Jalan Panjang UU Cipta Kerja

:


Oleh Taofiq Rauf, Senin, 26 April 2021 | 05:00 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 983


Jakarta, GPR News - Lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja bukanlah peristiwa satu hari semalam seperti kisah Bandung Bandowoso ketika membangun Candi Prambanan. UU Cipta Kerja lahir dari suatu proses panjang yang melibatkan beragam unsur pemangku kebijakan, akademisi, pengusaha, kalangan profesional, pakar, lembaga swadaya masyarakat, elemen buruh, hingga masyarakat di akar rumput.

Cipta Kerja keluar dari suatu kegelisahan mengenai be-ragam persoalan yang menghambat daya saing nasional. Upaya untuk mendongkrak investasi terganjal oleh tembok regulasi yang saling tumpang tindih. Akibatnya tak sedikit investor yang memilih menangguhkan menanamkan modalnya di tanah air.

Tercatat total ada lebih dari 43 ribu peraturan. Rinciannya, sekitar 8 ribu aturan pemerintah pusat, 14 ribu peraturan men-teri, 4 ribu Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan 16 ribu peraturan daerah. Hiperregulasi tersebut membuat daya saing nasional menjadi tertinggal.

Dengan beragam kompleksitas ini, tak ayal Global Com-plexity Indeks menaruh Indonesia sebagai negara nomor satu paling rumit dari sisi regulasi dan birokrasi pada Juni 2020 lalu. Selain Indonesia, empat negara lainnya yang berada di lima be-sar yakni Brasil (2), Argentina (3), Bolivia (4), dan Yunani (5).

Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan dalam HUT Partai Golkar ke-56 pada 24 Oktober 2020 lalu pun merasa prihatin dengan kondisi tersebut. “Prihatin sekali pada Juni (2020) lalu Indonesia ditempatkan nomor satu dalam Global Complexity Indeks. Artinya regulasi dan birokrasi Indonesia ditempatkan paling rumit di dunia, sekali lagi paling rumit di dunia,” ujar Presiden dalam pidato yang disiarkan di YouTube Sek-retariat Presiden seperti disimak GPR News.

Disinilah, kata Presiden, perlu ada sebuah reformasi struktural secara be-sar-besaran dan harus dilakukan segera meski negara sedang diterpa pandemi.

UU Cipta Kerja, kata Presiden, lahir dari kegelisahan tersebut. Jauh sebelum itu, Presiden telah mengungkapkan keprihatinannya ter-kait masalah ini. Pada Juni 2015, ketika tahun kedua di periode pertama pe merintahannya, Presiden Jokowi yang blusukan ke Pelabuhan Tanjung Priok geram dengan lama waktu bongkar muat barang. Lamanya bongkar muat menyebabkan kerugian tak sedikit mencapai Rp 780 triliun. Berbelitnya proses birokrasi dan perizinan ditengarai sebagai penyebab dari molornya dwelling time.

Pada Januari 2018, ketika memimpin rapat dengan kepala daerah, Presiden juga mengungkapkan keluhan serupa. Saat itu, presiden meminta agar kepala daerah tak berlomba-lomba membuat perda yang membuat investasi terhambat. Pada November 2019 saat Rakornas Indonesia Maju antara Pemerintah Pusat dan Forkopimda di Sentul, Jawa Barat, Presiden pun kembali memberikan pesan tak jauh berbeda agar kepala daerah dan DPRD tak buat banyak perda.

Pemerintah  bukan  diam  saja menyadari akan sumbatan ini. Sebanyak 16 paket kebijakan ekonomi diluncurkan untuk mendorong perekonomian dan daya saing nasional. Namun lagi-lagi persoalannya sama yakni terbentur oleh regulasi yang berbelit-belit.

 Di sisi lain, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Appindo) Haryadi Sukamdani melihat sebuah fakta yang mengkhawatirkan. Ia mengungkap fakta perbandingan investasi yang masuk dan tingkat penyerapan kerja sudah tak lagi proporsional.

Misal pada 2013, jumlah investasi yang masuk mencapai Rp 398,3 triliun dengan penyerapan 4.594 tenaga kerja. Sementara pada 2019 ada Rp 809,6 triliun investasi yang masuk, tapi hanya menyerap 1.227 tenaga kerja. Kondisi itu, kata ia,  tak terlepas dari aturan ketenagakerjaan lama yang terlalu kaku. Aturan melindungi pekerja, tapi tidak melihat tingkat keseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. “Jadi harus ada regulasi yang mendorong penyerapan tenaga kerja secara masif,” ujarnya dalam sebuah webinar.

Langkah nyata

Reformasi struktural mau tidak mau menjadi sebuah keniscayaan. Pemerintah mengusulkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja untuk ‘menyapu’ regulasi yang menghambat. RUU ini masuk ke  dalam 248 Program Legislasi Nasional Jangka Menengah pada 2020-2024. Rancangan aturan ini pun mulai dibahas sejak Desember 2019.

Pembahasan dilakukan lintas sektoral dan melibatkan beragam elemen. Pemerintah juga mendengarkan masukan dari kalangan akademisi dalam proses penyusunannya. Rektor  Universitas  Gadjah Mada Panut Mulyono, termasuk di antara akademisi yang dimintai pendapat.

“Kami terlibat dalam diskusi webinar baik dengan ibu Menaker atau dengan pak Menko Perekonomian Airlangga Hartarto,” ujarnya kepada GPR News belum Diskusi berjalan konstruktif dan ia memberikan sejumlah masukan agar aturan ini benar-benar bisa dirasakan positif buat masyarakat. Salah satunya yakni soal kemudahan dalam investasi.

“Kalau investasi di pertambangan dari modal luar negeri, yang harus diingat bahwa tenaga kerja harus dari sini, begitu juga industri pengolahan, jangan mengeruk hasil bumi di sini, tapi dibuatnya di tempat lain,” ujar Panut terkait masukannya kepada Pemerintah

Prinsipnya, jelas Panut, aturan yang dibuat harus menciptakan keuntungan dalam negeri. “Sekarang angkatan kerja kita sangat besar, setiap tahun perguruan tinggi kita ada wisuda. Kita punya banyak tenaga kerja, ahli insinyur atau juga ahli ekonomi,” katanya.

Panut sadar tak semua usulannya bisa langsung begitu diterima karena masih ada pendapat-pendapat dari pihak yang lain. “Ada juga masukan dari yang lainnya,” tuturnya. Seperti diketahui, pemerintah pada Desember 2019 telah me netapkan 127 anggota Satuan Tugas (Satgas) Bersama Pemerintah dan Kadin untuk konsultasi publik Omnibus Law yang terdiri dari perwakilan kementerian atau lembaga terkait, pengusaha, kepala daerah, akademisi dan tokoh masyarakat. Sejumlah rek-tor masuk dalam anggota Satgas tersebut.

Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan kepada GPR News, proses penyusunan UU Cipta Kerja telah melibatkan semua pihak terkait dan seluruh pemangku kepentingan, dan memberikan ruang yang luas untuk pelibat-an partisipasi publik. Adapun unsur yang terlibat langsung dalam penyusunan UU Cipta Kerja meliputi kementerian/ lembaga, praktisi, akademisi dari perguruan tinggi, pekerja/buruh yang diwakili serikat pekerja/ serikat buruh, dan pengusaha serta lembaga lainnya seperti lembaga swadaya masyarakat.

Misalnya dalam rumusan klaster ketenagakerjaan yang ada dalam UU Cipta Kerja saat ini merupakan inti sari dari hasil kajian pakar/ahli, focus group discussion (FGD), Rembuk Tripartit (pemerintah, pekerja/buruh dan pengusaha) yang dilakukan dalam beberapa kali pertemuan. "Bahkan pada saat UU Cipta Kerja telah masuk dalam tahap pembahasan di DPR," jelasnya.

Pemerintah juga membentuk tim independen yang bertugas untuk menyerap aspirasi publik terkait subtansi dari Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden sebagai turunan UU Cipta Kerja. Tim indepen-den terdiri dari pakar dan tokoh di masing-masing bidang. Dengan semua langkah itu, UU Cipta Kerja benar-benar menjadi sebuah beleid yang benar-benar matang karena memang lahir dari proses panjang.

Aturan ini dapat dijalankan secara baik di lapangan dengan tetap mengedepankan kepentingan masyarakat. Selain itu, UU Cipta Kerja juga akan mampu menyelaraskan gerak dan langkah pemerintah melalui sebuah regulasi yang dibuat secara komprehensif lintas sektoral. Tidak ada lagi tumpang tindih peraturan antarinstansi pemerintah atau, antara pusat dan daerah. Semua bergerak bersama untuk meningkatkan daya saing nasional.

ISTILAH Omnibus Law memang baru kali ini terdengar.

Omnibus Law mengacu pada upaya untuk merevisi undang-undang yang dilakukan secara massal dan lintas sektoral. Konsep ini telah digunakan di Amerika Serikat. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan awal mu-lai digunakan ide Omnibus Law untuk menderegulasi aturan yang menghambat.

Luhut mengaku ide ini tercetus ketika ia menjabat seba-gai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan pada 2016. “Waktu itu saya melihat betapa semrawutnya peraturan undang-undang kita, yang sekian puluh (ribu) itu satu sama lain saling tumpang tindih atau saling mengunci,” jelasnya dalam sebuah diskusi Outlook 2021: the Year of Opppurtunity pada 21 Oktober 2020 yang disimak GPR News.

Akibatnya, pelaksanaan program tak dapat berjalan dengan lancar, korupsi tinggi dan inefesiensi terjadi di mana-mana. Setelah itu, ia mengumpulkan sejumlah orang untuk membicarakan hal tersebut. “Waktu itu saya kumpulkan pak Mahfud MD, pak Jimly Asshiddiqie, pak Seno Aji, dan pak Sof-yan Djalil , dan dari kantor saya ada pak Lambok, untuk men-diskusikan masalah ini, karena kalau satu per satu direvisi gak tahu sampai kapan selesainya,” jelas Luhut.

Kemudian datanglah ide dari Sofyan Djalil (Menteri Agraria dan Tata Ruang) bahwa di AS ada istilah Omnibus Law. Omnibus ini, kata Luhut, tidak menghilangkan undang-undang, tapi lebih ke menyelaraskan aturan yang sudah ada jangan sampai tumpang tindih atau saling mengikat satu dengan yang lain.

“Namun karena kesibukan sana sini belum terjadi, baru mulai dibicarakan oleh presiden akhir tahun lalu (2019), Dan itu buahnya sekarang,” jelasnya. “Jadi itu proses panjang dan bukan proses tiba-tiba.”

Menko Polhukam Mahfud MD pun mempunyai cerita sama. Saat hadir dalam program Indonesia Lawyers Club yang diunggah di Youtube pada 20 Oktober 2020, Mahfud menceritakan soal pertemuan dengan Luhut yang mencari solusi atas semrawutnya perundang-undangan “Ketika pak Luhut jadi Menko Polhukam pada 2016, saya lalu ada pak Seno Aji juga diundang oleh Luhut. Disitu kita katakan sepakat Omnibus Law. Yaudah kita sepakat itu, Tapi tiba-tiba pak Luhut dipindah ke Menko Kemaritiman jadi macet itu,” jelasnya.

Mahfud pun menceritakan bagaimana rumitnya peraturan di tanah air, termasuk saat era Presiden SBY. Ketika Alwi Shihab di era SBY jadi duta besar, beliau berkeliling untuk urusan Timur Tengah membawa beberapa investor dari negara Orga-nisasi Kerja Sama Islam (OKI). “Ratusan juta dollar AS mereka datang ke sini mau investasi, diterima oleh Pak SBY, bagus bagus itu,” jelasnya.

Kemudian mereka juga diberi karpet merah oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun sesudah mau dieksekusi tidak bisa karena dianggap bertentangan dengan peraturan. “Ada masuk orang eselon dua itu bilang kepresnya gak boleh, jadi tidak jadi orangnya pada pulang.”

Begitu juga terjadi saat era Presiden Jokowi. Pada tahun kedua Presiden sempat berkunjung ke Tanjung Priok dan me-lihat lama waktu bongkar muat. Presiden minta diperingkas dari sebelumnya 7-8 hari menjadi 2-3 hari. Namun kesulitan karena terbentur oleh regulasi.

Oleh karena itu, Mahfud MD menyatakan bahwa penyederhanaan perizinan merupakan hal penting di Indonesia. Penyederahanaan diperlukan untuk mendongkrak daya saing nasional. Akhirnya, UU Cipta Kerja disahkan DPR pada 5 Ok-tober 2020, dan diundangkan pada 2 November 2020.

Foto: Antara

Peserta mengikuti pelatihan membatik di Desa Gondangmanis, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Senin (19/4/2021). Pelatihan membatik oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang diikuti 100 peserta anak muda itu untuk memberi ketrampilan membatik dan meningkatkan perekonomian para peserta serta untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/hp.

Baca dan download lengkapnya di Edisi 3 GPR News dihttp://www.gprnews.id/books/vpfj