Katakan Tidak Pada Terorisme

:


Oleh Norvantry Bayu Akbar, Rabu, 12 Februari 2020 | 19:18 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 594


Jakarta, InfoPublik - Isu status warga kelompok ISIS, mencuat di tanah air dalam dua pekan terakhir. Pro-kontra di kalangan masyarakat itu akhirnya mendorong Pemerintah ambil bagian. Pemerintah tegas bersikap tidak akan memulangkan ratusan mantan kombatan kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang mengaku sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

Keputusan tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas) di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, 11 Februari 2020.

Menko Polhukam Mahfud mengungkapkan, jumlah WNI dengan status teroris lintas batas atau Foreign Terrorist Fighters (FTF) adalah sebanyak 689 orang yang tersebar di berbagai negara, seperti di Suriah, Turki, dan beberapa negara lain. Kalau seluruh FTF tersebut pulang ke Tanah Air, lanjutnya, mereka bisa menjadi virus baru yang membuat 267 juta rakyat Indonesia merasa tidak aman.

"Keputusan rapat tadi, Pemerintah dan Negara harus memberi rasa aman dari ancaman teroris dan virus-virus baru teroris terhadap 267 juta rakyat Indonesia,” tegasnya. "Sehingga Pemerintah, (keputusan) yang kedua ini, tidak ada rencana memulangkan teroris, tidak. Bahkan tidak akan memulangkan FTF ke Indonesia,” sambungnya.

Namun demikian, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menyebut Pemerintah akan tetap menghimpun data yang lebih valid terkait jumlah dan identitas WNI yang bergabung dengan ISIS. Termasuk juga untuk anak-anak di bawah usia 10 tahun akan dipertimbangkan dipulangkan, dengan mekanisme case by case.

Mengutip data Badan Intelijen Amerika Serikat (Central Intelligence Agency/CIA), Menko Polhukam Mahfud mengatakan jumlah FTF yang mengaku sebagai WNI ada sebanyak 689 orang, di mana 228 di antaranya memiliki identitas yang teridentifikasi, sementara 441 sisanya tidak teridentifikasi secara lengkap.

Sebelum Pemerintah menghasilkan keputusan dalam Ratas, Presiden Joko Widodo sendiri dalam jumpa pers pada 5 Februari 2020 telah menyatakan sikap tegas pribadinya, yakni menolak wacana pemulangan WNI mantan kombatan ISIS.

"Kita ini pastikan semuanya harus lewat perhitungan, kalkulasi, plus minusnya, semuanya dihitung secara detail dan keputusan itu pasti kita ambil di dalam rapat terbatas setelah mendengarkan dari kementerian-kementerian dalam menyampaikan hitung-hitungannya," katanya.

"Kalau bertanya kepada saya, ini belum Ratas loh ya, saya akan bilang tidak," sambung Presiden menegaskan.

Keputusan Tepat

Menurut sejumlah pihak, keputusan Pemerintah untuk tidak memulangkan ratusan WNI mantan kombatan kelompok radikal ISIS ke Tanah Air sudah tepat. Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Slamet Rosyadi, misalnya, mengatakan keputusan tersebut tepat demi menjaga stabilitas keamanan nasional.

"Pemerintah tentu sudah mengkaji secara seksama dan sudah memilah-milah hal tersebut (menolak pemulangan), dan keputusan yang diambil secara tegas ini sudah tepat guna memberikan rasa aman kepada masyarakat," katanya seperti dikutip dari Antara, 12 Februari 2020.

Kendati demikian, Slamet Rosyadi mengingatkan Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam apabila memang ada rencana untuk memulangkan anak-anak dari WNI yang terindikasi pernah terlibat jaringan ISIS.

"Menurut saya tidak mudah untuk memulangkan anak-anak tersebut. Terutama jika mereka tidak diizinkan oleh orang tua mereka, maka pemerintah akan kesulitan," katanya. "Dengan demikian, upaya yang paling rasional adalah memulangkan anak-anak yang memang sudah tidak memiliki orang tua sehingga mereka bisa kembali ke Tanah Air," sambung Slamet Rosyadi.

Sementara itu, Pengamat Terorisme, Ridlwan Habib, mengatakan Pemerintah harus mewaspadai adanya potensi balas dendam atas keputusan untuk tidak memulangkan WNI mantan kombatan ISIS ke Tanah Air, meskipun itu adalah keputusan yang tepat.

"Keputusan itu sudah tepat, sebab Indonesia belum siap jika harus memulangkan eks ISIS, sangat berbahaya. Namun demikian, Pemerintah harus waspada terhadap kemungkinan balas dendam oleh simpatisan ISIS di dalam negeri," katanya.

Menurut dia, jejaring dari sel-sel ISIS yang ada di Indonesia masih banyak dan mereka berpotensi melakukan tindakan balas dendam atas keputusan Pemerintah tersebut.

Contohnya, menurut Ridlwan Habib, jaringan ISIS tersebut bisa melakukan penyerangan pada kantor pemerintah karena jengkel teman mereka tidak dipulangkan. Kemudian ada lagi kemungkinan risiko lainnya seperti gugatan hukum yang muncul dari keluarga mantan kombatan ISIS di Indonesia.

"Bisa saja akan memicu class action terhadap Pemerintah dengan alasan negara mengabaikan hak asasi warganya di luar negeri. Gugatan itu bisa saja muncul dari pihak keluarganya di Indonesia," ujarnya

Di samping itu, Ridlwan Habib juga mengingatkan adanya risiko bagi situasi dalam negeri jika kamp pengungsian di Suriah jadi dibubarkan oleh pihak otoritas Kurdi. "Waspadai pintu-pintu masuk imigrasi kita. Terutama jalan-jalan tikus, karena kalau bisa merembes masuk tanpa diketahui akan sangat berbahaya," kata dia.

Status WNI

Sedangkan perihal Hak Asasi Manusia (HAM) terkait status kewarganegaraan mantan kombatan ISIS yang mengaku sebagai WNI, di mana Pemerintah harus hadir melindungi seluruh warganya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan hendaknya hal tersebut mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Menurut dia, berdasarkan UU tersebut, orang asal Indonesia yang tergabung atau pernah tergabung ISIS maka secara otomatis dapat kehilangan status kewarganegaraannya.

Jika menengok Pasal 23 huruf (d) UU Nomor 12 Tahun 2006, memang dinyatakan secara jelas bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya apabila masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden.

Sedangkan pada Pasal 23 huruf (f) UU Nomor 12 Tahun 2006, dinyatakan WNI kehilangan kewarganegaraannya apabila secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.

Sementara terkait dengan anggota keluarga mantan kombatan ISIS apakah masih WNI atau tidak, Sufmi Dasco Ahmad menurutkan hal tersebut masih perlu dikaji secara lebih mendalam. Sebab, menurut dia, pihak yang direkrut ISIS bisa jadi bukan hanya kepala keluarga, tetapi juga anggota keluarganya.

Senada dengan itu, Menko Polhukam Mahfud menilai WNI yang pernah menjadi FTF dengan secara jelas tidak mengakui dirinya sebagai WNI. Menurutnya, mereka tidak pernah berkomunikasi dengan Pemerintah.

"Keberadaan mereka di luar negeri justru ditemukan pihak luar. Mereka kan tidak lapor. Hanya ditemukan oleh orang luar. Yang menemukan kan CIA, ICRC (Komite Internasional Palang Merah), (menyampaikan) ini ada orang Indonesia. Kita juga enggak tahu, paspornya sudah dibakar, terus mau diapakan? Ya, dibiarkan aja. Enggak bisa dipulangkan," tegasnya

Menko Polhukam Mahfud lebih lanjut mengungkapkan bahwa para mantan kombatan tersebut menghindar dari Pemerintah dan tidak pernah menampakan diri meski Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) telah mendatangi Suriah.

"Sudah, sudah mengirim. BNPT sudah ke sana, kita sudah ke sana. Hanya ketemu sumber-sumber otoritas resmi saja. Di situ ada ini katanya. Akan tetapi, orangnya enggak pernah menampakkan juga," jelasnya.