Faktor Pencetus Kesehatan Jemaah Risti Memburuk

:


Oleh Putri, Selasa, 14 Agustus 2018 | 17:43 WIB - Redaktur: Juli - 614


Jakarta, InfoPublik - dr. Muhammad Gibran Fauzi Harmani, Sp.JP sebagai spesialis penyakit jantung yang bertugas di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Makkah mengatakan lebih dari 50 persen jemaah risiko tinggi (Risti) yang wafat didominasi oleh penyakit jantung. 

Terkait hal tersebut ia menjelaskan, penyakit kardiovaskular bisa dikontrol dengan obat dan menjaga pola hidup sehat dan jauhi pencetusnya untuk menghindari perburukan.

"Ada empat faktor utama pencetus jemaah dapat mengalami kesehatan yang memburuk," katanya dalam rilis sehat Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes yang dikutip Selasa (14/8).

Pencetua perburukan yang pertama karena pasien tidak mengonsumsi obat-obatan yang diresepkan di Indonesia, dengan menghentikan sendiri konsumsi obat tanpa konsultasi ke dokter. Biasanya karena alasan takut sering buang air kecil sehingga mengganggu ibadah.

“Pasien jantung diberikan obat untuk meningkatkan kencing. Karena takut banyak kencing pada saat ibadah, pasien menghentikan sendiri tanpa konsultasi ke dokter,” terang dr. Gibran.

Lebih lanjut menurutnya, terdapat perbedaan antara ketika pasien melakukan aktivitas di luar dan di dalam pondokan. Apabila pasien keluar pondokan maka tidak dilakukan pembatasan cairan untuk mencegah dehidrasi pasien dengan kardiovaskular, kecuali sudah timbul keluhan seperti sesak dan kaki bengkak. Namun semua obat-obatan harus terus di minum.

Kedua, jemaah tidak membawa obat-obatan yang selama ini rutin diminum di Indonesia. Apabila pasien tidak mengonsumsi obat-obatan tersebut ditambah dengan faktor stress, faktor kelelahan, dan faktor fisik maka akan memicu tekanan darah yang lebih tinggi, gula darah yang tidak terkontrol, juga penumpukan cairan yang menyebabkan perburukan.

Jemaah haji Risti dengan penyakit jantung harus mengonsumsi obat yang dibawa dari Indonesia. Bila tidak bawa, sampaikan ke dokter kloternya dan nanti akan berkoordinasi dengan KKHI.

Ketiga, jemaah haji Risti penyakit jantung memaksakan untuk melakukan aktivitas fisik melampaui batasan yang dianjurkan dokter, baik oleh karena ibadah maupun karena non ibadah.

“Pasien harus menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan fisik. Sehingga diharapkan untuk memprioritaskan aktivitas kepada yang wajib dan tidak memaksakan diri untuk melakukan aktifitas yang tidak wajib,” kata dr. Gibran.

Aktivitas non ibadah juga sering dilanggar oleh jemaah dengan penyakit jantung. Seperti pada saat pasien menunggu lift terlalu lama, maka pasien memaksakan diri naik tangga. Apabila jemaah sudah hampir merasakan sesak napas atau tersengal-sengal saat berjalan/beraktivitas maka agar segera istirahat dan menghentikan aktivitas terlebih dahulu.

Keempat, faktor lingkungan dan iklim bisa menjadi pencetus perburukan. Suhu di Indonesia selalu berkisar antara 20 sampai 38 derajat celcius, sedangkan suhu di Saudi lebih tinggi, bisa mencapai  46 derajat celcius. Kelembaban di Indonesia relatif tinggi yaitu 70 persen sedangkan di Arab Saudi berkisar 0-20 persen.

Hal ini menyebabkan jemaah Indonesia di Arab Saudi rentan mengalami masalah saluran pernapasan. Berdasarkan para pakar, ketika kelembaban 0 persen maka yang terjadi adalah kerusakan sel-sel lapisan di pernapasan sehingga memudahkan terjadinya batuk dan infeksi saluran pernapasan.

Apabila pasien jantung ini mengalami penyakit saluran pernapasan, maka akan mencetuskan perburukan.

“Untuk mengantisipasi perubahan iklim yang ekstrem ini, jemaah dianjurkan menggunakan alat perlindungan diri, yaitu masker, payung, kacamata hitam, dan semprotan air ketika keluar dari pondokan,” saran dr Gibran.