Koto Tinggi, Potensi Ekonomi di Utara Sumbar

:


Oleh Taofiq Rauf, Selasa, 16 Februari 2021 | 03:17 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 1K


Jakarta, GPR News - Memasuki wilayah dalam teritori Kecamatan Gunung Omeh ini, mata pengunjung dimanjakan pemandangan hijau dan kuning ribuan pohon jeruk. Hijau daunnya berpadu apik memanjakan mata dengan warna kuning buah yang rasanya tak lama lagi akan mulai dipanen. Sapaan hangat dibarengi senyum tulus penduduk setempat, melengkapi sejuknya udara khas pegunungan, berada di 1.525 meter di atas permukaan laut, membuat suasana makin nyaman memasuki kota ini. Penatnya tubuh akibat perjalanan panjang sekitar 3 hingga 4 jam menggunakan kendaraan roda 4 dari Kota Padang, terobati.

Yazid (25) pegawai nagari setempat, menuturkan jika beberapa tahun belakangan, masyarakat lokal telah menjadikan jeruk sebagai komoditi usaha utama. Tak heran, hampir setiap pekarangan rumah, mudah ditemui pohon buah yang bibitnya dari Kuok Riau ini.

"Selain pekarangan rumah, penduduk di sini juga memiliki ladang jeruk. Umumnya ladang itu terletak di punggung bukit. Biasanya pohon jeruk diselingi dengan tanaman cabai," ujarnya kepada tim MMC seraya menunjuk ke arah bukit ladang jeruk yang terletak sekejap pandang.

Jeruk Gunung Omeh, begitu nama beken-nya, berbeda dari buah sejenis yang ada Indonesia. Selain besar dan manis, kandungan air juga banyak. Sudah tentu kadar vitamin C tinggi. Tak heran, permintaan konsumen cukup tinggi, baik itu dari Sumatra Barat maupun luar provinsi. Bahkan pangsa pasarnya, saat ini telah menembus negara tetangga, Singapura dan Malaysia. "Biasanya petani di sini menjual langsung ke agen. Merekalah yang nanti memasarkan keluar daerah. Untuk harga, menyesuaikan jumlah barang. Saat panen dan buah banyak, sekilo jeruk ini dihargai Rp8 ribu. Jika stok tak banyak, harga dua kali lipat, mencapai Rp 16 ribu perkilo," terang Yazid.

Tren agrowisata rupanya turut membius penduduk Koto Tinggi. Tak ingin ketinggalan, masyarakat ikut menggali dan mengembangkan potensi sektor ini. Beberapa anggota kelompok tani dan kelompok sadar wisata telah mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan pemerintah tentang bagaimana cara mengelola agrowisata dengan baik dan benar.  "Seharusnya, program agrowisata berjalan awal tahun. Pemerintah telah berjanji membantu sebagian infrastruktur. Cuma, pandemi menghambat itu semua. Untung masyarakat disini tak putus asa. Mereka tetap membangun sarana semampunya dengan swadaya sendiri," ujarnya.

Kampuang Sarugo

Andai ada pertanyaaan, apa ciri khas Minangkabau? Salah satu jawaban yang terpikir, Rumah Gadang. Ya, rumah ini merupakan identitas masyarakat Minang. Hampir di seluruh wilayah Sumatra Barat Rumah Gadang dapat dijumpai, terutama di pedesaan.

Kemajuan pariwisata ikut mempengaruhi fungsi Rumah Gadang di Nagari Koto Tinggi. Jika dahulu semata hanya digunakan sebagai tempat tinggal, musyawarah keluarga serta tempat mengadakan upacara, sekarang bangunan ini juga mulai dimanfaatkan sebagai penarik devisa daerah melalui kunjungan wisata.

Tak mau kalah dari daerah lain yang lebih dulu booming mengelola wisata sejenis, seperti Solok Selatan dengan Saribu Rumah Gadang, atau Sijunjung dengan Kampung Adatnya, pemerintah Nagari Koto Tinggi menyulap komplek rumah adat di kawasan Sei. Dadok, kini dijadikan daerah kunjungan wisata budaya. Kampuang Sarugo, demikian sebutan kawasan tersebut. Sarugo merupakan akronim saribu gonjong, yang dalam Bahasa Indonesia berarti seribu bubungan rumah berbentuk tanduk yang merupakan ciri khas Rumah Gadang.

Kampuang Sarugo menawarkan eksotisme khas alam pedesaan. Terletak di dataran tinggi, dibawahnya membentang hamparan sawah serta dua sungai yang bertemu membentuk Batang Sinamar. Saban sore, sungai ini ramai dikunjungi anak-anak untuk berenang.

Yazid menjelaskan, Kampuang Sarugo di-launching akhir Agustus 2019 silam. Ada 29 Rumah Gadang dengan ukuran sekitar 5 x 16 meter. Gonjong tiap rumah ada 5, mencerminkan Rukun Islam.

"Ketika akhir minggu, libur panjang atau panen raya jeruk, Kampuang Sarugo ramai dikunjungi wisatawan. Dari yang sekedar menikmati agrowisata jeruk, bermain di sungai sampai bermalam. Meski belum semua Rumah Gadang dijadikan homestay, minat wisatawan cukup tinggi untuk menginap. Alhamdulillah pemerintah daerah sangat membantu masyarakat dalam mengelola kawasan ini. Berbagai pelatihan digelar Pemkab Limapuluh Kota untuk meningkatkan SDM masyarakat setempat," tutur Yazid.

Layaknya daerah pedesaan, jaringan komunikasi di Koto Tinggi perlu menjadi perhatian pemerintah. Untuk kepentingan ini, hingga kini masyarakat mengandalkan perangkat wifi yang hanya dimiliki beberapa orang saja. Persoalan promosi, khususnya keluar daerah, tentu menjadi kendala dengan kondisi seperti ini.

Terima API 2020

Di tengah kondisi demikian saja, Kampuang Sarugo masih bisa masuk sebagai penerima Anugerah Pesona Indonesia (API) 2020 kategori Kampung Adat. Tak ingin tertinggal, Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Limapuluh Kota kemudian memfasilitasi pembuatan website dan media sosial Kampuang Sarugo, sebagai upaya lebih mengenalkannya ke seluruh Indonesia.

Selain keindahan alamnya, Koto Tinggi juga menyimpan sejarah yang tak terpisah dari perjalanan bangsa Indonesia. Tak banyak yang tahu, Nagari ini adalah Ibu Kota Republik Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948.

Struktur geografis yang strategis diyakini mempengaruhi keputusan pemimpin kala itu dalam mengambil kebijakan mengenai ibu kota negara. Tak ada bangunan bekas kantor PDRI yang bisa dijumpai saat ini, karena memang tokoh-tokoh bangsa kala itu selalu bergerak sebagai strategi perjuangan.

Metrial (43), tokoh masyarakat setempat menceritakan, di masa lampau, kakek serta kerabatnya terlibat dalam berbagai kegiatan PDRI. Bahu membahu bersama pemimpin-pemimpin bangsa kala itu mempertahankan kedaulatan RI.  Pada 22 Desember 1948, kata ia, Menteri Perekonomian Syafruddin yang saat itu sedang berada di Bukittinggi berinisiatif membentuk pemerintah darurat menyusul penahanan Soekarno dan Hatta oleh Belanda.  Atas saran Tan Malaka sebaiknya pemerintahan dijalankan di Koto Tinggi karena mempertimbangkan beberapa faktor seperti strategis, memiliki benteng yang kuat serta dekat dengan Riau dan Sumatera Utara.

Metrial pun turut menjelaskan perbedaan PDRI dengan PRRI agar masyarakat khususnya generasi muda tidak rancu. PDRI dan PRRI dua hal berbeda. Baik konteks maupun waktu. PDRI periode 1948-1949, sedangkan PRRI di tahun 1949-1950. PDRI merupakan penyelamat negara, sementara PRRI bentuk ketidakpuasaan atas pemerintah pusat.

Dua hari terasa tak cukup menjelajahi Nagari Koto Tinggi. Masih banyak objek lainnya yang menarik mata dan hati. Seperti Air Terjun Lubuk Bulan, Goa Imam Bonjol dan kawasan Mangani yang konon katanya merupakan ladang emas, mangan dan bahan alam berharga lainnya. Dilain waktu, petualangan ke Koto Tinggi harus dapat terulang kembali, semoga! (IS/EK/MMC Diskominfo/TR*)

Baca rubrik lainnya di :

https://komin.fo/AnginSegarBansos