Kemenristekdikti Jajaki Pajak Jadi Mata Kuliah Umum Perguruan Tinggi

:


Oleh G. Suranto, Jumat, 9 November 2018 | 14:52 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 493


Jakarta, InfoPublik – Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menyampaikan saat ini yang mempelajari perpajakan hanya di fakultas ekonomi, dan fakultas hukum, dan sudah dikenalkan di fakultas teknik dan kedokteran, serta fakultas-fakultas yang berpotensi untuk itu, tetapi belum merata.

“Bahkan saya akan mencoba ke mata kuliah umum (MKU), yang selama ini sesuai dengan Undang-undang itu dari MKU ada 10 Satuan Kredit Semester (SKS) yang dibebankan sebetulnya tidak ada aturan. Saya maunya, tadi kan ada mata kuliah agama, mata kuliah kewiraan, ilmu budaya dasar maupun Pancasila, termasuk di dalamnya juga bahasa Indonesia. Dan di sini saya mau masukan unsur yang sangat penting, yaitu perpajakan,” kata Nasir dalam sambutannya usai acara penandatanganan Nota Kesepahaman di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat (9/11).

Disebutkan, hal itu sangat penting, dan dirinya sudah membicarakannya dengan Sekretaris Jenderal, supaya masalah perpajakan ini menjadi mata kuliah, sehingga bisa dimasukkan dalam salah satu sistem, yang terkait semua bidang ilmu yang ada di Kemenristekdikti.

Menurutnya, hal itu sudah disampaikan kepada para rektor. “Kita itu adalah bagian dari negara yang wajib membangun negara, dari mana sisi itu, yaitu masalah perpajakan, karena kami mempunyai 7 juta mahasiswa, dari 7 juta mahasiswa ini setiap tahun lulus sekitar 1,8 juta. Ini adalah potensi pajak, sehingga kalau ini bisa masuk, sekaligus mereka keluar, pada saat diumumkan pada saat mau di wisuda, sekaligus mereka menerima Kartu NPWP, dan ini sangat bagus sekali,” ujarnya.

Untuk itu, pihaknya mohon izin kepada Dirjen Pajak bisa dikoordinasikan kanwil-kanwil pajak dengan para rektor. “Ini menjadi sangat penting, satu sisi pembelajaran sudah harus dilakukan, di sisi lain ini harus ditindak lanjuti supaya sinkron,” terangnya.

Dalam kesempatan tersebut, Menristekdikti juga menyampaikan, pihaknya sudah mengusulkan kepada Presiden RI, bahwa lembaga riset di Indonesia sangat besar, total anggaran Rp. 24,9 triliun, dan yang menjadi riset hanya Rp. 10.9 trilun, kemudian yang Rp. 14 triliun kemana gak jelas, karena ada di kementerian dan lembaga yang begitu luas sekali. Untuk itu, kalau bisa disatukan akan menjadi baik, dan akan efisien.  

“Saya juga sedang berfikir untuk perguruan tinggi ini. Perguruan Tinggi itu suatu lembaga yang non value edit. Salah satu contoh dekan itu di suatu perguruan tinggi ada yang 18 dan ada yang 15, bisa tidak kalau di meger jadi 5 atau 4 fakultas, karena ini ada kaitannya dengan non value edit yang harus menuju ke value edit, di departementalisasi atau di jurusan. Ini kalau dikembangkan akan jauh bisa lebih baik, dan akan berpengaruh pada pajak yang akan lebih tinggi, sehingga tidak habis tanpa nilai. Itu yang kami harapkan,” tuturnya.

Nasir mengucapkan terima kasih kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang telah membantu riset berbasis output, dan sudah berjalan baik. “Publikasi riset kita sudah melonjak lebih besar yang dulu kita di bawah Thailand (20 tahun lalu), sekarang sudah nomor dua di Asia Tenggara, sudah mengalahkan Thailand, Singapura, yaitu dimana saat itu Indonesia  pada 5.200 publikasi internasional, sekarang sudah 22.222,  dan Malaysia di angka 24.000, Singapura di angka 17.000. Ini kita sudah luar biasa,” ungkapnya.