Ratifikasi Konvensi Montreal 1999 Tambah Daya Tawar Indonesia di Penerbangan Internasional

:


Oleh Dian Thenniarti, Jumat, 17 Februari 2017 | 08:52 WIB - Redaktur: Elvira - 2K


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Perhubungan berhasil meratifikasi Convention for the Unification of Certain Rules for International Carriage by Air (Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu Tentang Angkutan Udara Internasional) atau Konvensi Montreal 1999. Dengan ratifikasi tersebut, berlaku ketentuan Internasional sebagai payung hukum dalam pengaturan tanggung jawab pengangkut yang dilakukan oleh angkutan udara internasional. 

Salah satu isi peraturan tersebut adalah warga negara Indonesia yang menjadi korban terdampak kerugian pada penerbangan Internasional akan mendapatkan kompensasi maksimal Rp2 miliar dari maskapai pengangkut Internasional.

Ratifikasi Konvensi Montreal 1999 ini telah diadopsi kedalam peraturan nasional Indonesia melalui Peraturan Presiden RI Nomor: 95 tahun 2016 tanggal 21 November 2016 tentang Pengesahan Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu Tentang Angkutan Udara Internasional. Peraturan Presiden tersebut mulai berlaku sejak 23 November 2016.

"Ratifikasi ini sekaligus juga memastikan bahwa kita (Indonesia) siap menerapkan standar-standar baku internasional dalam sistem penerbangan kita," ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Kamis (16/2).

Menurut Menhub Budi, sebagai anggota International Civil Association Organization (ICAO), Indonesia akan selalu berkomitmen melakukan ratifikasi dan menerapkan aturan-aturan penerbangan yang telah ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Internasional tersebut untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan serta kenyamanan penerbangan nasional.

Keberhasilan Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Montreal 1999 juga mendapat pengakuan dan apresiasi dari International Air Transport Association (IATA), sebuah Asosiasi Penerbangan Sipil Internasional yang sangat berperan penting terhadap perkembangan angkutan udara sipil di dunia. Pengakuan tersebut dituangkan melalui surat dari Regional Vice President – Asia Pacific IATA kepada Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 19 Desember 2016 lalu.

Konvensi Montreal 1999 merupakan amandemen Konvensi Warsawa 1929 yang telah ditetapkan oleh ICAO pada saat diadakanya International Conference on Air Law  tanggal 28 Mei 1999 di Montreal, Kanada. 

Tujuan Indonesia secara umum dalam meratifikasi Konvensi Montreal 1999 di antaranya adalah untuk memberlakukan ketentuan Internasional tersebut sebagai payung hukum nasional dalam pengaturan tanggung jawab pengangkut yang dilakukan oleh angkutan udara internasional. 

Selain itu, memberikan jaminan kepastian hukum bagi penumpang, barang, bagasi dan kargo pada angkutan udara internasional, serta memberikan perlindungan bagi maskapai penerbangan berupa adanya batas besaran tanggung jawab kompensasi kepada penumpang, barang bagasi, dan kargo penerbangan internasional. 

Menurut Kepala Bagian Kerjasama dan Humas Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Agoes Subagio, Konvensi Montreal 1999 ini mengatur mengenai hukum tanggung jawab pengangkut yang berlaku secara internasional. Yaitu bagi pengangkutan penumpang, bagasi dan kargo yang diangkut dengan menggunakan penerbangan internasional, apabila terjadi cidera, kerugian atau kerusakan pada saat pengangkutan tersebut.

"Konvensi Montreal 1999 juga menawarkan penyederhanaan tanggung jawab bagi kargo udara dan memfasilitasi penggunaan dokumen-dokumen kargo secara elektronik. Dalam ketentuan yang tercantum, juga memberikan kemudahan bagi pengguna jasa (penumpang) angkutan udara internasional yang telah dirugikan untuk melakukan gugatan di tempat mereka tinggal/berdomisili," jelas Agoes.

Dengan diratifikasinya Konvensi Montreal 1999 tersebut, Indonesia kini dapat menerapkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam Konvensi Montreal 1999 ke dalam regulasi nasionalnya dan telah menempatkan dirinya kedalam posisi sejajar dengan 122 negara-negara anggota ICAO lainnya yang juga telah meratifikasi Konvensi Montreal 1999. 

Indonesia juga dapat meningkatkan daya tawarnya dalam forum-forum internasional seperti APEC maupun ICAO, serta meraih kepercayaan dunia internasional di mana salah satunya akan berdampak kepada meningkatnya jumlah frekuensi penerbangan Internasional masuk ke Indonesia.

Adapun nilai terbaru tanggung jawab pengangkut sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Konvensi Montreal 1999 adalah: 

1. Jumlah kompensasi bagi penumpang yang meninggal atau menderita akibat kecelakaan pesawat udara sampai dengan 113.100 Special Drawing Rights (SDR) atau sekitar Rp2,03 miliar sesuai dengan Pasal 21 ayat /1/; 

2. Jika penumpang ingin mengajukan klaim melebihi batas 113.100 SDR tersebut, berlaku asas tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault). Maskapai penerbangan harus membuktikan bahwa tidak ada kesalahan yang disengaja di pihaknya sesuai dengan Pasal 21 ayat /2/; 

3. Dalam hal kerugian yang diakibatkan oleh keterlambatan pesawat udara, maskapai penerbangan wajib memberikan kompensasi maksimum 4.694 SDR atau sekitar Rp84,2 juta  sesuai dengan Pasal 22 ayat /1/; 

4. Untuk kehilangan, kerusakan, ataupun musnahnya barang bawaan dan bagasi, tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai dengan maksimum 1.131 SDR atau sekitar Rp20,3 juta sesuai dengan Pasal 22 ayat /2/; 

5. Untuk pengiriman kargo, pada kerusakan, kehilangan, keterlambatan, atau musnahnya kargo, pengirim berhak atas ganti rugi maksimum 19 SDR atau sekitar Rp 341 ribu per kilogram sesuai dengan Pasal 22 ayat /3/; 

1 SDR setara dengan sekitar 1,35 USD berdasarkan data IMF per tanggal 24 Januari 2017. Sedangkan kurs dollar AS rata-rata sebesar Rp13.300, per 1 Februari 2017).

Ratifikasi hukum tanggung jawab pengangkut Internasional ini melengkapi hukum tanggung jawab pengangkut di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia sudah mempunyai hukum tanggung jawab pengangkut untuk penerbangan nasional. Yaitu Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 77 tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Sebagai perbandingan, untuk kompensasi penerbangan domestik, seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 77 tahun 2011 adalah sebagai berikut:

1. Jumlah kompensasi bagi penumpang yang meninggal akibat kecelakaan atau kejadian yang ada hubungannya dengan pengangkutan pesawat udara di dalam pesawat adalah Rp1,25 miliar sesuai dengan Pasal 3 ayat /a/; 

2. Jumlah kompensasi bagi penumpang yang meninggal akibat kejadian yang ada hubungannya dengan pengangkutan pesawat udara saat meninggalkan ruang tunggu bandara menuju pesawat atau saat meninggalkan pesawat menuju ruang kedatangan bandara tujuan atau bandara transit adalah Rp500 juta sesuai dengan Pasal 3 ayat /b/; 

3. Penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter selama jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti rugi sebesar Rp1,25 miliar. Sedangkan untuk cacat sebagian diberikan ganti rugi maksimal Rp150 juta.  

4. Dalam hal kerugian yang diakibatkan oleh keterlambatan pesawat udara lebih dari 4 jam, maskapai penerbangan wajib memberikan kompensasi Rp300.000, per penumpang, atau 50 persen dari ketentuan tersebut jika maskapai memberikan alternatif ke rute terdekat dan wajib memberi transportasi lanjutan gratis ke bandara tujuan sesuai dengan Pasal 10 ayat /a/ dan /b/; 

5. Untuk kehilangan, kerusakan, ataupun musnahnya barang bawaan dan bagasi setelah 14 hari kalender, maskapai harus memberikan kompensasi Rp200.000, per kg dan maksimal Rp4 juta. Dalam masa menunggu tersebut, penumpang mendapat uang tunggu Rp200.000, per hari selama maksimal tiga hari sesuai dengan Pasal 5 ayat /1/, /2/, /3/; 

6. Untuk kerusakan kargo, pengirim mendapat kompensasi Rp50.000, per kg. sedangkan untuk kehilangan, atau musnahnya kargo, pengirim mendapat kompensasi Rp100.000, per kilogram sesuai dengan Pasal 7.