Potret Kesehatan di Marampit Pulau Terluar Sulawesi Utara

:


Oleh Media Center Kabupaten Kepulauan Talaud, Sabtu, 19 Maret 2016 | 10:07 WIB - Redaktur: Tobari - 2K


Marampit, Talaud, InfoPublik - Mewujudkan layanan kesehatan yang memadai agaknya sulit dilakukan di Pulau Marampit, Kecamatan Nanusa, Talaud. Pasalnya, jika ingin mendapat perawatan dokter, penduduknya harus ke ibukota kabupaten yang bermil-mil laut jauhnya dengan ongkos yang tidak sedikit untuk sekali jalan.

Pulau di perbatasan Indonesia-Filipina ini memang sudah memiliki 1 Puskesmas kapasitas rawat inap dan 2 puskesmas pembantu (Pustu).

Namun untuk melayani 1.436 jiwa yang tersebar di 5 desa, yakni Marampit, Marampit Timur, Laluhe, Dampulis dan Dampulis Selatan, pemerintah hanya menyediakan 4 orang tenaga medis. Terdiri dari 3 perawat dan 1 bidan PTT.

Sehingga tidak heran, Pustu yang berada di desa Lahue dan desa Dampulis praktis tak berfungsi. Lantaran perawatnya ditarik untuk memperkuat tenaga medis di Puskesmas yang berada di Desa Marampit.

"Jadi susah kami di sini. Sudah tidak ada dokter, perawatnya juga hanya empat orang. Tapi itu juga jarang ada," keluh Atna, warga Marampit, saat ditemui di desa tersebut, Selasa (15/3) lalu.

Minimnya tenaga medis hanya satu masalah yang membuat layanan kesehatan sulit di pulau ini. Menjalani pengobatan di ibukota kabupaten yang jaraknya 23 mil laut, bukan pilihan utama karena mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan akibat sulitnya transportasi.

Kepala Desa Marampit, Ana Liunsanda, menuturkan, beberapa warga di pulau tersebut akhirnya meninggal sebelum sempat dirujuk ke ibukota, sebab tidak punya cukup uang untuk biaya perjalanan.

"Karena bila harus dirujuk, masyarakat di sini mau tidak mau harus ke  ibukota kabupaten dengan mencarter pamboat atau speedboat dengan ongkos paling kurang Rp5 juta. Itu baru biaya transportnya," ungkap Ana.

Hal itu bisa dimaklumi karena umumnya masyarakat di pulau Marampit bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Hanya sebagian kecil berprofesi sebagai pegawai negeri dan pedagang kecil.

Pendapatan rata-rata warga yang bekerja sebagai petani sebesar Rp1-3  juta didapatkan dari hasil panen kelapa yang hanya 3-4 bulan sekali.

Sedangkan penghasilan masyarakat yang bekerja sebagai nelayan tidak menentu. Lantaran masih mencari ikan secara tradisional, menggunakan kapal kayu dan dayung. Hanya sebagian kecil nelayan yang menggunakan kapal bermotor.

"Potensi alam di sini cukup melimpah. Namun sebagian hasil bumi hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan hanya sebagian kecil yang diperjualibelikan akibat kurangnya sarana pemasaran," tutur Kades Ana. (rey/toeb)