Kompensasi Untuk Korban Aksi Terorisme Tunggu Kepastian Anggaran

:


Oleh Yudi Rahmat, Sabtu, 1 April 2017 | 22:10 WIB - Redaktur: Juli - 3K


Jakarta, InfoPublik -  Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyatakan siap untuk melakukan pembayaran kompensasi bagi korban aksi terorisme jika ada kepastian anggaran yang dialokasikan ke LPSK.

"Kita akan komunikasikan dengan pemerintah terkait dengan besaran anggaran yang akan ditempatkan di anggaran LPSK," kata Semendawai di Jakarta, Sabtu (1/4).

Menurutya, LPSK juga melakukan komunikasi dengan komisi III DPR RI untuk memastikan bahwa anggaran yang ditempatkan di LPSK memadai untuk pembayaran kompensasi korban aksi terorisme.

"Karena jika tidak, anggaran LPSK yang sangat terbatas ini akan terganggu. Jangan sampai nanti anggaran kompensasi tidak tersedia sehingga dapat menganggu anggaran LPSK yang terbatas ini," ungkapnya.

Menurutnya, jika payung hukumnya ada di berikan kepastian bahwa dana kompensasi dari negara melalui LPSK tidak ada masalah. "Tapi harus dipastikan memang ada alokasi anggaran yang diberikan untuk kompensasi," tuturnya.

Ia mengakui tuntutan kompensasi korban aksi terorisme seperti kasus Thamrin dan Samarinda belum ada realisasinya meski dalam UU Nomor 5 Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa korban aksi teroris berhak mendapatkan kompensasi. "Tentunya kompensasi diberikan atas putusan pengadilan," katanya.

Itu pun diakui Semendawai, ketika ada proses peradilan dimana menyebutkan korban aksi teroris Marriot berhak mendapatkan kompensasi tapi ketika korban mengajukan pembayaran kompensasi belum direalisasikan. Karena dalam putusan itu tidak menyebutkan  secara tegas kompensasi itu diberikan kepada siapa.

Untuk kasus aksi terorisme di Thamrin, Jakarta, menurutnya, pembayaran kompensasi  korban aksi terorisme tersebut terkendala dengan prosedurnya dimana tuntutan dan permintaan ganti rugi dipisah oleh Jaksa, sehingga pertimbangan hakim saat putusan peradilan hanya membahas tuntutan saja sedangkan permintaan ganti rugi dinilainya diluar prosedur.

"Jadi prosedurnya tidak seperti kasus trafficking yang sudah banyak dikabulkan retribusinya atau pembayaran ganti rugi yang dibayar oleh pihak ketiga bukan negara," ungkapnya.

Menurutnya, dikabulkan permintaan ganti rugi dalam kasus trafficking itu, karena antara tuntutan dan permintaan ganti rugi itu menjadi satu menjadi tuntutan oleh Jaksa dalam persidangan kasus tersebut. "Pada akhir persidangan, Hakim mempertimbangkan apa yang ada di tuntutan tadi," katanya.

Namun demikian, lanjut Semendawai, untuk kompensasi korban aksi teroris yang akan dtentukan peradilan.

LPSK dalam hal ini terus berupaya melakukan komunikasi dengan Jaksa Agung, yang sudah membuat Surat Edaran dan ditujukan kepada Kajati seluruh Indonesia.

Dinyatakan bahwa apabila ada korban aksi terorisme yang mengajukan tuntutan kompensasi agar dimasukan di dalam tuntutan jaksa. "Ini kita akan lakukan untuk kasus Thamrin dan Samarinda. Jika ini berhasil maka  menjadi preseden positif ke depan," kata Semendawai.

Ia menambahkan sebenarnya besaran yang dituntut korban aksi terorisme tidak terlalu besar dibandingkan dengan anggaran bantuan sosial dan bantuan orang miskin. "Misalnya korban aksi terorisme di Thamrin ada 7 orang dengan tuntutan Rp1,3 miliar. Tidak banyak dibandingkan dengan Bansos," pungkasnya.