Aroma Kembang Makam di Pasar Klandasan

:


Oleh MC KAB BINTAN, Selasa, 27 Maret 2018 | 07:00 WIB - Redaktur: Elvira Inda Sari - 1K


Awan hitam masih berkumpul di atas langit. Namun sisa rintik-rintik air dari derasnya hujan di tengah hari masih dirasakan para pedagang dan pengunjung pasar. 

Waktu menunjukkan pukul 13.30 WITA. Sebagaimana pasar tradisional pada umumnya, hiruk pikuk perbincangan dan proses tawar menawar harga pun dirasakan di Pasar Klandasan, Kecamatan Balikpapan Kota, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

Adalah Suyah, 51, warga Klandasan Ulu yang sehari-hari menjajakan dagangannya tepat di muka Gerbang II Pasar Klandasan. Perempuan paruh baya itu sudah menjadi pedagang selama 10 tahun sejak menetap di Kota Balikpapan. 

Menggunakan sebuah meja reot yang terbuat dari papan triplek berukuran panjang 1,5 meter, pada Kamis (22/3) yang mendung itu, Suyah berusaha merapikan barang dagangannya dari terpaan rintikan hujan yang tersisa.

Tidak dapat dipungkiri, ada sesuatu hal yang menarik perhatian ketika melihat barang dagangan yang dijualnya. Tumpukkan bunga dan dedaunan berjejer di atas nampan-nampan berukuran sedang. Mulai dari bunga kembang, bunga kertas, kembang melati sampai irisan daun pandan yang memenuhi meja dagangannya, menjadi magnet tersendiri bagi setiap mata yang memandang. 

Bukan hal yang tabu, tetapi suatu keunikan untuk tak mengatakan ketidaklaziman ketika menjajakan kembang makam di hari-hari biasa.

Perlahan Suyah mengisahkan kondisinya. Keadaan ekonomi dan kebutuhan hiduplah yang memaksa dirinya menjajakan kembang makan di salah satu pasar tradisional ini. 

"Kalau ditanya kenapa (berdagang kembang), ya saya cuma bisa bilang yang penting halal. Susah mau cari kerja sekarang. Walaupun hasilnya pas-pasan selagi bisa saya kerjakan, saya kerjakan," papar perempuan asal Madura ini.

Ketika menginjak usia dewasa, ia mulai berpindah-pindah ke berbagai daerah untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan, kesulitan mencari pekerjaan akhirnya membuatnya memutuskan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia selama sembilan tahun. 

Namun masalah status legalitas dan perizinan membuatnya dideportasi, sampai akhirnya menetap di Balikpapan. Ia tinggal di rumah kontrakan bersama anak dan cucunya.

"Sembilan tahun saya kerja di Malaysia, capek dikejar-kejar terus kalau malam. Kalau ada pemeriksaan harus sembunyi dulu di tempat bos. Saya enggak masalah jualan kembang begini. Hasilnya sedikit tapi tenang. Sudah tua begini juga mau ngapain lagi saya. Yang penting bisa makan, bisa bayar rumah," imbuh Suyah sambil melinting daun nipah kering yang kemudian menjadi sebatang rokok.

Dengan modal Rp250 ribu sebulan ia gunakan untuk membeli aneka bunga dan dedaunan. Untuk satu bungkus dibanderol Rp10 ribu. Setiap hari Suyah menghasilkan Rp30 ribu-Rp50 ribu. Namun tak jarang ia pulang dengan tangan hampa karena dagangannya tak laku.

"Tidak perlu cari kaya. Asalkan bisa makan dan buat bayar uang kontrakan, itu sudah cukup. Saya sadar tak mungkin bermewah-mewahan karena sekolah saja tidak tamat. Toh kalau bulan puasa (Ramadan) juga ramai yang beli. Alhamdulillah kalau Lebaran bisa beli baju baru untuk cucu," ujar Suyah.

Baginya, hidup ini bukan untuk berlomba mengejar dunia. Saat seseorang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling pokok, sejatinya itu semua telah lebih dari cukup.

Penulis: Zoko Syahputra

Peserta Bimbingan Teknis Pengelola Media Center Kementerian Komunikasi dan Informatika