Hak Kompensasi Korban Kejahatan Jadi Tantangan

:


Oleh Yudi Rahmat, Kamis, 30 Maret 2017 | 20:22 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 1K


Jakarta, InfoPublik - Korban kejahatan berhak mendapatkan kompensasi dari negara atas derita yang dialaminya, sesuai Deklarasi PBB tentang Hak Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan. Namun, di saat hak tersebut sudah diakui, pelaksanaannya justru masih menjadi tantangan di banyak negara anggota.

Country Manager United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) Collie Brown mengakui, ganti rugi uang atau materi memang tidak bisa memuaskan, akan tetapi hal itu paling tidak bisa bisa memberikan dukungan dalam rangka pemulihan korban kejahatan.

“Pelapor khusus PBB tentang kejahatan terorisme menyatakan, kompensasi menjadi suatu hal penting bagi korban,” kata Collie dalam “Workshop on National Framework for Compesation of Victims of Crime of Terrorism” yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerja sama dengan UNODC dan Kementerian Luar Negeri, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (30/3).

Kegiatan yang dihadiri para pemangku kepentingan di bidang hukum ini menampilkan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto sebagai pembicara utama, serta sambutan dari Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.

Sedangkan ahli-ahli yang didatangkan berasal dari beberapa negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, Spanyol dan Perancis. Selain ahli-ahli tersebut, kegiatan workshop menampilkan Direktur KIP Kemlu Andy Rachmianto dan Hakim Agung Suryajaya.

Menurut Collie, sebelumnya pihaknya dan pemerintah Indonesia sempat mengadakan pertemuan membahas kompensasi korban terorisme. Dari pertemuan itu terungkap persoalan ketersediaan keuangan untuk kompensasi masih menjadi masalah. Untuk itulah, UNODC menggandeng LPSK menggelar workshop dengan mendatangkan ahli-ahli dari Inggris, Amerika Serikat, Perancis dan Spanyol, yang akan membagi pengalaman serta mengenalkan model-model kompensasi dari negara mereka masing-masing.
“Mudah-mudahan bisa dimanfaatkan untuk membangun kerangka di Indonesia. Meski tidak bisa diterapkan semua, tetapi bisa disesuaikan dengan kondisi di Indonesia,” ujar dia.

Menko Polhukam Wiranto mengapresiasi kegiatan yang dilaksanakan LPSK bekerja sama dengan UNODC dan Kemlu. Kegiatan ini menurut Wiranto, menjadi perangsang bagi pemerintah untuk tidak semata-mata fokus pada pelaku terorisme, melainkan ada pihak lain yang butuh penanganan yaitu korban.

“Situasinya pas dimana revisi UU Terorisme sedang dibahas di DPR. Dari kegiatan ini diharapkan ada masukan dan rekomendasi tentang bagaimana penanganan korban terorisme bagi pemerintah dan DPR yang tengah menggodok revisi UU Terorisme,” tutur Wiranto.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menambahkan, pihaknya langsung menyambut tawaran kerja sama dari UNODC untuk membahas kompensasi bagi korban terorisme. Karena momen saat ini sangat pas dimana DPR sedang membahas revisi UU Terorisme. Apalagi, kata Semendawai, UNODC membawa ahli-ahli dari beberapa negara yang bisa berbagi ilmu dan pengalaman tentang kompensasi bagi korban terorisme.

“Korban dari aksi terorisme ini menderita kerugian baik fisik, materi maupun immaterial. Dan, sampai saat ini, belum ada korban terorisme yang mendapatkan kompensasi dari negara,” ungkap dia.