Penggunaan Pestisida dan Pupuk Berlebihan Ancam Ketahanan Pangan

:


Oleh Baheramsyah, Selasa, 10 Juli 2018 | 00:46 WIB - Redaktur: Juli - 1K


Jakarta, InfoPublik - Penggunaan pestisida yang tidak bijak, serta pupuk yang berlebihan menimbulkan kerusakan tanah pada area yang luas, dan mengancam ketahanan pangan nasional.

"Diperkirakan sekitar 69 persen tanah Indonesia dikategorikan rusak parah karena penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan," kata Ratno Soetjiptadie, Senior Expatriate Tech-Cooperation Aspac FAO dalam Diskusi bertema Produktivitas Padi versus Importasi Beras, Ada Apa, yang digelar Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN) di Jakarta, Senin (9/7).

Menurutnya, ketahanan pangan (food securities) di Indonesia, selama 2015 - 2080 sangat rentan terhadap perubahan iklim. Sementara banjir, kekeringan, serangan hama, selalu dijadikan kambing hitam gagal pangan.

“Kita belum punya perencanaan. Kalau butuhnya 1 juta ton, mestinya produksi 1,5 juta ton sehingga ada stok 0,5 juta ton. Kita belum sampai ke sana,” ujarnya.

Selain itu, rendahnya sentuhan teknologi oleh petani, lantaran minimnya ilmu pengetahuan. Petani tidak dapat mengukur Ph tanah atau obat-obatan apa saja yang tidak boleh digunakan. Kemudian petani tidak bisa memilih benih unggul.

Bahkan, lanjutnya, ada petani di Kerawang memberikan pupuk pada tanaman padi hingga 1 ton. Petani beranggapan bahwa diberi input 1 kg, maka ada kenaikan produksi. “Akibatnya biaya produksi beras di Indonesia cukup tinggi, dan salah satu kontribusinya dari pembelian pupuk,” terangnya.

Ratno mengatakan, biaya produksi beras Indonesia sebesar Rp5.900 per kilogram (kg), Vietnam Rp2.300 per kg, Australia Rp1.800 per kg dan Amerika Serikat Rp900 per kg.

“Ditakutkan jika tidak dilakukan terobosan, Indonesia akan tetap impor beras. Sementara sekitar 40 juta petani padi di Indonesia, menghidupi penduduk 240 juta jiwa itu riskan,” ujar Ratno.

Dia menambahkan, apabila petani merugi, maka akan beralih profesi. “Sehingga siapa yang akan menanam padi. Untuk itu, perlu ada program perbaikan tanah secepatnya atau Soil Amendment Programme (Program Pembugaran Tanah) dengan memperbaiki sifat biologi tanah,” tuturnya.

Selama ini menurutnya, Indonesia hanya memerhatikan sifat fisika dan kimia, sementara aspek biologi tidak pernah dipikirkan. "Nenek moyang kita zaman dahulu tidak ada pupuk, tapi bisa menanam dan panen. Pada saat intensif menggunakan pupuk, produksi malah turun atau terjadi gagal panen,” ujarnya.

Solusinya kata dia, dalam membangun pertanian harus berkelanjutan, dan tidak bisa hanya lima tahun. “Ganti pemerintahan, ganti kebijakan, yang bisa menyelamatkan negara ini adalah sektor pertanian dan perikanan,” terangnya.