Berjuang Demi Sang Buah Hati

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Senin, 3 Agustus 2020 | 19:15 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 654


Jakarta, InfoPublik - Mengenakan kimono hijau tua, bangun dari tidur Afit Rianti langsung meraih telepon selulernya. Ia mengontak suaminya melalui video whatsapp. Sambil menunjukkan sebuah plastik, ia langsung menyapa suami yang tengah bersama buah hatinya yang masih bayi.

"Dia (bayinya) kayak mau mengambil plastik ini," kata Afit Rianti dalam akun YouTube @abeerianti, akhir Maret lalu.

Afit adalah salah satu perawat yang sehari-hari bertugas di RSUD Pasar Minggu. Pada Maret lalu, ia bersama-sama temannya ditugaskan untuk merawat pasien-pasien Covid-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.

Di tengah kesibukannya merawat pasien Covid-19, Afit selalu menyempatkan memompa ASI untuk sang buah hati, Aro. ASI itu kemudian diletakkan di freezer di tempatnya menginap sebelum nantinya diambil sang suami.

Begitulah kegiatan sehari-hari Afit saat jauh dari buah hatinya. Afit tergolong masih beruntung bisa memompa ASI di penginapan yang tak ramai.

Beda dengan Yuli (32 tahun). Yuli yang baru selesai cuti melahirkan harus mulai masuk kerja. Ia harus rela meninggalkan bayinya yang baru berusia beberapa bulan. Di kantornya ia harus memeras otak agar bisa memompa ASI untuk diberikan bayinya yang tinggal di rumah.

Kantornya tak menyediakan ruang laktasi. Namun itu bukan halangan bagi Yuli. Ketika waktu senggang, ia sempatkan memompa ASI di meja kerjanya. Bagi dia, yang penting sang buah hati bisa minum ASI.

Afit dan Yuli hanya dua dari sekian banyak kaum perempuan yang berjuang untuk bayinya agar dapat minum ASI. Meski mereka sibuk, namun para ibu ini bertekad agar sang buah hati bisa meminum ASI.

Hasil penelitian tentang "Breastfeeding Knowledge, Attitude, and Practice among White-Collar and Blue-Collar Workers in Indonesia" yang dilakukan Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, dari Health Collaborative Center menyebut dalam 15 tahun terakhir (2003-2018) pemberian ASI eksklusif di Indonesia tidak membaik.

"Dari 80 persen target cakupan ASI eksklusif nasional, hanya sekitar 32-38 persen saja yang terpenuhi sejak 15 tahun terakhir. Tidak ada yang berubah," kata Ray Wagiu Basrowi, peneliti dari Health Collaborative Center pertengahan Desember tahun lalu.

Dalam penelitiannya Health Collaborative Center melibatkan 192 pekerja wanita dengan rentang usia 20-45 tahun. Sebanyak 64,6 persen di antara mereka merupakan buruh pabrik dan 35,4 persen lainnya merupakan pekerja kantoran.

Mereka dibagi sesuai pendidikan yakni 62,5 persen lulusan SMP dan SMA dan 37,5 pesen merupakan lulusan dari universitas.

Hasilnya, sekitar 70 persen ibu pekerja yang masih menyusui sangat minim pengetahuan tentang menyusui, manfaat, dan kesadaran akan kebijakan dan peraturan menyusui di tempat kerja. Sebaliknya, pekerja kantoran menunjukkan persentase pengetahuan yang lebih baik tentang menyusui yakni 55 persen.

Dari penelitian itu juga terungkap alasan mereka tak memberikan ASI eksklusif. Ada empat alasan yang terungkap: pengetahuan akan laktasi rendah, takut meninggalkan pekerjaannya, takut tidak diberikan izin atasan, dan tidak adanya dukungan yang baik dari tempat kerjanya.

Dari penelitian Ray sebelumnya, disebutkan hanya sekitar 21 persen kantor di Indonesia yang memberikan dukungan fasilitas memadai untuk laktasi dan 7,5 persen pekerja wanita yang bisa menikmati program promosi laktasi di tempat kerjanya.

Menurut alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, 5 dari 10 pekerja perempuan masih memompa ASI di toilet pabrik atau kantor. Padahal tempat itu bukanlah tempat yang layak untuk menyusui atau memompa ASI. Selain itu, dalam beberapa situasi, seorang ibu bekerja juga cenderung mengorbankan aktivitas menyusuinya demi memenuhi target pekerjaan.

Padahal, kata Ray, penelitiannya mengungkap adanya konselor laktasi di kantor, ibu akan 6 kali lebih produktif untuk menghasilkan ASI, dan 51 persen produktivitasnya akan membaik karena hormon kebahagiaan yang membuatnya produktif bekerja.

Di Indonesia, ada banyak dukungan terhadap para pekerja perempuan yang sedang menyusui ini. Ada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di UU ini aturan tentang pemberian ASI tertuang dalam pasa 83.

Ada juga Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 128. Pasal ini menyebut:

  1. Setiap bayi berhak mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis
  2. Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus
  3. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan di tempat sarana umum

Juga ada Undang-undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Aturan itu tertuang di pasal 49 ayat 2.

Penggunaan susu formula meningkat

Peneliti Countermarketing Dr. Irma Hidayana dalam sebuah tulisannya berjudul "Klaim Susu Formula Belum Terbukti Bikin Anak Sehat" mengungkap, tak meningkatnya pemberian ASI eksklusif pada bayi ini, menurut sebuah penelitian, karena para ibu lebih memilih menggunakan susu formula.

Tren penggunaan susu formula ini, kata Irma, bisa dilacak melalui survei nasional lima tahunan atau Survei Kesehatan Dasar Indonesia (SDKI) selama dua dekade belakangan. Pada 1997, angka yang tercatat hanya sekitar 10 persen, lima tahun berikutnya meningkat menjadi 17 persen, kemudian menjadi 28 persen pada 2006, dan terakhir—yang terbit pada 2013—menunjukkan 29 persen.

Bukti lain, kata Irma, terungkap dari data Adstensity, sebuah platform digital monitoring iklan televisi. Data itu menunjukkan pada periode Januari-Juni 2016 total belanja iklan produk-produk susu formula di Indonesia untuk bayi dengan usia lebih dari enam bulan menembus sekitar Rp 2,1 triliun. Sedangkan total ads spot mencapai 73,4 ribu spot iklan selama enam bulan terakhir.

Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Mia Sutanto menilai kehadiran iklan susu formula saat ini cenderung membodohi. "Iklan susu formula dikemas semenarik mungkin sehingga muncul pandangan jika diberikan kepada bayi, maka akan terpenuhi semua nutrisi yang dibutuhkan dan anak menjadi cerdas," ujarnya.

Saran WHO dan manfaat ASI

World Health Organization (WHO) dan peneliti menyarankan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif untuk bayi 0-6 bulan terus dilanjutkan sampai bayi mencapai usia dua tahun. Jika setiap bayi diberikan ASI sejak kelahiran sampai usia dua tahun, sekitar 800 ribu jiwa anak akan diselamatkan setiap tahun pertama kehidupan. Sebab, ASI berfungsi menjadi antibodi alami. Sementara bagi ibu, menyusui bisa mengurangi risiko kanker payudara dan ovarium, diabetes tipe II, dan depresi postpartum.

Di luar manfaat langsung itu, ASI juga memberikan kontribusi positif bagi kesehatan jangka panjang bagi si anak. Remaja dan orang dewasa yang diberi ASI semasa masih bayi kemungkinan obesitas dan mengidap diabetes tipe-II lebih rendah dibanding yang tidak diberikan ASI. Manfaat lainnya, anak dengan ASI maksimal akan lebih baik dalam tingkat kecerdasan mereka.

Hanya sayangnya, kesadaran para ibu untuk memberikan ASI eksklusif ini harus dikalahkan dengan sejumlah halangan. Ada yang terkendala fisik, penyakit, kesibukan bekerja atau bahkan “malas” menyusui. 

Padahal, melalui peringatan hari ASI sedunia yang berlangsung 1-7 Agustus, dunia ingin mengingatkan kita semua bahwa ASI itu sangat penting untuk pertumbuhan sang bayi kelak. (Foto: Wendy Wei/Pexels)