Netralitas ASN Dalam Pilkada

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Kamis, 9 Juli 2020 | 16:32 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Bila berjalan lancar, maka pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak siap digelar enam bulan lagi, tepatnya pada 9 Desember 2020. Seperti pilkada-pilkada sebelumnya, salah satu masalah klasik yang selalu menjadi perhatian pemerintah dan pihak penyelenggara adalah soal netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam kontestasi politik tersebut.

Sebagai lembaga yang diamanatkan untuk menjaga dan mengawasi netralitas ASN, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melakukan semua cara dalam rangka memenuhi tanggung jawab itu. Pada pilkada serentak tahun ini, KASN menggandeng sejumlah pihak yang dinilai dapat semakin memperkuat pengawasan netralitas ASN, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain karena mitra strategis KASN dalam Sekretariat Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK), KPK juga dipilih mengingat adanya potensi pelanggaran netralitas ASN yang menjurus ke tindak pidana korupsi. Melalui sinergisitas ini, kedua lembaga berkomitmen memberikan atensi terhadap daerah dengan kecenderungan pelanggaran netralitas yang tinggi dalam pilkada serentak 2020.

"Stranas PK akan terus mendukung dan bekerja sama dengan KASN dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) untuk menegakkan sanksi bagi ASN yang melanggar netralitas pilkada serentak 2020. Pemimpin Daerah yang terpilih secara jujur cenderung akan lebih bebas korupsi," kata Wakil Ketua KPK Nurul Gufron.

Hal itu ia sampaikan dalam kampanye Gerakan Nasional Netralitas ASN dengan tema "ASN Netral, Birokrasi Kuat dan Mandiri" yang berlangsung secara virtual pada 30 Juni 2020. Dalam acara tersebut, disepakati bahwa penting untuk menjatuhkan sanksi kepada kepala daerah yang kurang patuh. Pasalnya, selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) Daerah, kepala daerah harus berperilaku sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Agus Pramusinto, selaku Ketua KASN, mengemukakan bahwa netralitas ASN dalam dimensi politik merupakan etika dan perilaku yang wajib dipegang teguh sebagai penyelenggara negara. Sebab, berbagai pelanggaran terhadap asas netralitas akan menjadi pintu masuk munculnya berbagai distorsi dan pelanggaran hukum lainnya.

"Seperti perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kualitas pelayanan publik yang rendah, serta perumusan dan eksekusi kebijakan yang mencederai kepentingan publik," jelas Agus.

KASN sebagai lembaga yang diberikan kewenangan melakukan pengawasan netralitas ASN sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN sejauh ini terus aktif melakukan upaya pencegahan dan penindakan terhadap ASN yang melanggar netralitas terkait pilkada.

Kegiatan kampanye Gerakan Nasional Netralitas ASN ini pun menjadi salah satu upaya tersebut. Diharapkan kampanye ini dapat mengharmonikan penguatan implementasi pelaksanaan pengawasan netralitas ASN dalam pilkada serentak 2020.

369 ASN Melanggar

Dalam hal pencegahan, sinergisitas KASN dengan kementerian/lembaga lainnya, seperti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), KPK, Bawaslu, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) terus diperkuat.

Bukan tanpa sebab para pemangku kepentingan itu memperkuat kerja sama. Pasalnya, fakta di lapangan membuktikan masih saja terdapat pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN. Berdasarkan data KASN, hingga pertengahan Juni 2020 sebanyak 369 ASN dilaporkan atas kasus pelanggaran netralitas.

Bahkan, pelanggaran netralitas terbesar justru dilakukan oleh ASN yang memangku Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), yakni sebesar 33 persen. Disusul kemudian jabatan fungsional sebesar 17 persen, jabatan administrator sebesar 13 persen, jabatan pelaksana sebesar 12 persen, dan jabatan kepala wilayah (lurah dan camat) sebesar 7 persen.

Sementara, 10 besar pelanggaran netralitas oleh instansi pemerintah berturut-turut adalah (1) Kabupaten Sukoharjo, (2) Kabupaten Purbalingga, (3) Kabupaten Wakatobi, (4) Kabupaten Sumbawa, (5) Kota Banjarbaru, (6) Kabupaten Muna Barat, (7) Provinsi Nusa Tenggara Barat, (8) Kabupaten Banggai, (9) Kabupaten Dompu, dan (10) Kabupaten Muna.

Adapun sebanyak 283 ASN yang terbukti melakukan pelanggaran telah mendapat rekomendasi penjatuhan hukuman. Namun, baru 99 orang atau 34,9 persen yang mendapat sanksi dari kepala daerah selaku PPK setempat.

Terkait itu, BKN akan mendukung rekomendasi KASN yang tidak ditindaklanjuti oleh PPK dengan menangguhkan data administrasi kepegawaian ASN yang bersangkutan. Dengan demikian, ASN tersebut tidak akan bisa naik pangkat, rotasi jabatan, hingga promosi jabatan sampai rekomendasi KASN ditindaklanjuti oleh PPK.

Melihat masih banyaknya pelanggaran netralitas, Ketua KASN mengimbau agar setiap ASN mampu membangun kesadaran, kemauan, dan tanggung jawab berkenaan dengan etika dan perilaku imparsialitas, yaitu tidak berpihak, bebas dari konflik kepentingan, serta bebas dari pragmatisme politik.

"Semoga terwujud ASN yang netral, bebas intervensi politik, bebas konflik kepentingan, profesional, dan mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat," tutur Agus Pramusinto.

Serba Salah

Posisi ASN dalam setiap pelaksanaan pemilu dinilai sejumlah pihak memang serba salah. KPK, misalnya, mengatakan bahwa ASN mengalami perasaan serba salah ketika pilkada memunculkan nama petahana.

ASN mengambil sikap netral pun berisiko dianggap tidak mau mendukung petahana. Sementara jika mendukung petahana, maka risikonya adalah karir tak terjamin saat calon kepala daerah yang menang bukan petahana.

"Bahwa memilih yang menang bukan berarti ketenangan. Apalagi yang kalah. Netral saja dianggap tidak berkontribusi, tidak berkeringat kepada pemenangnya. Sehingga situasinya menjadi rumit kalau sudah ditentukan menang-kalahnya. Ini fakta kondisi ASN berhadapan dengan pilkada," jelas Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Oleh karenanya, KPK menilai netralitas ASN sebetulnya merupakan masalah dari kontestan dan partai politik. Sebab, kalau kontestan dan partai politik tidak ikut menarik-narik ASN agar tidak netral, tentu perasaan serba salah itu tidak dialami. Namun faktanya, kontestan pemilu terutama petahana kerap kali melakukan itu.

Salah satu contohnya, Menteri PANRB Tjahjo Kumolo beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa pernah ada seorang gubernur yang memenangkan pilkada setelah membagikan anggaran untuk semua guru dan perawat di wilayahnya, termasuk bidan yang diberikan telepon genggam. Melalui modus ini, yang bersangkutan berhasil terpilih untuk dua periode.

Sikap petahana dan partai politik yang memancing-mancing ASN untuk tidak netral seperti itu malah membuat ASN profesional kehilangan pegangan. Sementara ASN yang tidak kompeten malah senang, karena itu bisa dimanfaatkan untuk pengembangan karirnya.

Kalau kondisi tarik menarik politik pada pemilu lokal itu terus terjadi, KPK pun mengkhawatirkan akan menyuburkan ASN tak profesional yang mengembangkan karirnya dengan tanpa peduli asas profesional, kompetensi, dan kedisiplinan.

Fakta ini juga diamini oleh Bawaslu. Ketua Bawaslu Abhan menyebut ASN mempunyai masalah klasik, yaitu mempunyai hak pilih tetapi wajib netral dalam setiap ajang pemilihan, baik pemilu maupun pilkada. Maka itu ASN dalam posisi serba salah. Di satu sisi wajib menyalurkan hak pilihnya, namun disisi lain tidak boleh terang-terangan memihak kepada pasangan calon.

Berdasarkan data Bawaslu, tren pelanggaran netralitas ASN pada pilkada serentak tahun ini paling tinggi dilakukan di media sosial (medsos). Oleh karenanya, Abhan mewanti-wanti para ASN supaya berhati-hati dalam menggunakan medsos untuk mengurangi, bahkan menghilangkan pelanggaran netralitas ASN. Sebab, menyukai unggahan gambar atau foto dari partai politik maupun pasangan calon di medsos bisa dianggap pelanggaran.

“Saya ingatkan para ASN untuk hati-hati dalam menggunakan medsos. Istilahnya ASN diam saja bisa salah, apalagi bergerak. Bisa lebih fatal kesalahannya,” tegas Abhan. (Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)