Indonesia Kembali Perjuangkan DevPro di Forum APEC

:


Oleh Amrln, Kamis, 16 Februari 2017 | 16:46 WIB - Redaktur: Elvira - 444


Jakarta, InfoPublik - Diplomasi sering bekerja dalam senyap, padahal dampaknya – berhasil atau tidak – sering sangat luas. Hal itu juga yang akan dilakukan beberapa diplomat ekonomi dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri Indonesia di Vietnam tahun ini.

Menindaklanjuti diplomasi Indonesia terkait Development Products (DevPro) di beberapa penyelenggaraan forum APEC, Indonesia yang diwakili oleh pakar-pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) akan kembali mengangkat masalah ini pada forum yang sama yang tahun 2017 ini akan diselenggarkan di NaTrang Vietnam, yang rencananya akan berlangsung pada tanggal 22 hingga 23 Februari 2017 mendatang. 

Development Products (DevPro) adalah sebutan untuk produk-produk yang berkontribusi pada pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif melalui pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan (RDPA/rural development and poverty alleviation).

"DepPro adalah kategori produk yang dalam proses produksi dan perdagangannya berdampak luas bagi pendapatan kelompok miskin, petani dan nelayan kecil, dan masyarakat pedesaan, sehingga jika perdagangan produk-produk itu ditingkatkan akan berdampak positif bagi peningkatan sosial ekonomi masyarakat, dan sebaliknya, jika dihambat akan berdampak buruk bagi kesejahteraan kelompok masyarakat tersebut," kata Bayu Krisnamurthi, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) di Jakarta, Kamis (16/2).

Usulan mengenai perlunya kebijakan yang promotif terhadap perdagangan DevPro di antara negara APEC ini sudah diajukan Indonesia sejak pertemuan para pemimpin APEC tahun 2013 di Bali, dan terus dilanjutkan di pertemuan APEC berikutnya 2014 di Beijing, 2015 di Manila, dan 2016 di Lima, Peru. 
Namun karena beberapa kendala belum banyak kemajuan material dari rangkaian perundingan ini, sehingga pada forum APEC tahun 2017 ini Indonesia merasa perlu kembali mengangkatnya.

Saat ini 7%-20% penduduk negara-negara maju (developed economies) APEC dan 20%-60% penduduk negara-negara sedang berkembang (developing economies) APEC tinggal di pedesaan. Di Papua Nugini bahkan 87% penduduknya adalah penduduk pedesaan dan di Vietnam angka itu mencapai 67%. Di sisi lain, sebagian besar penduduk miskin di dunia tinggal di pedesaan, bahkan pada beberapa negara APEC 80% penduduk miskinnya tinggal di pedesaan.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa perdagangan – baik domestik dan internasional – memiliki dampak nyata terhadap pengurangan kemiskinan dan pembangunan pedesaan (RDPA). Dampak tersebut dapat bersifat positif (mengurangi kemiskinan, mendorong kemajuan) tetapi juga dapat berupa ancaman (kalah bersaing, hilangnya pangsa pasar). Untungnya, dampak netto perdagangan terhadap RDPA cenderung selalu positif. 

Negara-negara APEC akan hadir di Vietnam dengan membawa kesepakatan sebelumnya tentang adanya 157 produk yang telah disepakati sebagai DevPro atau produk yang berdampak besar bagi RDPA di kawasan APEC.
Dari 157 produk itu, 15 produk di antaranya adalah usulan Indonesia yaitu perikanan (2 produk/kode HS), sawit (4 produk), karet (1 produk), rotan (3 produk), dan kertas (5 produk). Indonesia melakukan ekspor bukan hanya untuk 15 produk yang diusulkan tersebut, tetapi juga mengekspor hampir seluruh 157 jenis produk yang telah disepakati.

Tahun 2015 ekspor Indonesia untuk ke-15 produk usulan ke negara-negara APEC mencapai USD5,8 miliar, sedangkan ekspor yang sama ke seluruh dunia mencapai USD17,8 miliar.

Ekspor Indonesia untuk 157 produk DevPro ke APEC mencapai USD13,6 miliar (13% dari total seluruh ekspor Indonesia ke APEC), dan ekspor Indonesia untuk 157 produk ke seluruh dunia mencapai USD28,2 miliar (18,7% dari total seluruh ekspor Indonesia). Angka-angka tersebut cukup besar dan penting untuk diperjuangkan.

"Sebenarnya tarif bea masuk 15 produk yang diusulkan Indonesia di pasar APEC sudah rendah. Rata-rata tarif hanya 3,17%. Tarif rata-rata tertinggi dialami produk sawit Indonesia, yaitu sekitar 6,3%," kata Bayu.

Namun demikian, produk-produk Indonesia dikatakan Bayu mengalami banyak hambatan non-tarif yang dampak distorsinya jauh lebih besar daripada tarif. Bentuk-bentuk hambatan non-tarif dalam perdagangan adalah harga minimum, antidumping, alasan keamanan pangan atau kesehatan (sanitary and phytosanitary), lisensi, kuota, hingga larangan impor. 15 produk yang mengalami masalah hambatan non-tarif terjadi di Australia, Vietnam, New Zealand, dan Tiongkok. 

"Di antara ke-15 produk usulan Indonesia itu, yang paling sering mendapat hambatan non-tarif adalah produk perikanan, diikuti oleh produk sawit. Pada kondisi ini, mengusahakan agar perdagangan DevPro tidak dihambat merupakan target diplomasi yang realistis," ujar Bayu.

Perjuangan diplomasi perdagangan DevPro di APEC merupakan salah satu kegiatan pembangunan yang strategis dan perlu didukung. Kesepakatan – atau ketidaksepakatan – akan berdampak luas.

Tahun ini tantangan diplomasi itu sangat besar, terutama mengingat perkembangan politik ekonomi terakhir di kawasan APEC; seperti belum jelasnya kebijakan politik ekonomi AS di bawah Trump, kondisi ekonomi Tiongkok, atau masa depan perundingan perdagangan dan investasi regional (TPP, RCEP) maupun multilateral (WTO).

"Meski bekerja dalam senyap, diplomasi perlu mendapat apresiasi dan perhatian yang lebih besar. Setidaknya pada diplomasi ekonomi DevPro di kawasan APEC, hasilnya akan terkait nasib dari sekitar 7 juta petani, nelayan, dan masyarakat pedesaan di Indonesia; serta lebih dari 150 juta petani dan nelayan kecil di seluruh kawasan APEC. Suatu tanggung jawab yang tidak kecil," pungkasnya.