Apkai Target Indonesia Produsen Kakao Nomor Satu Dunia Tahun 2025

:


Oleh Baheramsyah, Kamis, 4 Februari 2016 | 23:25 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 644


Jakarta, InfoPublik - Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Apkai) menargetkan tahun 2025 Indonesia akan menjadi produsen kakao nomor satu di dunia. Hal ini akan mengalahkan Pantai Gading yang saat ini masih menjadi produsen nomor satu.

Guna mewujudkan target tersebut, Ketua Umum Apkai, Arif Zamroni meminta pemerintah untuk melanjutkan program Gerakan Nasional (Gernas) Kakao karena program ini dinilai sangat membantu petani dalam meningkatkan produksi kakao sampai satu ton per hektar.

“Sebelum ada Gernas Kakao, produksi kakao petani hanya mencapai 200- 300 kg per hektar, namun setelah program ini digulirkan pemerintah sejak tahun 2009 itu sangat membantu bagi petani,” kata Arif dalam diskusi bertema saatnya petani kakao bersuara di Jakarta, Kamis (4/2).

Arif menjelaskan, produksi biji kakao Indonesia yang kini mencapai 500 ribu ton per tahun, dan 87 persen diantaranya dihasilkan oleh perkebunan rakyat.

Daerah sentra kakao seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo serta daerah lainya di luar pulau Sulawesi  dengan luas lahan satu juta hektar dengan produksi  sebesar 500 ribu ton per tahun.

Arif menambahkan,  untuk meningkatkan produksi kakao Indonesia ada beberapa yang diminta oleh para petani, seperti  Permentan Nomor 67 tahun 2014 yang mensyaratkan kakao wajib fermentasi semakin memberatkan petani. Apalagi Permentan ini akan mulai berlaku pada bulan Mei 2016 ini.

Petani mengeluhkan perbedaan antara harga kakao non fermentasi dan kakao fermentasi sangat tipis. Saat ini harga kakao di pasar global sekitar Rp 36.000 per kilogram. Sementara harga kakao di tingkat petani hanya berada di kisaran Rp 22.000 atau Rp 25.000 per kg.

Perbedaan harga yang terlalu jauh tersebut membuat petani tidak semangat melakukan fermentasi kakao. "Kami menuntut pemerintah untuk mendukung petani agar perbedaan antara kakao fermentasi dengan kakao basah lebih dari Rp 3.000 per kg," ujar Arif.

Selama ini menurutnya, perbedaan antara harga kakao basah dan kakao hasil fermentasi tidak jelas. Bahkan sering kali, harganya ditentukan sendiri oleh tengkulak. Maka kerap perbedaan harga hanya Rp 1.000 atau Rp 2.000 per kg. Hal itu tercermin dari rendahnya harga kakao di tingkat petani dibandingkan harga kakao global.

Padahal, lanjut Arif, kakao merupakan komoditas andalan setelah kelapa sawit dan karet alam. Bahkan dari tiga komoditas andalan perkebun ini, hanya kakao yang harganya relatif stabil dari guncangan krisis ekonomi global.

Karena itu, petani kakao berharap pemerintah mengeluarkan sertifikasi kakao fermentasi. Di mana sertifikasi tersebut langsung dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah dan bukan oleh perusahaan, lembaga swadaya masyarakat ataupun negara lain.

"Sebab kerap sertifikasi itu hanya berlaku di perusahaan atau negara tertentu saja, sehingga harga kakao sulit naik karena mereka menentukan sendiri harganya," imbuhnya.