DPR RI Setujui RUU Ratifikasi Konvensi Minamata Mengenai Merkuri

:


Oleh Irvina Falah, Kamis, 14 September 2017 | 09:41 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 401


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 13 September 2017. Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Minamata Mengenai Merkuri (Minamata Convention on Mercury) akhirnya disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang oleh DPR RI pada Sidang Paripurna Rabu tanggal 13 September 2017. Selanjutnya UU ini akan disahkan Presiden RI untuk kemudian dapat diundangkan. Rapat ini juga disaksikan oleh perwakilan dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pada Pendapat akhir Presiden yang dibacakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Siti menjelaskan tentang pengertian merkuri, latar belakang konvensi Minamata, dan pentingnya meratifikasi Konvensi Minamata mengenai Merkuri ini bagi Indonesia. Merkuri atau air raksa adalah unsur kimia berupa logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup karena bersifat racun, bio-akumulasi dan dapat berpindah antar wilayah negara.

Konvensi Minamata, lahir dari peristiwa Minamata di Jepang tahun 1950, yang mengakibatkan ratusan ribu penduduk terkena gangguan kesehatan, setelah limbah merkuri perusahaan pupuk Chisso Chemical Corporation mencemari teluk Minamata.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menganggap penting untuk ikut meratifikasi konvensi ini, karena seperti yang tertulis pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) pasal 28H ayat 1, dimana setiap warga negara Indonesia berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

Atas dasar tersebut, maka berdasarkan Undang-undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pemerintah Indonesia perlu melakukan pengesahan konvensi tersebut dalam bentuk undang-undang melalui persetujuan DPR-RI dan disahkan oleh Presiden RI.

Dalam Konvensi Minamata yang meliputi 35 pasal, dan 5 lampiran, memuat 4 (empat) bagian utama, yaitu: 
1. Pengaturan operasional, memuat kewajiban mengurangi emisi dan lepasan merkuri dan senyawa merkuri antropogenik ke media lingkungan.
2. Dukungan bagi negara pihak dalam sumber pendanaan, peningkatan kapasitas, bantuan teknis dan alih teknologi, pelaksanaan dan komite pematuhan.
3. Informasi dan peningkatan kesadaran termasuk aksi mengurangi dampak merkuri.
4. Pengaturan administrasi lainnya.

Konvensi ini juga memuat harapan untuk menghapus secara bertahap hingga tahun 2020 penggunaan merkuri pada baterai, termometer, dan penghapusan penggunaan merkuri pada pertambangan emas dalam skala kecil.

Data internasional tahun 2010, tercatat emisi merkuri yang bersifat meracuni manusia sebanyak 37% bersumber dari penambangan emas skala kecil, 24% bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil, 18 % berasal dari produk-produk metal, sisanya antara 5-9 persen berasal dari proses industri semen, insinerasi, dan lainnya. Di Indonesia, merkuri sebagian besar digunakan pada pertambangan emas skala kecil, yang diidentifikasi pada sejumlah 850 kawasan yang memiliki titik panas yang cukup tinggi yang tersebar di 197 kota/kabupaten di 32 provinsi, dengan jumlah penambang lebih dari 250 ribu orang.

Dalam tanggapannya, Menteri LHK menyatakan, peratifikasian Konvensi Minamata ini menjadi dasar hukum bagi peraturan perundangan dan kebijakan lingkungan hidup, sekaligus mendorong sektor industri untuk tidak menggunakan merkuri sebagai bahan baku industri, mendorong sektor kesehatan untuk tidak lagi menggunakan merkuri. Ini juga menjadi dasar bagi KLHK untuk memperkuat pengaturan dan pengawasan pengelolaan limbah merkuri, sehingga dapat mengurangi risiko terkontaminasinya tanah, air, dan udara dari merkuri, hingga meningkatkan kerjasama global untuk pertukaran informasi dalam penelitian, dan pengembangan. 

Substansi Konvensi Minamata mencakup muatan pokok yang meliputi berbagai pengaturan dalam hal, diantaranya: sumber pasokan dan perdagangan merkuri, pasal 4 (empat) UU ini menuliskan juga pembatasan produksi pada impor dan ekspor produk mengandung merkuri, dan masih banyak lagi. Namun, sebuah pekerjaan rumah besar KLHK juga dicantumkan dalam pasal 12 UU ini, dimana KLHK perlu mengidentifikasi lokasi pencemaran merkuri, sambil mengurangi dampak pencemaran baik yang terjadi di lahan, air, dan udara. 

Melalui ratifikasi ini, Indonesia memiliki hak memberikan suara baik ditingkat regional maupun internasional. Pemberlakuan konvensi ini akan dimulai 90 hari setelah persetujuan dari negara ke-50 yang menyepakati konvensi ini.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan DPR RI, Pimpinan dan Anggota DPR RI Komisi VII dan seluruh Anggota DPR RI yang telah menyetujui RUU tentang Konvensi Minamata mengenai Merkuri. “Kami senantiasa mengharapkan dukungan pimpinan dan anggota DPR-RI yang terhormat, pada implementasi konvensi Minamata dalam rajut upaya mengatasi persoalan global, serta upaya mewujudkan pembangunan Indonesia yang berdaulat mandiri dan sejahtera, serta memenuhi target Sustainable Development Goals.”, pungkas Siti dalam pidatonya.(*)

Penanggung jawab berita:
Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 
Djati Witjaksono Hadi – 081375633330