Organisasi Pekerja: Pengusaha Selalu Memandang K3 Sebagai Biaya

:


Oleh H. A. Azwar, Rabu, 13 Januari 2016 | 12:23 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 403


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), saat ini terus mengkampanyekan pentingnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Namun demikian, jumlah kasus kecelakaan kerja terus meningkat.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menilai masalah K3 adalah masalah yang sangat penting, tetapi sering diabaikan oleh pengusaha, pemerintah dan pekerja, termasuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB). "Pengusaha selalu memandang K3 sebagai biaya dan beban sehingga banyak ketentuan K3 yang tidak dipersiapkan dan disediakan di tempat kerja. K3 adalah investasi dan K3 sangat mendukung produktivitas pekerja dan perusahaan," kata Timboel di Jakarta, Rabu (13/1).

Menurutnya, pemerintah selalu abai menegakkan hukum tentang K3. Pemerintah biasanya bereaksi bila sudah terjadi kecelakaan kerja. Bila ada peralatan K3 atau prosedur kerja yang tidak tersedia, biasanya pengawas K3 tidak mau mengambil tindakan tegas. “Preventif dan promotif seharusnya lebih diutamakan oleh pemerintah, dan tentunya dibarengi oleh sanksi hukum,” ujarnya.

Timboel menambahkan,  kalangan pekerja dan SP/SB juga kerap kali tidak peduli dengan K3. “Penggunaan alat-alat K3 sering juga diabaikan karena pekerja ingin lebih simple dalam bekerja. SP/SB juga tidak mau melaporkan bila alat-alat atau prosedur K3 tidak tersedia,” imbuhnya.

Dikatakannya, sesungguhnya kasus kecelakaan kerja cukup besar terjadi di Indonesia. “Kalau pemerintah hanya mengacu pada data BPJS Ketenagakerjaan, maka data tersebut tidak akurat mengingat masih banyak pekerja yang belum ikut BPJS Ketenagakerjaan sehingga ketika terjadi kecelakaan kerja si pekerja tidak ditanggung BPJS Ketenagakerjaan,” kata Timboel.

Ia mengakui, memang masalah penegakan hukum K3 terkait erat dengan regulasi yang ada. Oleh karenanya, Timboel berharap, ke depan memang harus ada revisi UU No. 1 tahun 1970.

Selain itu, lanjut ia, definisi kecelakaan kerja harus diperluas dan tentunya sanksi pidana juga ditingkatkan misalnya 7 tahun penjara. Sanksi pidana juga bisa diterapkan bila pengusaha lalai menyediakan alat-alat K3. “Kelalaian terhadap K3 merupakan kelalaian serius terhadap kemanusiaan,” terang Timboel.

Revisi UU No.1 tahun 70 tersebut juga harus memuat kewajiban pengusaha mengalokasikan minimal 5 persen dari seluruh total anggaran biaya perusahaan dalam setahun untuk preventif dan promotif K3.

Selain regulasi, masalah K3 harus dikawal oleh kemauan baik pengawas ketenagakerjaan dan kepolisian. Selama ini tumpulnya penegakan hukum karena rendahnya kemauan pengawas ketenagakerjaan dan kepolisian memproses tindak pidana K3.

"Bila era MEA identik dengan sertifikasi kompetensi, maka pemerintah juga harus berani melakukan sertifikasi K3 di perusahaan-perusahaan. Sudah saatnya pemerintah menerapkan sertifikasi K3 untuk seluruh perusahaan," pungkas Timboel.