Kementan Bantah Anggarannya Tak Dinikmati Petani

:


Oleh Baheramsyah, Kamis, 5 Juli 2018 | 15:35 WIB - Redaktur: Juli - 604


Jakarta, InfoPublik  - Kementerian Pertanian (Kementan) membantah pernyataan yang menyebutkan anggaran 2017 sebesar Rp103,1 triliun atau naik 53,2 persen dari tahun sebelumnya tidak sepenuhnya dinikmati petani miskin.

Pernyataan tersebut menilai Tukar Petani (NTP) saat ini merosot dibanding era sebelumnya yakni dari 101,98 menjadi 100,71. Indikator lainnya naiknya 4 komoditas utama, daging sapi 16,5 persen, beras medium 18,9 persen, gula pasir 19,7 persen dan bawang merah 19,7 persen.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan, pernyataan tersebut tidak benar karena melihat kondisi tidak secara holistik. Pasalnya, secara bertahap, program kebijakan pemerintah di sektor pertanian di era Nawacita mulai menunjukkan hasil.

“Berdasarkan data BPS, produksi Gabah Kering Giling (GKG) di 2015 mencapai 75,55 juta ton, meningkat 4,66 persen dibandingkan 2014 sebesar 70, 85 juta. Pada 2016 produksi mencapai 79,1 juta ton, tahun ini juga tercatat untuk pertama kalinya Indonesia berswasembada beras setelah 32 tahun,” kata Kuntoro Boga dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Kamis (5/7).

Ia menyebutkan peningkatan produksi juga terjadi pada komoditi bawang merah dengan capaian 1,29 juta ton meningkat sebesar 5,74 persen dibandingkan 2015 yang mencapai 1,22 juta. Sama halnya dengan bawang, untuk komoditi cabai produksi di 2016 produksi mencapai 78.167 ton, sedangkan kebutuhan 54.346 juta ton. Produksi jagung pun demikian, naik 4,2 juta ton atau 21,9 persen. Peningkatan produksi jagung ini setara Rp13,2 triliun.

"Dengan demikian Kementerian Pertanian mampu memenuhi ekspektasi target swasembada hanya dalam 2 tahun. Di 2016 pemerintah mengambil kebijakan yang berpihak kepada petani dengan tidak mengeluarkan rekomendasi impor, beras, cabai, dan bawang merah," jelasnya.

Lebih lanjut Boga menegaskan peningkatan produktivitas pertanian rupanya memengaruhi Indeks Ketahanan Pangan Indonesia. Hasil kajian yang dirilis tiap tahun oleh The Economist Inteligence Unit (EIU), Global Food Security Index-GFSI, atau Peringkat Ketahanan Pangan Indonesia terus membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Dari 113 negara yang dikaji, pada 2017 Indonesia menempati ranking ke 69 dengan skor 51,3 dan naik 0,2 poin dibanding pada tahun 2016 yang menempati posisi 71 dengan skor 51,1,” tegasnya.

Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Kementerian Pertanian RI Ketut Kariyasa mengatakan, pada aspek ini, posisi Indonesia berada di atas Thailand, Vietnam, Myamar, dan Philipina. 

"Walaupun tidak terjadi perbaikan skor, yaitu tetap 44,1; tetapi posisi aspek kualitas dan kemanan pangan Indonesia juga meningkat dari 87 pada 2016 menjadi posisi 86 pada 2017," jelas Ketut.

Peningkatan produksi pun diikuti dengan peningkatan daya beli petani, yang secara tidak menjadi indikator terjadinya peningkatan kesejahteraan petani. Berdasarkan data yang dirilis BPS, secara nasional pada Mei 2018 indeks NTP meningkat 0,37 persen jika dibanding April yang hanya 101,61. Begitu juga indeks NTUP meningkat 0,32 persen dari 111,03 pada April 2018 menjadi 111,38 pada Mei 2018.

"Kenaikan NTP dan NTUP ini menunjukkan membaiknya daya beli petani yang secara otomatis menunjukkan kesejahteraan petani membaik. Meningkatnya daya beli petani juga terjadi jika dibandingkan pada tahun sebelumnya (Mei 2017). Pada tahun Mei 2017, indeks NTP hanya 100,15, sementara pada Mei 2018 lebih besar, yaitu 101,99,” imbuhnya.

Terbukti, sambung Ketut, kesejahteraan petani selama ini dapat dilihat dari menurunnya secara konsisten jumlah penduduk miskin di perdesaan baik secara absolut maupun persentase, walaupun penurunannya tidak sedrastis di wilayah perkotaan. Pada September 2015, jumlah penduduk miskin di perdesaan sebanyak 17,89 juta jiwa atau 14,09 persen dan pada September 2016 turun menjadi 17,28 juta jiwa atau 13,96 persen dan pada September 2017 turun lagi menjadi 16,31 juta jiwa atau 13,47 persen.

“Membaiknya kesejahteraan petani juga dapat dilihat dari berkurangnya ketimpangan pengeluaran (menurunnya Gini Rasio) yang juga mencerminkan semakin meratanya pendapatan petani di pedesaan,” tambahnya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak Maret 2015 sampai Maret 2017, Gini Rasio pengeluaran masyarakat di perdesaan terus menurun, dari 0,334 pada tahun 2015 menjadi 0,327 pada 2016 dan menurun lagi menjadi 0,302 pada 2017.