Europalia Arts Festival Mengubah Pandangan tentang Multikulturalisme

:


Oleh Astra Desita, Jumat, 29 Desember 2017 | 06:53 WIB - Redaktur: Juli - 581


Jakarta, InfoPublik - Europalia Arts Festival Indonesia telah berlangsung 80 hari dari 104 hari yang direncanakan Indonesia, sebagai negara tamu ke-19, tampil di Belgia, Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Polandia, dengan karya seni dan seniman dalam bidang seni rupa, seni pertunjukan, musik, satra, dan film serta juga komik dan warisan budaya.

Tiga pameran utama terus memukau pengunjung, puluhan diskusi, mengakrabkan publik Eropa dengan kebudayaan Indonesia. Sudah 195 acara dari 227 yang dijadwalkan telah dihgelar. Sebagian besar dari 316 seniman telah hadir dan kembali ke Indonesia.

"Sudah waktunya kita membahas manfaat yang kita bawa dari Europolia," tutur Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud Hilmar Farid, di acara Taklimat Media, di Gedung A Kemendikbud Senayan Jakarta, Kamis, (28/12).

Manfaat ini kata dia terkait dengan tujuan menjadi negara tamu Europalia, yaitu memperkenalkan Bhinneka Tunggal Ika di Eropa dalam wujud kesenian .

"Kita tahu, Eropa sedang menghadapi persoalan dengan keanekaragaman budaya yang "mendadak" menjadi semakin kompleks. Kesenian menjadi salah satu platform untuk mengolah keanekaragaman tersebut dan di dalam hal ini keanekaragaman budaya Indonesia yang terpatri dalam konstitusi dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika kita menjadi tawaran ideologis yang menarik.

Menurut Hilmar, tawaran ini tidak bertepuk sebelah tangan. Beberapa kota seperti Deventer di Belanda ataupun bagian kota seperti Stroombeek di sekitar Brussels tertarik cara Indonesia mengelola perbedaan melalui kesenian. Banyak organisasi yang mengutamakan multikulturalisme dalam program kegiatannya, baik swasta maupun LSM, yang tertarik cara Indonesia mengelola dinamika antara tradisi dan pembaruan.

Kelanjutan Europalia Arts Festival Indonesia

Selain berbagi bidang kesenian yang telah menampilkan seni dan seniman Indonesia, masih ada film yang sebagian besar acaranya akan berlangsung pada Januari 2018. Bidang ini menghadirkan berbagai tema, mulai dari kondisi anak di perkotaan hingga politik, dan kesenian.

"Film populer seperti Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi diputar dan dibahas, terutama di Belgia, tetapi hadir pula film dokumenter dan film-film lainnya," kata Hilmar.

Hilmar menambahkan, ada manfaat langsung yang diperoleh para seniman Indonesia dari keikutsertaan mereka dalam Europalia Arts Festival. Antara lain Jompet Kuswidananto mendapat permintaan untuk memperpanjang pameran instalasinya. Pameran karya instalasi bambu Eko Prawoto berbuah minat dari Verbeke Foundation (yayasan Seni Belgia yang mengutamakan keseimbangan ekologis) untuk mengadakan instalasi baru dengan bambu-bambu dari karya Eko.

"Europalia Arts Festival Indonesia juga membuka berbagai pintu bagi seniman-seniman Indonesia yang telah berkiprah di Eropa, seperti misalnya Frendry Ekel yang akan berkolaborasi dengan mantan gurunya dari Belanda di  CC Stroombeek, Belgia," ujar Hilmar.

Dilain pihak kata Hilmar, ada juga perkembangan menarik yang dapat dikatakan merupakan manfaat langsung dari Europalia Indonesia, yaitu mapannya formasi Indische Party dan Flower Girls yang dibentuk khusus untuk Europalia Arts Festival Indonesia, didorong oleh David Tarigan yang juga tampil yang juga tampil di sana. Sukses yang mereka raih, termasuk pemberitaaan Internasional yang positif menjadi "modal" untuk meneruskan perjalanan mereka sebagai grup musik populer Indonesia," katanya.

Manfaat Europalia Art Festival Indonesia

"Belum usai, sehingga belum dapat dipastikan manfaat Europalia bagi kesenian dan kebudayaan Indonesia. Akan tetapi, saya kira, manfaat utama yang kita peroleh dan perlu saya tegaskan "kita" karena maksudnya adalah kita sebagai anak bangsa Indonesia, adalah perubahan pandangan publik Eropa tentang Indonesia," kata Hilmar.

Menurut Hilmar, yang belum kenal, jadi kenal keanekaragaman Indonesia. Yang sudah kenal, namun memiliki pandangan terbatas, mulai paham multikulturalisme Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

"Tidak mudah mewujudkan ideologi keanekaragaman budaya dalam kesenian. Indonesia mampu melakukan secra organik, hampir natural, seolah-olah tanpa upaya yang khusus dan tanpa beban. Publik eropa kini tahu, bagaimana kita melakukannya sambil tersenyum," pungkas Hilmar Farid.