Pemerintah Punya Empat Pekerjaan Rumah untuk Tingkatkan Daya Saing

:


Oleh lsma, Kamis, 28 September 2017 | 09:56 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 326


Jakarta, InfoPublik - Pemerintah Indonesia memiliki empat pekerjaan rumah serius dalam upaya meningkatkan daya saing nasional di tingkat global.

Laporan Global Competitiveness Index (GCI) menunjukkan daya saing Indonesia stagnan selama tiga tahun terakhir. “Ada empat pekerjaan rumah serius pemerintahan Presiden Jokowi yang harus dituntaskan di periode 2014-2019,” ujar Muhammad Syarif Hidayatullah, peneliti Wiratama Institute, , merespon Laporan Global Competitivenss Index, di Kemenko Perekonomian Jakarta, Kamis (28/9).

Ia mengatakan pada 2014, daya saing Indonesia berada pada peringkat 34 dan melorot ke peringkat 36 pada 2017. Jika dibandingkan tahun 2016, memang ada sedikit perbaikan atau naik 5 peringkat. “Tetapi hal itu lebih seperti penebusan karena memburuknya daya saing nasional semenjak tahun 2014 lalu,” papar Syarif.

Syarif menyebutkan keempat pekerjaan rumah serius yang harus dituntaskan pemerintah. Pertama, masalah korupsi dan birokrasi menjadi dua hal utama yang selalu dikeluhkan oleh banyak pihak. Sehingga hal itu menjadi pekerjaan rumah utama pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

Kedua, lanjut Syarif, berdasarkan parameter GCI isu health and primary education dan labour market efficiency juga menjadi dua hal yang melemahkan daya saing. Secara berturut-turut kedua isu tersebut menempati peringkat 94 dan 96. Khusus pada indikator health and primary education, katanya lagi, peringkat Indonesia menurun drastis dari 74 pada tahun 2014, menjadi peringkat 92 pada tahun 2017.

Ketiga, isu fleksibilitas upah dan partisipasi perempuan juga menjadi hal utama. Terkait partisipasi perempuan dalam dunia kerja, ungkap Syarif, juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Pasalnya, tingkat partisipasi Angkatan Kerja Perempuan sudah mengalami stagnansi selama beberapa tahun terakhir.

“Pemerintah perlu melakukan intervensi, seperti memperketat pengawasan untuk menghindari diskriminasi gender di dunia kerja, mendorong perusahaan memiliki ruang laktasi, subsidi untuk penitipan anak, pelatihan khusus untuk pekerja perempuan,” tuturnya.

Keempat, hal yang menarik adalah stagnannya peringkat infrastruktur Indonesia. Jika dibanding tahun 2016 lalu memang tercatat ada peningkatan terjadi hingga 8 peringkat. Akan tetapi, apabila dibandingkan tahun 2014 yang berada di peringkat 56, maka cenderung stagnan sebab secara score hanya ada kenaikan sebesar 0.1.

“Hal ini menjadi anomali mengingat Pemerintah acapkali klaim pembangunan infrastruktur besar-besaran. Sebagai pembanding, pada periode kedua Presiden SBY peringkat Indonesia meningkat tajam dari posisi 82 pada tahun 2009, menjadi peringkat 56 pada tahun 2014, dimana score infrastruktur Indonesia meningkat dari 3,2 menjadi 4,4,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, bahwa selama ini pemerintah selalu menyebutkan kenaikan alokasi yang begitu besar, faktanya realisasi di lapangan sering jauh dari target.

“Contohnya, untuk realisasi belanja modal pada tahun 2016 itu hanya sebesar Rp160 triliun atau hanya 78%. Angka itu bahkan di bawah realisasi tahun 2013 yang sebesar Rp180triliun,” kata Syarif.