LPP RRI Banjarmasin Gelar Lomba Baca Surat Kartini

:


Oleh MC Kalsel, Jumat, 29 April 2016 | 08:58 WIB - Redaktur: Tobari - 622


Banjarmasin, InfoPublik - Siapa pun mungkin pernah mengenal buku Door Duisternis Toot Licht atau “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang diterjemahkan oleh Armyn Pane dari kumpulan surat-surat Kartini kepada Ny Abendanon di Negeri Belanda.

Banyak yang memaknai bahwa judul ini mewakili curahan hati Raden Ajeng Kartini yang menyemangati kaum perempuan di Indonesia untuk meraih kebebasan.

“Sesungguhnya buku tersebut tidak hanya dalam konteks emansipasi perempuan tetapi, memperjuangkan hak bangsa Indonesia untuk memperoleh kemandirian,” demikian penjelasan dari Kepala Stasiun LPP RRI Banjarmasin Soleman Yusuf, Rabu (27/4), mengenai latar belakang mengapa RRI Banjarmasin menyelenggarakan Lomba Baca Surat Kartini.

Dalam kronologi sejarah yang sesungguhnya didukung oleh dialog dalam surat menyurat Kartini. Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis; Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain.

Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya? Al Qur’an terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim.

Menurutnya, LPP RRI Banjarmasin menyiarkan lomba Baca Curat Kartini ini secara on air melalui Pro 1 di frekuensi 97,6 MHz. “Saya berharap agar masyarakat semua bisa mendengarkan acara ini terutama ibu-ibu di rumah yang mendengar sambil memasak atau pun melakukan aktifitas lainnya,” katanya.

Peringatan hari bersejarah ini biasanya identik dengan penggunaan kain atau baju kebaya bagi para ibu. Padahal tidak cukup dengan kegiatan seremonial saja.

Bagi kaum pria, sudah sejauh manakah kita memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kaum wanita untuk ikut serta dalam kehidupan bermasyarakat dengan tidak ada rasa keraguan akan kemampuan karena perbedaan gender tersebut.

Menurutnya lagi, selanjutnya isi buku tersebut adalah, di sini orang belajar Al Qur’an tapi tidak memahami apa yang dibaca.

“Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang baik hati,” curahan hati RA Kartini.

Kartini melanjutkan curhat-nya. Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.

“Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya,” kata Soleman.

Hingga Kartini kemudian bertemu dengan Kyai Sholeh Darat saat mengikuti pengajian di rumah pamannya yang menjadi Bupati di Demak.

Saat itu Kyai Sholeh Darat mengajarkan tafsir surat Al Fatihah. Rupanya Kartini sangat terpesona dengan uraian Kyai Sholeh Darat (Mbah Sholeh), karena selama ini gelap baginya makna dari ayat-ayat suci Al Qur’an.

“Padahal kalau disimak, surat-surat Kartini mengggambarkan bahwa ia adalah seorang yang intelek, kritis, dan rasional,” kata Soleman.

Berikut dialog RA Kartini dengan Kyai Soleh Darat: “Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?”. Kartini membuka dialog. Dan Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.

“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini. (wln/toeb)