Saksi Ahli Eks HTI Gagal Buktikan Objek Sengketa

:


Oleh Untung S, Kamis, 15 Februari 2018 | 16:31 WIB - Redaktur: Juli - 510


Jakarta, InfoPublik - Kuasa Hukum pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM menyatakan, saksi ahli yang dihadirkan eks organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah gagal membuktikan objek sengketa terkait Surat Keputusan (SK) Kemenkumham atas pembubaran HTI.

Sidang gugatan SK Menteri Hukum dan HAM tentang pembubaran HTI, kembali digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Kamis (15/2).

Tim Kuasa Hukum Kemenkumham yakni Hafzan Taher, I Wayan Sudhiarta, dan Teguh Samudera mewakili tergugat mengikuti sidang yang mengagendakan mendengarkan keterangan saksi ahli hukum administrasi (HAN) yang dihadirkan oleh eks HTI sebagai penggugat. 

"Dalam sidang kali ini, pihak penggugat mendasari gugatannya dari aspek hak asasi yang sebetulnya ini bisa dibatasi. Hal itu juga sesuai dengan UU no 16 tahun 2017. Artinya, UU no 16 tersebut diakui keberlakuannya. Surat Keputusan (SK) pembubaran HTI juga sudah memenuhi tiga unsur yakni, ada pejabat yang berwenang, sesuai aturan hukum, dan substansinya tidak bermasalah, jadi saksi ahli telah gagal membuktikan objek sengketa," kata Wayan.

Dia melanjutkan, ada asumsi-asumsi dari saksi ahli yang di luar konteks, tidak akademis dan tidak praktis. Bahwa dikatakan SK Kemenkumham itu berlaku surut, Wayan menegaskan itu tidak benar. 

Dia kemudian mempertanyakan soal pengujian yang bersifat ex tunc. Zainal Arifin selaku saksi ahli, kata Wayan, akhirnya mengakui bahwa ex tunc itu SK Kemenkumham yang didasarkan pada fakta yang sudah ada dan sedang ada. 

“Memang begitu dan itulah yang diuji dalam praktik dan dia mengakui. Tapi saksi ahli tidak bisa menjawab apa bedanya ex tunc dan ex nunc. Padahal, dia ahli administrasi,” ucapnya. 

Karena, sambung Wayan, ex nunc itu putusan yang didasarkan pada kejadian setelah SK keluar dan  tidak mungkin dijadikan obyek sengketa. Maka sudah benar, kalau SK kemenkumham itu didasarkan pada fakta yang sudah ada dan fakta sebelumnya. “Itulah pengujian yang bersifat ex tunc,” jelas Wayan. 

Sidang kali ini juga bersifat ex tunc sebab menguji berdasarkan SK di mana SK-nya didasarkan pada yang sudah ada dan pada waktu itu sedang berlangsung. Lebih menarik lagi, kata Wayan pasal 55 ayat 1. 

Dia menilai, barangkali saksi ahli yang dihadirkan eks HTI ini lalai atau tidak mengerti kalau ada pasal 55 ayat 2. Pasal tersebut memungkinkan penjelasan terperinci bisa dijelaskan lebih lanjut di luar SK. 

Ada dua kekuatan dari SK Kemenkumham ini. Pertama di bagian mengingat dan menimbang, berdasarkan pemahaman para ahli, kata Wayan, SK tersebut sudah memenuhi unsur-unsur logis, yuridis, dan filosofisnya. 

Alasan yang menurut Wayan tidak bisa dibantah oleh saksi ahli adalah kalau pengesahan SK Kemenkumham ini tidak berisi unsur-unsur tersebut, berarti kata dia, argumen saksi ahli sendiri yang mewajibkan adanya unsur-unsur tersebut. 

Argumentasi saksi ahli semakin rapuh ketika Wayan melempar pertanyaan bagaimana soal ayat 2 yang berisi penjelasan lengkap. Pernyataan Menkopolhukam di televisi menurutnya juga sudah termasuk penjelasan rinci. 

“Yang ahli dan tahu persis ilmu perundang-undangan itu Kemenkumham. Nanti dalam penjelasan berikutnya, Menkumham akan jelaskan secara rinci,” ujar Wayan di hadapan sejumlah awak media.

Selain Wayan, Teguh Samudera juga membenarkan bahwa dalil-dalil yang digunakan Kemenkumham dalam perkara pembubaran HTI ini sudah benar. Sebab saksi ahli mengakui bahwa tergugat (Kemenkumham) mempunyai kewenangan dan mencabut badan hukum yang telah diberikan kepada HTI. 

Dilihat dari sisi administrasi negara, kata Teguh, kontennya juga merupakan wewenang dari Kemenkumham. 

Kemudian Teguh menanyakan kepada saksi, apakah ada dasar hukum yang digunakan Kemenkumham untuk mencabut status badan hukum HTI bertentangan dengan undang-undang administrasi negara. Saksi tidak bisa menjawab karena kata Teguh, memang tidak ada. 

Fakta lainnya saksi ahli juga mengatakan bahwa asas kebebasan dan perlindungan hak asasi manusia itu ada batasannya, yakni pasal 28 J. Sehingga, sambung Teguh, ketentuan perundang-undangan yang membatasi kebebasan dan hak asasi seseorang itu sah-sah saja.

“Dari fakta tersebut, sengketa masalah tone-nya sudah jelas. Penggugat tidak bisa membuktikan keabsahan obyek dari sengketa ini,” tutupnya. 

Sidang kali dipimpin oleh Hakim Ketua Tri Cahya Indra Permana dan dua hakim anggota. Nampak pula Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum dari pihak penggugat. Sidang lanjutan akan diagendakan pekan depan.(md/tm)