Pemerintah Akui Pemanfaatan Pembangkit Listrik Panas Bumi Masih Rendah

:


Oleh Baheramsyah, Minggu, 6 November 2016 | 22:05 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 541


Jakarta, InfoPublik - Pengembangan pembangkit listrik panas bumi di Indonesia berjalan lambat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui Indonesia belum maksimal memanfaatkan potensi energi panas bumi yang begitu besar.

Saat ini, pemanfaatan energi baru dan terbarukan tersebut baru mencapai 5 persen. Hal tersebut karena terkendala beberapa masalah, Padahal, hampir 40 persen cadangan panas bumi dunia berada di Indonesia.

Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, potensi energi panas bumi di Tanah Air begitu besar hingga 29 Giga Watt (GW). Namun baru dimanfaatkan sebesar 1,5 GW atau baru sebesar 5 persen.

"Memang di panas bumi sudah disampaikan potensinya 29 GW, baru terpakai 1,5 GW, persentase lima persen pemanfaatannya. Dan banyak kendala yang harus kita pecahkan bersama," ujarnya dalam diskusi pemanfaatan sumber daya panas bumi di gedung Dewan Pers Jakarta, Minggu (6/11).

Yunus menyampaikan, persoalan pertama  adalah masalah harga tapi itu sudah terselesaikan dengan adanya Peraturan Menteri (Permen) Nomor 17 tahun 2014. Para investor kini sudah mulai tertarik berinvestasi di sektor energi panas bumi.

"Pertama terkait harga, jadi harga ini sudah kita selesaikan lewat Permen Nomor 17 tahun 2014. Harga, menurut para pengembang dan investor sudah cukup menarik," katanya.

Persoalan kedua, kata dia, yakni izin pengadaan lahan yang melibatkan Kementerian Kehutanan. Sebab, banyak pembangkit tenaga panas bumi akan dibangun di wilayah sekitar hutan lindung.

"Kedua pengadaan lahan, institusi terkait Kementerian Kehutanan, kalau ada di hutan lindung, mekanismenya izin pakai izin lingkungan. Tantangan debirokratisasi ini harus diselesaikan ke depannya," tutur Yunus.

Ketiga, jelas Yunus, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) seperti panas bumi memiliki harga keekonomian tersendiri. PLN sebagai pembeli utama, kata dia selalu merujuk pada biaya pokok penyediaan. Dalam BPP, ada percampuran  energi secara keseluruhan, dimana kebanyakan dipenuhi oleh batubara.

"PLN ketika berbisnis dengan geothermal, harganya relatif lebih tinggi dibanding batu bara, mereka berhitung soal itu," tutur Yunus.

Dia menambahkan, persoalan keempat yakni resistensi di masyarakat. Resistensi tersebut ada dua hal yaitu masyarakat itu sendiri dan pola pikir yang ada selama ini. Masyarakat menganggap pengembangan geothermal akan berakibat seperti musibah yang dialami Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur.

"Pengetahuan tentang geothermal dianggap seperti Lapindo, padahal berbeda," pungkasnya.