Setop Advokasi Separatisme di Papua

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Selasa, 29 September 2020 | 17:46 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 750


Jakarta, InfoPublik - Gangguan terhadap kedaulatan Indonesia hampir selalu terjadi tiap kali penyelenggaraan Sidang Majelis Umum (SMU) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Tahun ini tidak terkecuali.

Isu dan pihak yang mendorong selalu sama. Ya, pihak itu-itu saja. Tuduhan yang diusung, soal adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua.

Kali ini tuduhan tersebut dilontarkan oleh Perdana Menteri (PM) Vanuatu Bob Loughman. Bob menyebut Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM di Papua dan masih berlanjut hingga saat ini.

Menurutnya, dugaan pelanggaran HAM di Papua tersebut menjadi perhatian khusus negara-negara Pasifik. Mereka menyeru agar Indonesia mengizinkan Dewan HAM PBB mengunjungi Papua. Namun, kata Loughman, seruan itu tidak direspons oleh Pemerintah Indonesia.

Tahun lalu yang dituduhkan juga serupa. Vanuatu menuding Indonesia tidak memberi izin kepada Dewan HAM PBB untuk berkunjung ke Papua. Adalah Sumbue Antas selaku Wakil Tetap Vanuatu untuk PBB yang membawa isu tersebut pada SMU PBB 2019.

Atas tuduhan yang tak berkesudahan itu, Pemerintah Indonesia selalu menegaskan bahwa Vanuatu bukanlah perwakilan warga Papua. Hal itu disampaikan Indonesia saat menyampaikan hak jawab.

"Anda bukanlah representasi dari orang Papua dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya," tegas Silvany Austin Pasaribu, diplomat muda yang mewakili Pemerintah Indonesia dalam menggunakan hak jawab di SMU PBB yang berlangsung di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, Sabtu (26/9/2020).

Dalam rekaman video resmi PBB, Silvany menyebut Vanuatu memiliki obsesi yang berlebihan dan tidak sehat tentang bagaimana Indonesia harus bertindak atau memerintah negaranya sendiri.

Pasalnya, hampir setiap tahun dalam SMU PBB, Vanuatu selalu menyinggung isu dugaan adanya pelanggaran HAM yang dialami warga Papua, sebuah tuduhan yang dianggap Indonesia sengaja digaungkan untuk mendukung gerakan separatisme.

"Indonesia akan membela diri dari segala advokasi separatisme yang disampaikan dengan kedok kepedulian terhadap Hak Asasi Manusia yang artifisial," ujar Silvany.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa sejak 1945, Papua dan Papua Barat merupakan bagian dari Indonesia dan merupakan keputusan final yang tidak dapat diubah. Hal ini juga telah didukung dengan tegas oleh PBB serta komunitas internasional sejak beberapa dekade lalu.

"Prinsip-prinsip Piagam PBB yang jelas tidak dipahami Vanuatu adalah penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial," imbuhnya.

Di akhir jawabannya, Silvany pun mempertanyakan bagaimana Vanuatu, yang belum meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi rasial dan menandatangani perjanjian internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, justru "menceramahi" Indonesia mengenai isu HAM di Papua.

"Kami menyerukan kepada Pemerintah Vanuatu untuk memenuhi tanggung jawab Hak Asasi Manusia anda kepada rakyat anda dan dunia. Jadi sebelum anda melakukannya, mohon simpan khotbah anda untuk diri anda sendiri," tegas diplomat yang kini bertugas sebagai Sekretaris Kedua Fungsi Ekonomi pada Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York.

Langgar Kedaulatan

Pernyataan PM Vanuatu itu juga mendapat kritikan keras dari dalam negeri. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin menyebut apa yang disampaikan PM Vanuatu Bob Loughman dalam SMU PBB jelas tidak menghormati kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dia menilai pernyataan PM Vanuatu merupakan hal yang sangat tidak pantas, tidak etis, dan tidak menghargai serta menghormati kedaulatan negara lain.

"Dengan terulangnya perilaku Vanuatu, PM Vanuatu perlu memahami geografi, geopolitik, dan geostrategi Indonesia sebagaimana diatur dalam norma dan hukum hubungan internasional," kata Azis dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (28/9/2020).

Azis menegaskan bahwa Papua adalah bagian penting dari NKRI dan hal ini sudah jelas serta dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2504. Fakta itu, menurutnya, perlu dihormati oleh Vanuatu maupun kelompok-kelompok yang berusaha memprovokasi keutuhan NKRI.

Dia pun mengaku heran dengan Vanuatu yang kerap melontarkan isu pelanggaran HAM di Papua sejak tahun 2016 hingga SMU PBB tahun ini. Menurut Azis, jangan sampai isu yang dilontarkan tersebut merupakan sebuah pesanan atau tidak berdasar yang akan berdampak pada negara Vanuatu tersebut nantinya.

"Sudah jelas dalam PBB, kita sepakat bahwa seluruh anggota PBB menjaga stabilitas keamanan dan menciptakan perdamaian dunia. Vanuatu justru menghasut dunia dan menyebarkan hoaks kepada dunia," tuturnya.

Lebih lanjut Azis meminta agar Vanuatu belajar lagi etika dari konsep Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) sehingga bisa menerapkan nilai-nilai peradaban yang baik tanpa mengintervensi, apalagi menuduh sesama negara berdaulat.

Di samping itu, Azis juga mengapresiasi Diplomat Indonesia Silvany Austin Pasaribu yang memberi respons terhadap tudingan PM Vanuatu melalui hak jawab. Dia mengapresiasi dan mendukung strategi dan langkah Kementerian Luar Negeri (Kemlu) terkait persoalan ini.

"Jika level Perdana Menteri Vanuatu tidak ingin dipermalukan oleh diplomat muda Indonesia, maka Vanuatu harus mulai belajar menghormati norma-norma internasional," tandasnya. (Foto: ANTARA FOTO/Indrayadi TH)