Menag : Kehidupan Kerukunan Masih Harus Dibenahi

:


Oleh H. A. Azwar, Rabu, 10 Februari 2016 | 23:09 WIB - Redaktur: H. A. Azwar - 433


Jakarta, InfoPublik - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai masih banyak yang harus dibenahi dalam kehidupan kerukunan beragama di Indonesia.

Pasalnya, berdasarkan survei nasional yang dilakukan Kementerian Agama pada tahun 2015, angka rata-rata nasional kerukunan umat beragama 2015 berada pada poin 75,36 dalam rentang 0-100.

Menurut Lukman, hasil survei ini diharapkan bisa menjadi kampanye kerukunan beragama. Dari sisi regulasi, pemerintah tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama.

Ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya bagaimana misi Kementerian Agama ini adalah bagaimana agar kualitas kehidupan antar umat beragama semakin baik, ujar Lukman, saat membuka acara diskusi dan Launching Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan Tahun 2015 dengan mengusung tema Meneguhkan Komitmen Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Jakarta, Rabu (10/2).

Lukman menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia belum didukung regulasi meski indeks kerukunan di negara ini tergolong tinggi.

Kekosongan KUB (kerukunan umat beragama) sekarang adalah dari sisi regulasi, maka dari itu RUU Perlindungan Umat Beragama kami konsolidasikan terus, jelasnya.

Dikatakannya, konsolidasi yang dilakukan, seperti dengan menghimpun masukan dari tokoh agama dan berbagai pihak terkait untuk regulasi PUB (Perlindungan Umat Beragama) tersebut. “Ada lima isu utama dalam RUU PUB,” kata Lukman.

Isu pertama, disebutnya, terkait penyikapan terhadap masyarakat yang menganut paham keagamaan di luar enam agama resmi. Selanjutnya isu menyangkut penyiaran agama. Di masa kini penyiaran agama memerlukan batas tertentu agar tidak menjadi pemicu koflik. Kemudian ketiga soal pendirian rumah ibadah.

Keberadaan regulasi akan menjadi payung hukum pendirian rumah ibadah karena sejauh ini persoalan pembangunan tempat beribadah kerap memicu pro dan kontra, kata Lukman.

Sementara poin keempat, lanjutnya, yaitu terkait kewenangan justifikasi suatu paham keagamaan serta tolok ukur mekanisme suatu paham dianggap menyimpang atau tidak.

Terakhir, penguatan institusi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang mendorong agar para pemuka agama dapat memberi kontribusi lebih dalam merawat kerukunan.

Lukman juga memaparkan bahwa relasi agama dengan negara merupakan hubungan yang simbiosis mutualisme. Agama dan negara mempunyai kekhasannya sendiri dan keduanya memberikan keuntungan bagi bangsa.

Ia mengingatkan, agama dalam konteks Indonesia adalah sesuatu yang khas.  Indonesia berbeda dengan negara lain. Indonesia bukan negara Islam, bukan negara agama, tapi bukan juga negara yang memisahkan negara dengan agama yang dikenal dengan sekuler.

Kita negara yang khas, memiliki keistimewaan dibanding negara lain, karena memposisikan agama pada letak yang begitu penting, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila. Relasi agama dan negara menjadi punya kekhasannya sendiri dan memilki dinamika sendiri, urainya.

Dijelaskannya, setidaknya ada dua hal dalam relasi agama dan negara. Pertama, simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Indonesia memerlukan agama dalam mengelola negara, agar memiliki ruh dalam berbangsa dan bernegara. Tidak hanya aparaturnya, akan tetapi bagaimana sistem yang berjalan tidak menyimpang dari nilai agama.

Disisi lain, agama juga membutuhkan negara. Implementasi nilai agama, membutuhkan tangan-tangan negara, bagaimana agama membutuhkan perlindungan negara untuk menjalankan ajarannya.

Kedua, relasi dalam bentuk check and balances, saling mengimbangi dan mengkontrol. Agar aparaturnya tidak menyimpang dari aturan, maka diperlukan agama sebagai acuan dalam proses berpemerintahan. Pemuka agama juga mempunyai posisi yang strategis. Hanya agar tidak sampai menjadi tirani, negara perlu hadir untuk mengontrol perilaku agamawan ini.

Lagi-lagi hubungan agama dengan negara saling membutuhkan, dan disisi lain saling mengimbangi. Negara dan agama juga mempunyai tujuan yang sama yaitu menjadikan kehidupan manusia semakin sejahtera, kata Lukman.

Sebelumnya Kabalitbang dan Diklat Kemenag Abd. Rahman Mas’ud melaporkan angka kerukunan umat beragama di DKI Jakarta pada tahun 2015 berada di bawah rata-rata nasional kerukunan umat beragama.

DKI Jakarta berada di bawah angka rata-rata tersebut, yaitu hanya di angka 74,1 persen sehingga masuk ke daftar daerah dengan angka kerukunan terendah.

Kerukunan pasif diartikan sebagai kategori dimana unsur-unsur pembentuk kerukunan, yaitu toleransi, kesetaraan dan kerja sama, belum begitu berfungsi dengan baik dibandingkan dengan beberapa provinsi yang memiliki nilai tinggi, kata Mas’ud.

Sementara, beberapa daerah lainnya dengan angka kerukunan rendah adalah Sulawesi Barat (74,0 persen), Kalimantan Barat (72,8 persen), Banten (72,6 persen), dan Jawa Barat (72,6 persen).

Adapun daerah dengan angka kerukunan terendah adalah Sumatera Barat (69,2 persen), Lampung (65,9 persen dan Daerah Istimewa Aceh (62,8 persen).