Pemerintah Terapkan Standar Kesehatan Produk Perikanan

:


Oleh Baheramsyah, Minggu, 19 Juni 2016 | 15:56 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 586


Jakarta, InfoPublik - Pemerintah aktif memantau perkembangan penerapan standar kesehatan pada produk perikanan.

Apalagi mengingat izin impor produk udang Indonesia dihentikan sementara oleh Meksiko karena udang Penaeus vannamei Indonesia ditemukan terinfeksi Infectious Myonecrosis Virus (IMNV).

IMNV termasuk dalam daftar salah satu penyakit udang yang berbahaya oleh The World Organisation for Animal Health (OIE).

“Negara-negara tujuan ekspor produk perikanan Indonesia tidak hanya mempersyaratkan standar mutu pada produk perikanan asal impor, tetapi juga standar kesehatan untuk dapat masuk ke pasar mereka,” kata Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Karyanto di Jakarta, Sabtu (18/6).

Bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai otoritas terkait, juga terus melakukan pembinaan kepada para petambak udang sehingga terstandarisasi dengan penerapan sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB).

Karyanto menambahkan, produk udang merupakan salah satu primadona ekspor perikanan Indonesia.

Kasus semacam ini harus ditangani serius karena dapat mengurangi daya saing komoditas udang serta menyebabkan hambatan ekspor produk tersebut ke pasar luar negeri.

“KKP juga diharapkan untuk terus melakukan pembinaan dan berkoordinasi dengan seluruh asosiasi produsen dan eksportir produk perikanan Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memenuhi standar kesehatan agar kelancaran ekspor produk perikanan, khususnya komoditas udang, Indonesia tetap terjaga,” ujarnya.

Nilai ekspor produk udang Indonesia ke Meksiko pada 2015 sebesar USD 254 ribu.

Dikhawatirkan kasus ini akan menimbulkan efek domino negatif kepada negara tujuan ekspor utama Indonesia untuk juga mempersyaratkan standar kesehatan dan sertifikasi bebas virus pada produk udang Indonesia.

Potensi kerugian Indonesia akibat terhambatnya ekspor udang ke Amerika Serikat sebesar USD 634,5 juta dan ke Jepang sebesar USD 78,2 juta.

Jika dilihat secara total dari seluruh pasar tujuan ekspor, potensi kerugian sebesar USD 1,35 miliar.