Ini Dia Skor Indeks Demokrasi Indonesia

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 25 November 2020 | 13:20 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Demokrasi Indonesia mati? Tidak betul.  Buku Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2019 yang diluncurkan pada Selasa (24/11/2020), punya data sebaliknya. Merujuk buku tersebut, nilai IDI 2019 adalah 74,92 atau mengalami peningkatan 2,53 poin dibandingkan 2018 (72,39).

Peluncuran buku IDI 2019 ini merupakan tindak lanjut dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam rilis yang digelar secara virtual pada 3 Agustus 2020 lalu, Kepala BPS Suhariyanto menyebut peningkatan ini merupakan catatan yang menggembirakan karena demokrasi di Tanah Air dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan.

Dengan nilai 74,92, maka demokrasi Indonesia masuk dalam kategori Sedang. Adapun kategorisasi IDI sendiri dibagi menjadi tiga, yakni Buruk (di bawah 60), Sedang (60-80), dan Baik (di atas 80).

Pencapaian IDI 2019 pun menjadi yang paling tinggi sejak penghitungan IDI dilakukan pada 2009 lalu. Tercatat secara berurutan, nilai IDI nasional adalah 67,30 (2009); 63,17 (2010); 65,48 (2011); 62,63 (2012); 63,72 (2013); 73,04 (2014); 72,82 (2015); 70,09 (2016); 72,11 (2017), dan 72,39 (2018).

Sebagai informasi, nilai IDI didapat dengan melihat tiga aspek, 11 variabel, dan 28 indikator. Ketiga aspek tersebut ialah kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi.

Berdasarkan catatan BPS, aspek kebebasan sipil mengalami penurunan sebesar 1,25 poin menjadi 77,20 dari yang sebelumnya 78,45 pada 2018. Sementara dua aspek lainnya, yakni hak-hak politik dan lembaga demokrasi, mengalami peningkatan masing-masing 4,92 poin menjadi 70,71 dan 3,48 poin menjadi 78,73.

Selanjutnya, dari 11 variabel yang ada, tujuh di antaranya mengalami perbaikan, yakni kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi, hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintahan, peran DPRD, peran birokrasi pemerintah daerah, dan peran peradilan yang independen.

Sedangkan empat variabel yang mengalami kemunduran antara lain kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, pemilu yang bebas dan adil, serta peran partai politik.

Kemudian terkait 28 indikator, masih ada enam indikator yang berkategori buruk, yaitu ancaman penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berpendapat, persentase perempuan terpilih terhadap DPRD, demonstrasi/mogok yang bersifat kekerasan, perda yang merupakan inisiatif DPRD, rekomendasi DPRD kepada eksekutif, dan upaya penyediaan informasi APBD oleh pemerintah daerah.

"Ke depan, enam indikator tersebut perlu terus menerus untuk diperbaiki karena angkanya masih di bawah 60, meski ada perbaikan," jelas Suhariyanto.

Rujukan Pemerintah

Merespons rilis tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menyebut capaian nilai IDI 2019 merupakan cerminan dari dinamika politik dan nasional yang kondusif. Terlebih, tahun lalu merupakan tahun politik di mana telah digelar pemilu serentak.

Di samping itu, capian ini juga menjadi sinyal positif bagi pemerintah agar semakin memperkuat stabilitas politik dalam negeri dan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang saat ini dalam tekanan berat karena pandemi.

Dari sisi capaian daerah, IDI 2019 menunjukan terdapat tujuh provinsi dengan kategori Baik, yaitu DKI Jakarta (88,29), Kalimantan Utara (83,45), Kepulauan Riau (81,64), Bali (81,38), Kalimantan Tengah (81,16), Nusa Tenggara Timur (81,02); dan Daerah Istimewa Yogyakarta (80,67). Sementara 26 provinsi lainnya menunjukkan capaian indeks demokrasi kategori Sedang dan satu provinsi dengan kategori Buruk, yakni Papua Barat.

Saat meluncurkan Buku IDI 2019, Menko Polhukam Mahfud MD pun mengungkapkan ada empat rekomendasi yang harus dilaksanakan bersama untuk perbaikan nilai indeks demokrasi ke depannya.

Pertama, pendidikan politik bagi masyarakat perlu difokuskan pada persoalan ekspresi perbedaan pendapat, khususnya dalam hal politik dan ekonomi. “Literasi digital perlu ditekankan karena sebagian ekspresi, manipulasi pendapat, serta politik ketakutan berlangsung lewat internet,” imbuhnya.

Kedua, perlunya mendorong DPRD untuk meneruskan aspirasi masyarakat dalam bentuk rekomendasi formal kepada pemerintah daerah (pemda), meningkatkan inisiatif pembuatan peraturan daerah (perda), meningkatkan kapasitas teknis maupun akademis anggota DPRD, serta mengoptimalkan fungsi staf ahli anggota DPRD dalam mempersiapkan naskah akademik dan draf legal perda inisiatif.

Ketiga, kaderisasi partai politik perlu ditingkatkan, antara lain melalui pendidikan politik yang direncanakan dengan baik, yakni integrasi antara aktivitas kaderisasi dengan dana bantuan partai politik.

Terakhir, pemda perlu meningkatkan komunikasi dengan masyarakat untuk menambah pemahaman dan komitmen terhadap transparansi anggaran dalam rangka penguatan demokrasi lokal.

Saat ini, menurut Menko Polhukam, pemerintah sedang melakukan reviu terhadap metodologi IDI yang selama ini digunakan sejak 2009 sehingga perlu penajaman indikator-indikator dan metodologi yang sesuai dengan dinamika demokrasi terkini.

"Saya berharap hasil IDI tahun 2019 ini dapat menjadi rujukan bagi pemerintah, baik pusat dan daerah, dalam mengupayakan program pembangunan politik dan demokrasi, mencakup juga rencana aksi peningkatan kapasitas dalam berdemokrasi,” tandasnya. (Foto:  ANTARA FOTO/Galih Pradipta)