Kementan Siapkan Tujuh Langkah Strategis Dalam Pengendalian AMR

:


Oleh Baheramsyah, Senin, 20 November 2017 | 12:14 WIB - Redaktur: Juli - 462


Jakarta, InfoPublik -  Isu Resistensi Antimikroba atau Antimicrobial Resistance (AMR), menjadi perhatian semua pihak baik di lingkup kesehatan manusia, lingkungan, perikanan dan tentunya di sub sektor peternakan dan kesehatan hewan.

Untuk merespon ancaman AMR tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) telah menyiapkan tujuh langkah strategis dalam upaya pengendalian AMR. 

Tujuh langkah strategis tersebut, antara lain, pertama dari sisi regulasi, melakukan pelarangan penggunaan antibiotik sebagai growth promoter. Kedua terlibat dan berperan aktif dalam pembuatan dan menyepakati NAP (Nasional Action Plan atau Rencana Aksi Nasional) penanggulangan AMR bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertahanan, BPOM dan beberapa Kementerian serta lembaga pemerintah lainnya  dalam kerangka pendekatan One Health. 

Ketiga memulai surveilans Resistensi Antimikroba di wilayah kerja Balai Veteriner Subang (Jawa Barat, Banten dan Jabodetabek); keempat, melakukan pilot survey penggunaan antimikroba (AMU = Antimicrobial Usage) di tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pada 360 peternakan ayam pedaging (Broiler); Kelima melakukan Kuliah Umum (Studium General) untuk meningkatkan kesadaran penggunaan antibiotik yang bijak dan bertanggung jawab di beberapa fakultas kedokteran hewan (IPB, UNAIR UNHAS, UGM, dan UDAYANA pada tahun ini); Keenam merancang pembuatan Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA), dan ketujuh penyusunan Permentan untuk Pengendalian Resistensi Antimikroba., , 

Direktur PKH Syamsul Ma’arif menjelaskan, bahaya resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, penerapan biosecurity dan higiene sanitasi, serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. 

"Kita harapkan dengan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah akan efektif untuk menjawab tantangan ancaman resistensi antibiotik", ujarnya pada acara Sarasehan dengan Peternak dengan Tema “Penggunaan Antibiotik Yang Bijak Menghasilkan Produk Unggas Yang Sehat, Minggu (19/11).

Syamsul Ma’arif menyampaikan, Resistensi Antimikroba menimbulkan ancaman kesehatan global yang signifikan terhadap populasi di seluruh dunia. “Dengan perkembangan global, mikro-organisme resisten dapat menyebar dengan sangat cepat, sehingga tidak ada negara yang terhindar dari masalah resistensi antimikroba," ungkapnya. 

Menurut Syamsul Ma’arif, acara Sarasehan ini merupakan upaya pemerintah dalam menyebarkan informasi secara luas kepada Stakeholder terkait tentang pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak dan bertanggung jawab untuk mengendalikan resistensi antimikroba, serta dampak yang mungkin ditimbulkan.

Selain itu juga untuk memperkuat pemahaman tentang pentingnya peran Good Farming Practices (implementasi biosekuriti 3 zona, vaksinasi, higiene dan sanitasi), sehingga dapat mengurangi kejadian penyakit dan penggunaan antibiotic. 

“Selanjutnya kami juga ingin mempromosikan tentang produksi unggas yang sehat dan berkualitas yang mempunyai jaminan keamanan pangan untuk konsumsi manusia, sekaligus mensosialisasikan untuk mendukung upaya pemerintah dalam pelarangan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (AGP)," ujarnya.

Lebih lanjut Kasubdit Pengawasan Obat Hewan Ni Made Ria mewakili Direktur Kesehatan hewan menyampaikan kepada para pelaku usaha untuk menghentikan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan atau Antibiotic for Growth Promoter (AGP).

“Regulasi ini sebagaimana yang diamanatkan Permentan No.  14 tahun 2017 tentang Klasifikasi obat hewan, serta mengacu pada amanat UU No. 41 tahun 2014 Jo. UU no 18  tentang peternakan dan kesehatan hewan "antibiotik untuk AGP dilarang untuk diedarkan dan digunakan sampai batas waktu 31 Desember 2017," katanya.

Made Ria juga mengatakan, pelaku usaha wajib melakukan peresepan oleh dokter hewan dalam penggunaan obat keras untuk pengobatan karena telah menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah dalam pengawasan atas pembuatan, penyediaan, dan peredaran obat hewan. "Penggunaan antibiotik tanpa resep atau tanpa pengawasan supervisi medis menyebabkan penggunaan antibiotik tidak tepat merupakan salah satu faktor pencetus resistensi antimikroba," ujarnya.

Sementara itu perwakilan CIVAS Riana Arif menyampaikan, fakta-fakta di lapangan tentang pola penggunaan antibiotik di peternakan dari hasil kajian yang pernah dilakukan di Jawa Tengah.

“Gambaran ancaman resistensi antimikroba yang kian nyata. Hasil survei responden peternak, pekerja peternakan, dan masyarakat menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan, serta pengendalian praktik penggunaan antibiotik yang tidak bertanggungjawab dan tidak bijak di peternakan maupun di masyarakat. Tingkat pengetahuan dari mayoritas responden peternak mengenai resistensi antibiotik masih rendah, begitu juga dengan masyarakat," katanya.

Pada kesempatan itu,  Robby perwakilan dari peternak menyampaikan testimoninya dalam menerapkan Model Biosecurity 3 Zona. Biosekuriti merupakan praktik manajemen dengan mengurangi potensi transmisi perkembangan organisme seperti virus Avian Influenza (AI) dalam menyerang hewan dan  manusia. "penerapan biosecurity 3 zona dan higiene sanitasi, efektif mengurangi penggunaan antibiotik," kata Robby.

Drh.  M. Azhar Senior Veteriner menyampaikan, saat ini model biosecurity 3 zona telah direplikasikan di 12 Provinsi oleh 153 petugas dinas dari kabupaten/kota yang berkompetensi PVUK (Pelayanan Veteriner Unggas  Komersil), dan 8.530 peternakan unggas komersil. “Kita harapkan model biosecurity 3 zona ini dapat diterapkan juga oleh peternak atau pelaku usaha peternakan lainnya untuk mengurangi risiko penggunaan antibiotic”, kata Drh. Azhar menambahkan