Alasan KPK Baru Tahan Gubernur Sulteng NA

:


Oleh Untung S, Jumat, 7 Juli 2017 | 12:47 WIB - Redaktur: Juli - 659


Jakarta, InfoPublik - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya alasan tersendiri mengapa penahanan terhadap Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam (NA) baru dilakukan Rabu (5/7), padahal penyidik sudah menetapkannya sebagai tersangka sejak 23 Agustus 2016 lalu.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (6/7) mengungkapkan alasan utama penahanan ini adalah semua ada kewenangannya pada tim penyidik dan tak bisa diintervensi oleh siapa pun. "Ini kan berproses, tidak bisa tiba-tiba ada, mengapa baru dilakukan sekarang karena urgensinya, penyidik sudah melihatnya saat ini," katanya.

Selain itu menurut Febri, proses penahanan bukan hanya didasarkan pada status tersangka tapi sejumlah alat bukti yang melengkapi berkas kasus ini juga sangat menentukan, jika sudah akan lengkap maka dipastikan tersangka akan segera ditahan. Tim penyidik juga tidak khawatir tersangka kabur usai ditetapkan sebagai tersangka karena mekanisme pencekalan langsung berjalan usai penetapan.

Sebelumnya KPK mengungkapkan, untuk kepentingan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam persetujuan Izin Usaha Pertambangan di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009-2014, pada Kamis (6/7) penyidik KPK melakukan upaya hukum penahanan terhadap tersangka NA (Gubernur Sulawesi Tenggara) untuk 20 hari ke depan terhitung mulai 5 Juli 2017 di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK yang berlokasi di Pomdam Jaya Guntur.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan NA sebagai tersangka pada 23 Agustus 2016. NA selaku Gubernur Sultra diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan mengeluarkan SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT AHB selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kab. Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara. SK tersebut diduga dikeluarkan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Atas perbuatannya, NA disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.