Kemenhub: Kami Taati Putusan MA Terkait Angkutan Daring

:


Oleh Dian Thenniarti, Selasa, 22 Agustus 2017 | 13:46 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 398


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Perhubungan menyatakan akan mentaati putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek atau angkutan dalam jaringan (daring).

"Kementerian Perhubungan akan taat azas pada hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk apa yang menjadi keputusan MA. Selanjutnya kami akan berkoordinasi dengan semua pihak guna menyusun penataan yang terbaik yang dapat memberi ruang yang sama pada semua operator transportasi, khususnya di bidang angkutan jalan, dan mencari upaya agar putusan MA tersebut tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari," ujar Pelaksana Tugas Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan Hengki Angkasawan, di Jakarta Selasa (22/8). 

Dalam salinan Putusan MA Nomor: 37 P/HUM/2017 tentang Uji Materi terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek atau angkutan dalam jaringan (daring), dinyatakan bahwa PM 26 tahun 2017 betentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 

Tidak hanya itu, MA juga memutuskan bahwa 14 poin atau pasal dalam PM tersebut tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan harus dicabut. Adapun ke-14 Pasal PM No 26 Tahun 2017 yang diperintahkan oleh MA untuk cabut itu adalah:

1. Pasal 5 ayat 1 huruf e;
2. Pasal 19 ayat 2 huruf f dan ayat 3 huruf e;
3. Pasal 20 huruf a;
4. Pasal 21 hutuf a;
5. Pasal 27 huruf a;
6. Pasal 30 huruf b
7. Pasal 35 ayat 9 hutuf a angka 2 dan ayat 10 huruf a angka 3;
8. Pasal 36 ayat 4 huruf c;
9. Pasal 37 ayat 4 huruf c;
10. Pasal 39 ayat 9 huruf a angka 2 dan ayat 10 huruf a angka 3;
11. Pasal 43 ayat 3 huruf b angka 1 sub huruf b;
12. Pasal 44 ayat 10 huruf a angka 2 dan ayat 11 huruf a angka 2;
13. Pasal 51 ayat 3;
14. Pasal 66 ayat 4;

Menyikapi hal ini, pengamat transportasi Djoko Setijowarno berpendapat bahwa putusan MA No.37 P/HUM/2017 dapat memicu keresahan di kalangan pebisnis transportasi umum yang sudah lama berusaha. "Hanya menggunakan dasar hukum UU UMKM dan UU LLAJ masih dirasa kurang. Apalagi menggunakan istilah taksi konvensional, mestinya taksi resmi yang lebih tepat, karena dilindungi UU."

Menurut Djoko, usaha on line atau angkutan dalam jaringan (daring) bukan termasuk UMKM, melainkan pemodal besar yang berlindung seolah UMKM. Cukup besar modal untuk memberi subsidi bertarif murah yang akhirnya juga tidak akan murah selamanya.

"Pendapat ahli dan lembaga yang terkait aktivitas transportasi juga tidak dilakukan. Pertimbangan UU Perlindungan Konsumen, serta UU Persaingan Usaha dan Anti Monopoli sangat diperlukan," ujarnya. 

Djoko mengatakan, di saat pemerintah sedang gencarnya menata transportasi umum yang kian terpuruk, seyogyanya para Hakim MA berpikir lebih realistis. Oleh sebab itu pertimbangan sosiologis keberagaman masyarakat Indonesia perlu dipertimbangkan secara matang.

Pada prinsipnya, transportasi orang harus mengandung unsur selamat, aman dan nyaman. Sementara on line, menurut analisa Djoko adalah sistem, bukan berlaku sebagai operator transportasi mengatur segalanya melebihi kewenangan regulator transportasi. 

Oleh karena itu, Pemerintah harus punya instrumen untuk mengawasi praktek bisnis transportasi dimanapun, guna menjaga keseimbangan dan penataan transportasi secara nasional.

"Hendaknya, Hakim di MA sebelum memutuskan itu, mau mendengarkan banyak stakeholder secara langsung, misalnya Organda, YLKI, MTI, akademi bidang transportasi. Jika nanti ujung dari putusan ini akan menjadi masalah baru di daerah, hendaknya Hakim yang memutuskan harus berani bertanggungjawab," tutupnya.