Sekretaris Kemenko Perekonomian: UU Cipta Kerja Solusi Dongkrak Investasi

:


Oleh Taofiq Rauf, Senin, 26 April 2021 | 04:45 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 1K


Jakarta, GPR News - Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan aturan turunannya menjadi babak baru dalam reformasi struktural perekonomian di tanah air.  Aturan ini diharapkan mampu menciptakan iklim investasi yang positif khususnya bagi dunia usaha. Dengan begitu, beleid ini akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang lebih produktif, berdaya saing, adaptif dan inovatif.

Dalam wawancara dengan GPR News, Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso secara gamblang mengulas poin-poin penting dari aturan ini bagi Indonesia. Beleid yang menyempurnakan upaya yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya untuk mempermudah izin usaha, mendongkrak investasi, dan terbukanya lapangan pekerjaan. Berikut petikan wawancara;    

Bagaimana ide awal penyusunan Undang Undang Cipta Kerja? 

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappens) Tahun 2020-2024, pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi tumbuh rata-rata 6% (enam persen) dalam 5 (lima) tahun. Kemudian pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar 4 (empat) +/- 1% (satu persen). Dalam jangka panjang, transformasi ekonomi yang dilakukan pada2020-2024 akan membuat Indonesia keluar dari Middle Income Trap (MIT)  pada 2036.

Namun, guna mencapai tujuan tersebut, Indonesia masih harus menghadapi beberapa persoalan penting yakni rendahnya daya saing, perlambatan dan kurang meratanya pertumbuhan ekonomi. Ketiga persoalan itu antara lain disebabkan oleh iklim berusaha dan investasi yang tidak kondusif.

Padahal di sisi lain, Indonesia memiliki banyak potensi yang bisa dimanfaatkan oleh investor. Pertama sumber daya alam yang melimpah. Kedua, bonus demografi yang besar yang berimbas tersedianya tenaga kerja produktif yang besar. Ketiga, jumlah penduduk yang besar berpotensi menciptakan pasar yang besar.  Keempat yakni perbaikan infrastruktur yang kian memadai untuk menjangkau seluruh wilayah.

Rumitnya proses berinvestasi dan rendahnya daya saing Indonesia memerlukan langkah perbaikan di berbagai sektor. Perbaikan kebijakan untuk penyederhanaan prosedur termasuk penyederhanaan persyaratan perizinan, percepatan waktu, dan penurunan biaya untuk mendirikan, mengoperasikan, dan mengembangkan usaha telah dilakukan pemerintah sejak  2015 melalui kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).

Tak hanya bentuk PTSP, pemerintah gencar melakukan pemangkasan regulasi yang dianggap menghambat investasi melalui Paket Kebijakan Ekonomi (PKE). Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha.

Lalu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PP 24/2018) atau dikenal dengan nama Online Single Submission (OSS). Dengan peraturan ini, pemerintah memangkas izin yang semula berjumlah 537  izin menjadi 237 izin dan 362 nonizin menjadi 215  nonizin.

Persoalan selesai?

Pembentukan Perpres 91/2017 dan PP 24/2018 ternyata tidak dapat membenahi keseluruhan sistem perizinan karena persoalan normatif yang dihadapi lebih kompleks yakni bersinggungan dengan berbagai Undang-Undang yang memiliki dimensi perizinan.

Padahal, salah satu strategi pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi ini adalah melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan berusaha. Tujuannya menyelesaikan hambatan investasi, yakni panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih, dan banyaknya regulasi tidak harmonis.

Selain itu, masih ada persoalan ketenagakerjaan dan pemanfaatan Bonus Demografi. Ini menyikapi hasil Sensus Penduduk 2020 BPS, dari penduduk kita 270,20 juta, sebesar 70,72% adalah usia produktif.

Oleh karena itu, diperlukan deregulasi terhadap ketentuan mengenai perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) termasuk koperasi, pengadaan lahan, pengembangankawasan ekonomi, pelaksanaan proyek pemerintah, serta ketentuan mengenai administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi pidana yang diatur dalam berbagai Undang-Undang.

UUCK hadir sebagai sebuah solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Pemerintah mengundangkan 49 aturan pelaksana UUCK, bagaimana proses selanjutnya setelah aturan ini dibuat?

Secara umum, pelaksanaan peraturan perundang-undangan dapat dilihat dalam Ketentuan Penutup peraturan tersebut. Bicara peraturan pelaksanaan UUCK, hampir semuanya (PP atau Perpres) berlaku pada tanggal diundangkan. Artinya, peraturan tersebut mempunyai daya ikat pada tanggal yang sama dengan tanggal pengundangannya, yaitu 2 Februari 2021.

Namun, setelah diundangkan, perlu ditelaah dulu, apakah dalam peraturan pemerintah terkait, ada delegasi untuk membuat peraturan turunan yang sifatnya lebih teknis seperti Peraturan Menteri/ Peraturan Kepala Lembaga atau tidak.

Berdasarkan hasil hitungan tim Kemenko Perekonomian, ditemukan sekitar 443 Peraturan Menteri/Kepala Lembaga yang perlu dirancang oleh Kementerian/Lembaga terkait. Ini agar seluruh rangkaian “Cipta Kerja” ini dapat terlaksana dengan baik (implementatif).

Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dalam salah satu pasalnya, tepatnya Pasal 566 menyatakan bahwa pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko melalui Sistem OSS mulai berlaku efektif 4 (empat) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.

Meskipun demikian, keberadaan Pasal 566, tidak serta merta menegaskan daya ikat dari PP ini. Artinya PP Nomor 5 Tahun 2021 tetap berlaku sejak tanggal 2 Februari 2021. Namun agar implementatif, diperlukan aturan teknis yang mendukungnya.

Setelah aturan ini dibuat, apa dampaknya untuk iklim investasi dan perekonomian?

Akan berdampak signifikan bagi iklim investasi, terutama Ease of Doing Business (EODB), karena terjadi penyederhanaan persyaratan perizinan dasar dalam penerbitan perizinan berusaha. Penyederhanaan perizinan dasar ini mengurangi jumlah prosedur, mempercepat waktu dan mengefisiensi biaya. Hal ini tercermin dalam indikator memulai usaha, pendaftaran hak atas tanah, dan persetujuan mendirikan bangunan, yang semuanya di-reform melalui UUCK. Kemudahan ini tentunya akan sejalan dengan peningkatan investasi dan berdampak pada membaiknya perekonomian bangsa.

Target realisasi investasi pada 2021 sesuai Renstra BKPM sebesar Rp858,5 Triliun. Namun Bapak Presiden menginstruksikan BKPM agar realisasiini dapat menembus Rp900 Triliun. Dengan telah diimplementasikannya peraturan pelaksana UUCK berdasar pada sistem OSS berbasis risiko, tentunya semakin memudahkan pelaku usaha untuk berinvestasi. BKPM sendiri optimis bahwa target ini akan tercapai.

Imbasnya, tentu saja investasi-investasi ini akan dirasakan oleh masyarakat melalui pembukaan lapangan kerja dan berkurangnya tingkat pengangguran serta bergeraknya roda perekonomian melalui peningkatan baik dari sisi produksi maupun konsumsi terhadap produk/jasa dalam negeri.

Bagaimana mengantisipasi agar UUCK dan turunannya dijalankan sesuai dengan jalurnya?

Pada tataran operasionalnya, suatu sistem hukum merupakan rangkaian kompleks dimana struktur (structure), substansi, dan kultur saling berkaitan erat. Oleh karena itu, untuk menjelaskan latar belakang dan efek dari setiap bagiannya diperlukan peranan dari banyak elemen.

Agar suatu hukum atau peraturan dapat terlaksana dengan baik, diperlukan 3 (tiga) unsur pendukung di antaranya, legal structure, legal substance; dan legal culture.

Jika dikontekstualisasikan, legal structure berkaitan dengan subjek perancang peraturan tersebut, dalam hal ini legislatif dan eksekutif. Setelah selesai dengan UUCK, Pemerintah kemudian akan merancang sejumlah peraturan pelaksananya. Tujuannya agar aturan ini dapat implementatif dan mampu memberikan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat Indonesia (Legal Substance).

Kemudian, jika ditinjau dari segi Legal Culture, sejumlah peraturan yang telah dan tengah dibentuk perlu mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, agar tujuan dari dibentuknya peraturan tersebut dapat tercapai.

Oleh karena itu, sinergi antar Kementerian/Lembaga, pemangku kebijakan, dan tentunya masyarakat menjadi kunci agar UUCK beserta peraturan pelaksananya dapat implementatif. Pemerintah tentunya akan menyosialisasikan secara aktif kebijakan yang telah ditelurkan melalui UUCK beserta turunannya. Hal ini guna meningkatkan pemahaman yang utuh dari masyarakat secara luas.

Bagaimana respons dunia usaha, apakah sudah ada sinyal-sinyal investasi baru yang akan masuk?

Investor, baik dalam negeri maupun luar negeri, menyambut baik terbitnya UUCK dan peraturan pelaksananya. Karena pada dasarnya yang dibutuhkan investor itu adalah empat hal, yaitu kecepatan, kemudahan, efisien dan kepastian hukum. UUCK  beserta peraturan pelaksanaanya memastikan terciptanya kemudahan dan kepastian hukum bagi investor. Seluruh perizinan berusaha nantinya akan diterbitkan secara elektronik melalui OSS. Beberapa Lembaga dunia juga telah menyatakan apresiasinya terhadap UUCK ini.

Sinyal-sinyal investasi baru juga sudah terlihat seperti LG Energy Solution yang akan berinvestasi di industri baterai mobil listrik dengan nilai investasi sekitar USD9 miliar. Peningkatan investasi bahkan sudah terlihat meski UUCK belum bisa fully implemented.

Hal ini terlihat pada data investasi triwulan IV 2020. Sentimen positif dari investor terhadap UUCK berdampak positif pada meningkatnya investasi dari PMA sebesar 5,5% yoy dari sebelumnya Rp105,3 triliun pada 2019 menjadi Rp111,1 triliun pada 2020.

Serikat buruh klaim tak dilibatkan dalam pembuatan rancangan aturan? 

Pembuatan rancangan peraturan baik dalam tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksana keduanya melibatkan peran serikat buruh. Hal ini mengingat bahwa serikat buruh memiliki peranan penting agar implementasi peraturan mengenai ketenagakerjaan di dalam UUCK dapat terwujud.

Serikat buruh hadir dalam penyusunan rancangan peraturan seperti pada saat rapat koordinasi tripartit antara pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha dalam hal pembuatan rancangan peraturan pemerintah mengenai penggunaan tenaga kerja asing, pengupahan, PKWT, WKWI, Alih Daya, dan PHK, serta terkait Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Seluruh penyusunan keempatnya melibatkan serikat buruh sehingga masukan, kritik, dan saran terkait pengaturan dalam klaster ketenagakerjaan ditampung dengan baik selama proses penyusunan rancangan peraturan. 

Di sisi lain, keseluruhan proses dalam pembahasan UUCK, antara pemerintah dan DPR (baleg DPR), berjalan sangat transparan. Bahkan untuk pertama kalinya pembahasan suatu UU dilakukan secara terbuka dan disiarkan melalui kanal-kanal media sosial yang tersedia secara live.

Salah satu kekhawatiran para buruh yakni soal bebas masuknya TKA asing menyisihkan pekerja lokal, apakah benar hal itu?

Aturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing pada prinsip pelaksanaannya sangat memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri. Penggunaan tenaga kerja asing mensyaratkan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) sebagai dokumen yang wajib dimiliki oleh Pemberi Kerja yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia.

RPTKA dalam proses pengesahan yang dilakukan oleh Menteri/Pejabat yang ditunjuk melalui proses uji penilaian kelayakan yang dilakukan oleh Menteri/Pejabat yang ditunjuk. Jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya proses mempekerjakan tenaga kerja asing di dalam negeri pada UUCK dan aturan turunnya ini lebih ketat. Dengan kata lain tenaga kerja asing tidak bebas begitu saja dapat bekerja di Indonesia.

Selain itu, Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang akan dipekerjakan hanya dapat mengisi jabatan-jabatan tertentu yang selanjutnya akan ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan sehingga tidak seluruh jabatan yang ada dapat diisi dengan sendirinya oleh tenaga kerja asing. (Redaksi)

Foto: Sekretariat Kemenko Perekonomian

Baca dan download lengkapnya di Edisi 3 GPR News dihttp://www.gprnews.id/books/vpfj