Isu Masuknya Tenaga Kerja Tiongkok Resahkan Organisasi Pekerja

:


Oleh H. A. Azwar, Selasa, 19 Juli 2016 | 14:33 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 2K


Jakarta, InfoPublik - Adanya isu akan masuknya 10 juta tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok ke Indonesia mengeskalasi keresahan pekerja Indonesia.

"Memang harus diakui bahwa jumlah TKA asal Tiongkok menunjukkan peningkatan. Meningkatnya TKA asal Tiongkok di Indonesia disebabkan oleh semakin banyaknya perusahaan asal Tiongkok yang berinvestasi di Indonesia dan meningkatnya jumlah utang luar negeri kita ke Tiongkok," kata Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar di Jakarta, Selasa (19/7).

Mengutip data BKPM, Timboel mencatat nilai investasi Tiongkok ke Indonesia hingga Pebruari 2016 mencapai 23,25 miliar dollar AS. Adapun komitmen investasi terbesar Tiongkok di Indonesia tercatat terjadi pada tahun 2015 lalu, yakni senilai 22,678 miliar dollar AS. Pada periode Januari hingga Pebruari 2016, komitmen investasi Tiongkok di Indonesia mencapai 3,202 miliar dollar AS.

Terkait dengan pinjaman luar negeri kita ke Tiongkok tercatat pada Januari 2015 utang Indonesia ke Tiongkok sebesar 8.55 miliar dollar Amerika, tumbuh sebesar 59 persen menjadi 13.65 miliar dollar AS. "Pada umumnya pinjaman luar negeri Indonesia ke Tiongkok adalah untuk infrastruktur. Pinjaman luar negeri ini ada sebagai konsekuensi APBN kita yang tiap tahun pasti mengalami defisit," jelas Timboel.

Kehadiran investasi Tiongkok di Indonesia dan pinjaman luar negeri secara bilateral ke Tiongkok tersebutlah yang menjadi pintu masuk datangnya TKA asal Tiongkok.

Menurutnya, kalau dari sisi investasi maka TKA asal Tiongkok relatif bisa dengan mudah dikontrol dengan menggunakan Pasal 42 sampai Pasal 49 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu umumnya TKA yang datang juga tidak banyak mengingat investasi tersebut berjangka panjang di Indonesia.

Namun, kalau TKA asal Tiongkok yang datang karena adanya Perjanjian Bilateral Utang Luar Negeri Indonesia ke China, maka pada umumnya perjanjian tersebut mensyaratkan pembangunan infrastruktur dilakukan oleh perusahaan China dan pekerja-pekerja yang melakukan juga dari China, tidak hanya pekerja untuk pekerjaan yang sifatnya manajerial tetapi pekerjaan kasar pun dibawa dari Tiongkok. “Itu sudah satu paket yang diperjanjikan di perjanjian bilateral utang luar negeri antara Indonesia dan Tiongkok,” ujarnya.

Dijelaskannya, model perjanjian utang luar negeri dengan Tiongkok ini sudah lama terjadi. Sebagai salah satu contoh adalah pembangunan PLTU Labuhan Angin di Desa Labuhan Angin Kota Sibolga Sumatera Utara utk membangkitkan kapasitas listrik 2 x 115 MW tahun 2003 lalu. Sumber Dana Proyek Pembangunan PLTU Labuhan Angin berasal dari Dana Loan (pinjaman) Tiongkok sebesar USD 208.682.180,67.

Adapun pelaksana Proyek Pekerjaan design dan konstruksi serta material seperti pengadaan turbin Proyek PLTU Labuhan Angin dilaksanakan oleh China National Machinery & Equipment Import & Export Corporation (CMEC) sebuah BUMN Tiongkok. Jadual Pelaksanaan Proyek Penandatanganan kontrak dilakukan pada tanggal  6 Oktober 2003 dan PLTU Labuhan Angin (2 x 115 MW) sudah beroperasi secara komersial (COD) pada tanggal 7 November 2009.

Perusahaan Tiongkok ini memboyong pekerja-pekerja Tiongkok ke Sibolga untuk mengerjakan proyek PLTU tersebut, tidak hanya insinyur Tiongkok tetapi juga pekerja pekerja kasar dari Tiongkok. Insinyur-insiyur Indonesia relatif tidak laku di sana, padahal banyak insinyur-insinyur listrik lulusan ITB, UI dan perguruan tinggi lainnya yang mampu mengerjakan proyek tersebut.

Namun, Timboel mengingatkan, permasalahan tidak hanya tentang TKA asal Tiongkok, tetapi juga tentang turbin pembangkit yang terbakar sebelum diresmikan oleh Presiden SBY pada saat itu. Turbin asal Tiongkok tersebut ternyata bukan turbin baru, tetapi turbin bekas yang tidak digunakan lagi di Tiongkok. “Ini bentuk penipuan kasat mata,” kata Timboel.

Pada saat itu, dirinya sebagai koordinator ALNI (Asian Labor Network on IFI's) sudah melayangkan protes ke BAPPENAS karena pembangunan PLTU tersebut tidak menggunakan tenaga lokal Indonesia secara maksimal dan material seperti turbin bekas yang diimpor dari Tiongkok. “Tetapi protes tersebut tidak ditanggapi,” kilahnya.

Sementara itu, sumber dana pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga adalah pinjaman luar negeri Indonesia ke Tiongkok, dan akan dilaksanakan pembangunannya oleh perusahaan asal Tiongkok termasuk seluruh material pengerjaannya ditentukan oleh perusahaan Tiongkok tersebut.

Ditangkapnya beberapa pekerja ilegal asal Tiongkok di Halim Perdana Kusuma merupakan bukti bahwa TKA asal Tiongkok siap bekerja untuk proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Ini harus diwaspadai termasuk mewaspadai material-material bahan, jangan jangan yang dibawa adalah material-material bekas, terang Timboel.

Pada model perjanjian yang seperti itu, dirinya menilai posisi tawar Indonesia sangat lemah. Seharusnya perjanjian utang luar negeri tersebut mengacu pada Pasal 39 UU No. 13 tahun 2003 yang mewajibkan pemerintah mengupayakan perluasan kesempatan kerja bagi pekerja Indonesia. "Bukankah secara hukum posisi perjanjian itu di bawah UU, oleh sebab itu model perjanjian utang luar negeri dengan Tiongkok tersebut sebenarnya sudah melanggar Pasal 39 tersebut," jelas Timboel.

Ditambahkannya, selain penggunaan Tenaga Kerja seharusnya perjanjian pembangunan infrastruktur dari utang luar negeri tersebut menggunakan perusahaan pelaksana dari Indonesia.

"Saya yakin BUMN-BUMN dan perusahaan swasta kita mampu koq. Demikian juga naterial dan bahan-bahan nya harusnya juga disupplai dari Indonesia supaya lebih mudah memastikan material dan bahan-bahan tersebut baru bukan bekas, dan multiflier effect nya juga terasa untuk perputaran ekonomi kita," papar Timboel.

Untuk proses pencarian sumber utang luar negeri dan proses pelaksanaannya disebut Timboel ada di Bappenas  dan Kementerian Keuangan.

Jadi, menurut saya permasalahan hulu dari masalah TKA asal Tiongkok ini adalah di BAPPENAS dan Kementerian Keuangan. Sebenarnya Bappenas dan Kemenkeu punya alternatif sumber pinjaman luar negeri lainnya tanpa mensyaratkan seperti perjanjian dengan Tiongkok, ujarnya.

Ditambahkannya, pinjaman bilateral dari Negara-negara lain harus diupayakan yaitu pinjaman hanya dalam bentuk uang, bukan seluruh pengerjaan dikerjakan perusahaan asing.

Kalaupun ada SP/SB yang menyalahkan Menteri Tenaga Kerja maka hal tersebut tidak 100 persen tepat. Seharusnya SP/SB menyatakan penolakannya kepada Bappenas  dan Kemenkeu. Mereka lah sumber datangnya TKA asal Tiongkok ke Indonesia secara massif, tegas Timboel.

Dikatakannya, masalah TKA adalah masalah serius. Untuk itu, dirinya mendorong SP/SB dapat melakukan beberapa hal terkait TKA ini yakni:

  1. Menyatakan protes ke Bappenas  dan Kemenkeu atas isi perjanjian utang luar negeri yang menggunakan perusahaan dan TKA serta material dari Tiongkok. Pemerintah harus berani merevisi seluruh perjanjian utang luar negeri saat ini dengan menekankan pada pinjaman luar negeri yang memaksimalkan peran BUMN kita dan Tenaga Kerja kita. Pemerintah harus memaksimalkan potensi dalam negeri untuk menutup defisit. Bila tidak mampu juga maka pemerintah harus mencari sumber utang luar negeri yang bisa mensyaratkan maksimalisasi perusahaan dan tenaga kerja lokal Indonesia.
  2. Meminta Bappenas  dan Kemenkeu untuk menyerahkan PNBP (pendapatan negara bukan pajak) dari biaya TKA yang nilainya mencapai Rp1.09 triliun per tahun (US$ 100 x kurs 13.000 x 70.000 x 12 bulan) ke Kementerian Ketenagakerjaan. Dasar hukumnya adalah Penjelasan Pasal 47 Ayat (1) UU 13 tahun 2003 yang menyatakan "Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia." Selain untuk peningkatan kualitas SDM kita menurut saya seharusnya dana ini juga bisa digunakan untuk memperkuat pengawasan terhadap TKA khususnya TKA asal Tiongkok.
  3. SP/SB harus bekerjasama dengan Kemnaker melakukan pengawasan langsung terhadap TKA yang ada, khususnya asal Tiongkok. SP/SB harus mendukung pengawasan TKA oleh Kemnaker.
  4. Saya mendorong Pihak Kemnaker menyediakan desk dan hotline khusus untuk pengawasan TKA khususnya asal Tiongkok. Seluruh dinas tingkat provinsi dan kabupaten kota juga harus mendukung pengawasan TKA ini.

Timboel meyakini Nawacita Jokowi adalah Nawacita yang tidak hanya berorientasi hasil tetapi juga berorientasi pada proses yaitu proses yang melibatkan secara maksimal BUMN dan perusahaan lokal dan tenaga kerja Indonesia dalam pembangunan Indonesia.

Dia mengingatkan, masih ada 7 jutaan pengangguran terbuka saat ini, per Maret 2016 ini ada 28 juta penduduk miskin Indonesia. Kalau pembangunan Indonesia hanya diserahkan kepada pihak asing serta TKA maka Jokowi sudah gagal memenuhi perintah UUD yaitu menyediakan pekerjaan dan penghasilan yang layak buat rakyat Indonesia.

"Adalah sebuah kebanggaan bagi bangsa ini bila melihat infrastruktur yang ada di Indonesia adalah hasil keringat bangsa ini, bukan hasil keringat TKA," pungkas Timboel.