Atasi Covid-19 ala Fakultas Psikologi UI

:


Oleh Kristantyo Wisnubroto, Selasa, 31 Maret 2020 | 13:00 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Bekerja di rumah, belajar di rumah dan beribadah di rumah adalah jargon yang digaungkan pemerintah sejak ada pasien Covid-19 terdeteksi di Indonesia. Pemerintah telah membuat kebijakan agar seluruh kantor pemerintahan, sekolah, perguruan tinggi menerapkan bekerja di rumah (Work from Home) dan belajar di rumah. Pun kegiatan keagamaan di tempat-tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura ditunda sampai kondisi sampar virus corona mereda.

Tak hanya itu, kegiatan yang mengumpulkan massa, hajatan pernikahan, konser dangdut, karnaval, pameran hingga seminar dilarang. Akses transportasi publik perlahan dikurangi.

Aksi pembatasan sosial skala besar maupun isolasi lokal untuk memotong penyebaran virus dalam tiga minggu terakhir ini sudah dilakukan di hampir semua kota bahkan sampai tingkat desa. DKI Jakarta misalnya memperpanjang masa tanggap darurat dari 5 April menjadi 19 April 2020. Warga Jakarta "dipaksa" lebih lama lagi di rumah.

Mau tidak mau, tinggal di rumah adalah pilihan yang mesti dihadapi bersama untuk menangkal meluasnya virus corona. Apa yang bisa dilakukan ketika aktivitas sosial dibatasi di dalam rumah atau lingkungan sekitar saja.

Banjir informasi mengenai pandemi Covid-19 yang disebarluaskan melalui media nasional dan media sosial, membuat tak sedikit masyarakat merasakan batuk-batuk, pilek, dada sesak hingga demam. Banyak yang mengira ini merupakan gejala Covid-19. Namun bisa jadi itu bukan gejala awal Covid-19 melainkan gangguan psikosomatik.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak Januari 2020 sampai Maret ini, sudah menapis sedikitnya 300 berita dan informasi hoaks terkait pandemi Covid-19 ini. Masalah ini yang membuat masyarakat semakin resah di tengah wabah virus.

Psikosomatis adalah kondisi yang menggambarkan saat munculnya penyakit fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh kondisi mental. Beberapa gangguan kecemasan tersebut meliputi stres dan kecemasan.

Jika dilihat dari sisi psikologi, psikosomatis atau penyakit fungsional adalah kondisi yang menyebabkan pengidapnya merasa sakit atau mengalami gangguan fungsi tubuh. Namun, saat dilakukan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang lain, tidak ada keanehan yang terjadi dalam tubuh.

Anggota Ikatan Psikolog Klinis, Emeldah mengatakan bahwa gejala psikosomatis dapat berubah-ubah tergantung psikologis seseorang.

Beberapa gejala yang sering dirasakan pengidap psikosomatis meliputi; jantung berdebar, sesak nafas, lemas, nyeri ulu hati, tidak ada nafsu makan, susah tidur, nyeri kepala, nyeri seluruh tubuh, demam, batuk dan pilek.

"Ketika ada keluhan dari sisi fisik dan psikis ketika stres, jadi suka psikosomatis, kok aku sesak nafas, padahal sesak itu karena cemas," ujar Emeldah saat berbicara di Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Jakarta, Minggu (29/03/2020).

Beberapa cara untuk meredam psikosomatis ialah dengan mengatur napas untuk relaksasi dan membiasakan hal itu secara rutin untuk mengurangi stres. Kemudian jauhkan pikiran stres dengan melakukan kegiatan yang rileks, seperti menjalankan hobi dan mencoba hal baru di luar kegiatan rutin sehari-hari bersama keluarga.

"Atur nafas. Tarik napas untuk relaksasi. Karena itu bisa membuat kita jadi tenang. Kemudian cari aktivitas baru yang positif bersama keluarga," imbuh Emeldah yang juga jadi konsultan di Halodoc sebagai mitra Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Aktivitas seperti menjalankan hobi atau mengerjakan sesuatu hal baru tersebut secara tidak langsung juga dapat mempererat hubungan keluarga saat menjalankan Work From Home dan kegiatan belajar di rumah bagi anak-anak.

Semenjak wabah menyebar dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah provider telekomunikasi nasional maupun global menyediakan paket aplikasi gratis untuk memudahkan bekerja maupun belajar di rumah. Seperti CloudX, Zoom, WhatsApp, Google Hangoout Meet maupun Skype for Business. Sedikitnya ada 12 penyedia aplikasi digital belajar di rumah seperti RuangGuru dan Google Indonesia menyediakan paket pelajaran dan konten kreatif untuk pelajar belajar di rumah.

Sejumlah layanan hiburan melalui TV kabel berbayar maupun media sosial juga bisa diakses untuk menonton tayangan film-film favorit, musik, dokumenter maupun edukasi selama masa isolasi. Akses buku elektronik juga dibuka luas bagi publik yang ingin membaca buku-buku sains, novel, komik favorit masa remaja hingga karangan lokal seperti Khoo Ping Ho dan Api di Bukit Menoreh. Memperbanyak menonton konten-konten positif dan membagikannya ke keluarga, kerabat dan rekan.

Berkebun dan memasak bisa menjadi salah satu pilihan alternatif untuk dilakukan selama menjalani 'social distanding' atau 'physical distancing' di rumah. Selain memberikan manfaat, kegiatan tersebut juga dapat menghalau kebosanan karena tidak memiliki aktivitas rutin seperti pekerja yang harus bekerja di rumah, terutama bagi kelompok berisiko tertular seperti usia lanjut dan penderita diabetes.

"Banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya menanam pohon di perkarangan rumah, itu bisa membantu mengendalikan emosi selama social distancing," kata Ketua Aliansi Telemedia Indonesia Prof. dr. Purnawan, M.Ph., P.Hd.

Selain menanam di pekarangan rumah, kegiatan mengasuh cucu juga bisa jadi aktivitas yang menyenangkan menghalau kebosanan di rumah. Namun, aktivitas ini harus tetap memperhatikan protokol kesehatan. Sebab, anak-anak juga bisa menjadi pembawa virus.

Memasak bersama di rumah juga bisa menjadi pilihan keluarga. Banyak sekali tayangan konten cara memasak menu-menu pilihan dari para chef serta selebritas di TV maupun media sosial. Bahkan, sejumlah kalangan membuat dapur umum untuk didistribusikan kepada para pekerja lapangan, driver transportasi online maupun pekerja medis di rumah sakit rujukan Covid-19.

Selama di rumah, masyarakat diminta tetap menjaga kebersihan diri dengan rajin mencuci tangan, makan makanan sehat serta menjaga jarak sebagai langkah pencegahan penyebaran virus corona memutus mata rantai penularan penyakit Covid-19 itu.

Para ahli psikologi secara umum mengingatkan setidaknya ada lima tanda-tanda masalah kesehatan mental yang dapat terjadi selama isolasi di rumah. Bisa terjadi di keluarga yang belum terpapar maupun yang masuk kategori Pasien Dalam Perawatan (PDP) - namun memilih isolasi mandiri 14 hari - atau Orang Dalam Pemantauan (ODP).

Tanda-tanda tersebut antara lain yakni takut dan khawatir tentang kesehatan Anda sendiri; perubahan pola tidur atau makan; kesulitan tidur atau berkonsentrasi; memburuknya masalah kesehatan kronis serta peningkatan penggunaan alkohol, tembakau, atau obat-obatan lainnya.

Oleh karena itu, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyusun sejumlah tips menjaga kesehatan mental di tengah pandemi Covid-19.

1. Memilah Sumber Informasi Terpecaya

Berbagai informasi seputar virus corona SARS-CoV-2 beredar di lini masa media sosial. Meski banyak, informasi tersebut perlu dipilah-pilah dan lebih hati-hati karena bukan tidak mungkin berita tersebut hoaks.

Jadi, pastikan selalu memantau info mengenai virus corona melalui sumber-sumber terpercaya, seperti dari situs WHO, Kementerian Kesehatan RI, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, BNPB dan media terpercaya.

2. Gunakan Teknologi untuk Jalin Silaturahmi

Agar virus corona Covid-19 tak meluas, sebisa mungkin menghindari kontak fisik atau physical distancing. Namun, hal tersebut jangan membuat hubungan Anda dengan orang terdekat menjadi jauh.

Anda bisa memakai media sosial seperti Whatsapp, Instagram, Line, Telegram, Facebook Twitter dan lain-lain sebagai alternatif untuk tetap menjalin komunikasi. Tak hanya itu, media sosial tersebut juga bisa dimanfaatkan sebagai komunikasi antar rekan kerja, bagi orang-orang yang melakukan sistem Work from Home.

3. Tetap Aktif di Rumah

Saat berada di rumah, sebisa mungkin melakukan kegiatan yang membuat tubuh dan pikiran nyaman. Hal tersebut penting, terutama bagi Anda yang sedang melakukan isolasi mandiri. Beberapa kegiatan yang bisa dilakukan ialah menonton film, membaca buku, mendengarkan musik, dan mengakses konten positif di media sosial.

Kemudian konsumsi makanan sehat dan seimbang serta minum air putih. Perhatikan durasi tidur dan lakukan olahraga saat sudah bangun. Anda bisa melakukan gerakan olah tubuh seperti peregangan otot, atur pernapasan, atau bermeditasi.

4. Terus Berkomunikasi dengan Keluarga

Bagi sebagian orang yang tinggal sendirian demi melakukan physical distancing dapat membuat seseorang kesepian. Bagi Anda yang merasakan hal tersebut, cobalah mengungkapkan perasaan dan kekhawatiran perihal pandemi yang tengah dihadapi bersama orang-orang tertentu yang paling dipercaya, seperti keluarga, kekasih, atau sahabat.

Sementara, bagi keluarga yang mengisolasi diri dalam satu tempat tinggal, upayakan komunikasi tetap terjaga. Bagi orang tua dianjurkan meluangkan waktu untuk berbicara dengan anaknya tentang pandemi corona dan memberikan rasa aman terhadap mereka.

5. Coba Berempati dan tidak Mendiskriminasi

Kita tidak perlu mengaitkan virus ini dengan etnis atau negara tertentu. Jangan beri label pada orang yang positif Covid-19 sebagai 'korban', mari sebut mereka 'pejuang' yang sedang berusaha sembuh.

Karena siapa saja bisa terinfeksi dan menyebarkan virus. Jadi, stop diskriminasi dan beri dukungan! Termasuk memberikan dukungan kepada tenaga kesehatan yang berjuang di garis depan dalam menanggulangi Covid-19.

6. Tidak Panik dan Tetap Waspada

Menghadapi wabah corona tanpa terpancing kepanikan maupun ketakutan, niscaya dapat membantu menjaga kesehatan mental dan fisik di tengah krisis kesehatan global ini. Pengaruhnya pun tak hanya baik untuk Anda pribadi, tapi juga orang-orang di sekitar.

Satu hal, yang pasti pola pikir positif dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh atau sistem imunitas. Sebaliknya, pikiran negatif semisal kecemasan berlebihan atau sikap pesimistis, menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Sistem kekebalan tubuh yang baik akan mampu menangkal serangan virus corona yang menyebabkan penyakit Covid-19. Menurut ilmu anatomy personalities, sikap optimistis akan meningkatkan imunitas tubuh sehingga kemungkinan terinfeksi corona akan rendah. (bnpb/kes/psikologi UI/Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki)