Meneguhkan Konsensus Nasional, Merawat Integrasi Sosial

:


Oleh Gusti Andry, Kamis, 25 Mei 2017 | 14:48 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 4K


Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan empat konsensus nasional yang menjadi landasan sekaligus arah dan tujuan bangsa dan negara Indonesia. Karena itu, empat konsensus nasional tersebut tidak bisa diubah oleh kekuatan manapun, selama negara bangsa Indonesia berdiri. 

Namun, harus diakui, empat konsensus nasional tersebut mulai dipertanyakan oleh sekelompok orang. Mereka berupaya untuk mengubah dan mengganti dasar dan ideologi negara dengan ideologi lain. Mereka menyebarkan segala macam berita bohong alias hoax, untuk memecah belah anak bangsa. Tujuannya, agar integrasi nasional dan integrasi sosial yang telah terbangun selama ini roboh dan negara bangsa tercerai berai.

Menyikapi kondisi tersebut, semua pihak diminta untuk kembali meneguhkan konsensus nasional, sembari merawat dan membangun integritas nasional dan integritas sosial di tengah masyarakat.

Demikian kesimpulan diskusi bertajuk “Kebangkitan Bangsa Mempererat Persatuan”, yang digelar Indonews.id, di Balai Sarwono, Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Rabu (24/5/2017). Forum diskusi tersebut menghadirkan enam pembicara yaitu Ketua DPP Bidang Eksternal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany, anggota DPR RI Komisi III dari Fraksi Gerindra Moreno Suprato, anggota DPR Komisi IX dari Fraksi PDIP Imam Suroso, Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia Paulus Wirutomo, Direktur Utama PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Parman Nataatmadja, dan pakar bidang Perencanaan Penggangaran dan Administrasi Kesehatan Abdullah Antaria. Diskusi dipandu pemimpin redaksi Indonews.id, Asri Hadi.

Tsamara yang tampil sebagai pembicara pertama mengatakan, berita bohong alias hoax, fitnah, dan saling menjelekkan sudah memenuhi berbagai pemberitaan di media massa dan media sosial. Ironisnya, orang percaya pada berita bohong yang disebarkan secara massif tersebut. 

Menurut Tsamara, hal ini terjadi karena kita telah memasuki era Post-Truth, yaitu orang percaya hanya pada apa yang ingin mereka percayai, dan bukan percaya pada fakta. 

“Mungkin ini karena kita memasuki era Post-Truth, di mana orang percaya apa yang ingin mereka percayai, bukan fakta. Fenomena serupa terjadi pula di Amerika ketika Trump terpilih,” ujarnya. 

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina ini mencontohkan, orang misalnya dengan mudah menuduh dan percaya bahwa Presiden Joko Widodo adalah keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, Jokowi memiliki silsilah keturunan yang jelas, yang bisa ditelusuri dari berbagai sumber. 

Karena itulah, sangat beralasan jika Presiden Jokowi meminta berbagai pihak untuk menghentikan penyebaran berita bohong, fitnah dan menjelekkan. Selain tidak produktif, hal tersebut bisa mengancam integrasi bangsa. 

“Saya dukung sikap tegas Presiden Jokowi karena berita bohong sudah mengancam negara,” ujarnya. 

Tsamara bahkan mengapresiasi ketegasan Presiden Jokowi untuk “menggebuk” kelompok masyarakat, dan organisasi masyarakat (ormas) yang mempertanyakan dan mengubah empat konsensus nasional tersebut. 

“Presiden Jokowi berada di garda terdepan menjaga empat konsensus bangsa. Karena itu, kita harus mendukung di belakang beliau. Jangan diam, tapi kita harus lantang melakukan perlawanan. Pada momentum Kebangkitan Nasional ini, saya mengharapkan kita semua bangkit menggebuk bersama Jokowi,” ujarnya. 

Imam Suroso dari PDI Perjuangan mengingatkan bangsa ini agar menolak segala bentuk intoleransi yang kian merebak. Jika tidak dibendung, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi seperti Suriah, yang terpecah belah. 

“Jangan sampai karena intoleransi maka Indonesia seperti Suriah. Karena itu, segenap elemen bangsa harus sepakat dan membela empat konsensus nasional yang telah disepakati. Jangan ada pihak tertentu yang mempunyai keinginan untuk mendirikan negara agama, negara yang berdasarkan agama tertentu,” ujarnya mengingatkan. 

Abdullah Antaria yang membawakan makalah berjudul “Peran Revolusi Mental: Menjaga Pancasila, Menjaga Persatuan, Menjaga NKRI mengakui adanya degradasi nilai Pancasila. Hal itu terjadi karena adanya keteledoran, ketidaktaan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama yang dilakukan para penyelenggara negara. 

Degradasi nilai Pancasila, katanya, semakin menurun. Pada kenyatannya Pancasila saat ini belum mewujud dalam nilai-nilai etis para penyelenggara negara dan elit bangsa ini. 

Karena itu, Abdullah menawarkan revolusi mental sebagai penjaga Pancasila. “Revolusi mental seharusnya mengambil peran sebagai penjaga Pancasila dan perekat persatuan nasional saat ini,” ujarnya. 

Integrasi Sosial 
Guru Besar Sosiologi UI Paulus Wirutomo mengatakan, integrasi nasional bangsa selama ini masih cukup bagus. Paulus beralasan, wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, masih dalam keadaan utuh. Yang menjadi persoalan, katanya, yaitu retaknya integrasi sosial. 

“Integrasi nasional kita bagus, karena dari Sabang sampai Merauke masih utuh. Tapi kita harus perhatikan integrasi sosial. Sebab integrasi sosial itu adalah kualitas dari hubungan yang sebenarnya, antara suku, agama, dari Sabang sampai Merauke. Justru di sinilah yang mengalami kelemahan,” ujarnya. 

Sama seperti Abdullah, Paulus juga menawarkan revolusi mental untuk mengatasi pelemahan integrasi sosial tersebut. Revolusi mental tersebut, kata Paulus, harus difokuskan pada tiga hal yaitu, integritas, etos kerja, dan gotong royong. 

“Revolisi mental bukan proyek, tapi harus dilakukan secara sistematis. Dia juga bukan penataran, tapi dilakukan oleh semua orang, dari pimpinan sampai bawahan,” ujarnya.

Revolusi mental inilah yang telah dilakukan oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM), di bawah kepemimpinan Parman Nataatmadja. Dalam menjalankan program pemberdayaan UMKM, Parman mewajibkan para peserta, yaitu ibu-ibu rumah tangga agar menjalankan aktivitas secara disiplin, bertanggung jawab, dan gotong royong.

Bahkan, Parman mewajibkan nasabah PNM untuk menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan harian. “Sebelum menjalankan kegiatan, kami mewajibkan mereka untuk berdoa sesuai agama dan menghafal Pancasila dan menanamkan nilai-nilai atau semangat kebangsaan,” ujarnya. 

Anggota DPR dari Fraksi Gerinda Moreno Soeprapto mengatakan, permasalahan yang dihadapai bangsa dewasa ini sangat kompleks. Karena itu, dibutuhkan penanganan yang serius dan menyeluruh dari berbagai pihak, khususnya pemerintah. 

Menghadapi masalah kebangsaan saat ini, Moreno menekankan pentingnya kepemimpinan yang kuat. 

“Diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat, tegas, ikhlas, cinta tanah air dan rakyatnya. Pemimpin yang mampu mengembalikan kekuatan ekonomi yang besar dan kewibawaan bangsa,” ujar pebalap mobil ini. 

Mengawali diskusi, pemimpin redaksi Indonews.id, Asri Hadi mengatakan, diskusi tersebut digelar untuk menyikapi permasalahan krusial yang sedang dihadapi bangsa saat ini yaitu adanya upaya sekelompok orang untuk mengubah ideologi bangsa, dan ancaman perpecahan akibat isu SARA. 

“Kita harapkan agar diskusi ini menemukan benang merah dan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan bangsa, dan demi jalannya pemerintahan Presiden Jokowi,” ujarnya di hadapan ratusan peserta diskusi.