin memasukkan spesies ini ke dalam spesies yang ingin dilindungi adalah jika telah memenuhi kriteria seperti mempunyai populasi yang kecil, ada penurunan dalam jumlah yang tajam pada jumlah individu di alam dan memiliki daerah penyebaran yang terbatas.

Sekedar informasi, Burung Pelanduk Kalimantan tersebar di daerah hutan tropis dataran rendah daerah wilayah Kalimantan. Satwa ini dinilai telah memenuhi kriteria wajib melakukan upaya pengawetan, dalam hal ini melakukan kebijakan konservasi untuk melakukan perlindungan total.

"Masih banyak hal yang dapat kita temukan dan kita gali informasinya terkait dengan Burung Pelanduk Kalimantan, beberapa informasi dapat kita jadikan dasar rujukan dengan bantuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk memberikan rekomendasi sebagai scientific authority kepada management authority untuk memasukkan burung Pelanduk Kalimantan sebagai spesies yang dilindungi," jelas Indra.
 
Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama, Balai Taman Nasional (TN) Sebangau, Teguh Willy Nugroho, menembahkan bahwa burung Pelanduk Kalimantan yang ditemukan sesuai dengan yang digambarkan oleh ahli ornitologi Prancis Charles Lucien Bonaparte pada 1850, berdasarkan spesimen yang dikumpulkan pada 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman Carl A.L.M. Schwaner selama ekspedisinya ke Kalimantan.

Sejak saat itu, kata dia, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan. Selain itu, asal muasal spesimen juga masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas. Spesimen inilah kemudian menjadi spesimen satu-satunya di dunia sehingga semua rujukan dan deskripsi morfologi burung mengacu kepada satu spesimen ini.
 
Menurut Teguh burung ini ditemukan oleh dua orang penduduk lokal di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan secara tak sengaja. Salah satu dari mereka merupakan anggota dari sebuah grup sosial media bernama Galeatus yang merupakan grup komunitas dan komunikasi mengenai seluk beluk burung.

Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait temuan tersebut. 
 
"Terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada saat ini diantaranya pada warna iris mata, paruh dan warna kaki. Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," ujar Teguh yang juga salah satu penulis makalah mengenai burung ini.
 
Teguh menyatakan temuan ini juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan. Menurutnya, pada kondisi pandemi COVID-19 seperti saat ini, sangat penting membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, terutama spesies penting yang memiliki sedikit data.

“Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” ungkap Teguh.
 
Sementara itu, Peneliti Muda pada pusat Penelitian Bologi LIPI Tri Haryoko juga pada saat Media Briefing menyebutkan hal yang perlu ditindaklanjuti adalah peranan citizen science yaitu masyarakat luas ikut terlibat dalam pengumpulan, pengarsip, analisis, dan berbagi data keanekaragaman hayati untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

"Meningkatkan kesadaran konservasi, kemudahan akses informasi, dan membangun basis data keanekaragaman hayati. Untuk tindakan selanjutnya perlindungan atau penelitian lebih lanjut," ungkap Tri. (Foto: Biro Humas KLHK)